The Disadvantage of Generalizing Everything

Jan 30, 2016

Speaking generally, generalization is stupid. *oh the irony* It’s basically about judging something using a past fact.

However, the blame is not really on someone who likes to generalize, it’s the repeated information coming toward them which make them hardly see the alternative idea. Whereas, the beauty of things lays on its possibility to change its current conditions. To be a "rounded character" if we use literature term.

So today I see two policemen coming inside a food stall with cheap foods (warteg) as I ate my breakfast. My thought then flied to the lately viral meme about a police officer who couldn’t differentiate between no “stop” and no “parking”. It’s almost automatically associated with that.

I was generalizing, I knew, because not every policeman is like that. There are any good and smart police out there. Sadly this current image of police worsen the current imagery of policeman which have been associated with corruption and bad conducts.

But it’s not my fault, isn’t? I see that information everywhere.

Then it need to be said, I guess, that not all of “ibu-ibu naik motor” (the motorbike-riding moms) is like the image constructed by our internet community. Yes I’ve been experiencing myself the situation of you on the same lane with one of them. They are riding motorbike dangerously, though it can actually be understood since most probably they lack of experience.

So relax.

One day I met this mother who bothered herself sounding her motorbike horn in getting my attention. I thought she was my friend or something. She reminded me that my turn signal is flashing. Thanks to her that I then turned off it.

What a caring driver, I guess, if they have the same amount of time riding motorbike like we have.

Here is the bottom line: generalization is the idea of seeing your life, thinking that the current condition is permanent, while in fact we don’t really know what will happen tomorrow.

However, that kind of thought is a little bit dangerous as well because generalization actually protects us from heartbreak. It makes us aware of the pattern.

I believe every idea has a counter-idea. []

I dnt knw

I miss writing so much it exceeds my longing for a girl which firstly made me love writing.

I do not actually stop writing. I wrote several essays just like what I usually did and let them passively be stored in random folders. I am reading random things, listening to my friend’s random stories, getting know some interesting ideas and wisdom. So writing random things is just the consequences of that.

I deleted them, though. Sadly. All of my recent writings. My psychology was (and still, I guess) in chaotic state. You can’t just randomly share your problems in internet, or everyone, for that matter. It waste your time. No one really care, even your closest friends. To be precise, those whom you think you are so close and important for them but you are not. That happens too often in our life we forget the pattern.

I even deleted my embryo of novels. Once became my pride. They meant the world for me. I was killing my own ideas: things that took most of my time back then in making research and inspirations.

But here is what happened: Long time of disappointments changed my thinking. It changed my worldview. It changed how I expect, how I communicate, how I react to every shit. Even the things that I read. I didn’t read as much as I suppose to do. I lost my interest in some things that I used to adore—an indication of depressing, from what I read.

I was reading myself more and left my bookcase untouched.

Once in a while I thought I am very close to suicidal. Shameful thinking for someone my age. Tough I never ashamed for thinking like that.

I always know that you should not put your expectation on other people. But I always felt for that. It’s just human nature, I guess, that we keep on expecting something from someone.  Especially those, I got this phrase from somewhere, “people who will be gone by sunset”. I kept wasting my “sunrise” keeping in touch with them hoping we share the same idea of investing time.

But then it’s only me who feel that way. It’s life, isn’t? Most of the cases the heartbreak is one-sided. We then call it a lesson in a hard way. *try not to swear*

It can be a good thing, I guess, that we are receiving daily or weekly dose of heartbreaks. I believe those who want to be a great writer need a regular dose of heartbreaks.

So thanks.

Jodoh

Nov 14, 2015

Dalam Kajian Amerika (dan mungkin ilmu kajian budaya yang lain), pemilihan topik skripsi harus memperhatikan seberapa kuat nilai budaya yang ingin dibahas, sehingga tidak terjebak dalam nilai universal. Gampangnya, pambahasan harus masuk ke dalam konteks budaya yang kita kaji. Misal, “setiap orang memiliki hak untuk hidup” adalah nilai universal, sementara nilai budaya (atau kultural) yang ada di Amerika Serikat (AS) adalah “warga sipil boleh memiliki senjata untuk melindungi diri”.

Nilai universal adalah nilai yang bisa diterima semua pihak, sementara nilai kultural bisa berbeda-beda, terikat konteks kejadian, ruang dan waktu. Untuk bisa mengerjakan penelitian dengan baik, seseorang perlu bisa mengetahui garis tegas antara nilai universal dan nilai kultural. Karena bila seorang mahasiswa Kajian Amerika terlalu fokus pada argumen “setiap orang memiliki hak untuk hidup”, tanpa mau menggali lebih jauh tentang konteks “hak hidup” di AS itu bagaimana, apa beda mereka dengan mahasiswa ilmu kajian budaya yang lain? Kajian Timur Tengah, misalnya.

Dosen saya kemudian mengatakan bahwa justru akan lebih mudah menjadi mahasiswa Kajian Amerika bila kamu ada di luar AS. Logikanya, mahasiswa asli AS akan kesulitan dalam menentukan batasan antara nilai universal dan kultural. Secara, mereka hidup di sana dengan nilai-nilai budaya AS, sehingga nilai kulturalnyapun akan menjadi terasa seperti nilai universal. Sementara mahasiwa di luar AS, kata Ibu Dosen, bisa dengan mudah menentukan nilai kultural AS. Caranya sederhana: kalau ada nilai yang berbeda dengan nilai yang kita pahami di Indonesia, berarti itulah nilai kultural AS.

Kemudian saya ingat pernah berdiskusi tentang konsep takdir. “Manusia diciptakan berpasang-pasangan” adalah ketetapan yang tertera dalam Kitab Suci. Seseorang memahami itu sebagai konsep jodoh. Dia mengatakan pada saya bahwa takdir bisa diartikan sebagai: batasan. Dengan begitu, takdir dari Tuhan adalah sesederhana “setiap manusia akan memiliki pasangan”. Dengan siapa dia menikah, itu sudah masuk ranah ikhtiar.

Merindukan Kemampuan Berjalan

Oct 14, 2015

: Nenek

Malam ini Nenek menginap di rumah. Saat aku mulai menulis catatan ini, Nenek sedang makan malam bersama Ibu. Magrib tadi, waktu aku berniat mengambil makan, Nenek kutanya: Nenek sudah makan? Beliau menjawab: Nenek kalau makan habis Isya kok. Padahal malam ini Ibu habis Isya langsung diteruskan pengajian sampai sekitar jam setengah sembilan.

Alhasil, saat aku mulai menulis catatan ini, Nenek sedang makan malam bersama Ibu.

Masih cerita saat Magrib. Setelah Magrib, seperti biasa Ibu membaca Al Qur’an. Waktu itu aku sudah hampir selesai makan, dan Ibu menyusul kami duduk di ruang tamu. Ibu mulai membaca beberapa ayat, dan Nenek kemudian mendekati Ibu sambil berkata padaku: Biar Nenek dengarkan.

Karena sudah tua, penglihatan Nenek pasti berkurang. Nenek kemungkinan besar sudah tidak sanggup lagi rutin mengaji. Karenanya Nenek kemudian “cukup senang” dengan hanya mendengarkan. Sekadar mendengarkan orang yang membaca Al Qur’an (seharusnya) adalah hal yang luar biasa. Rasulullah SAW sendiri sangat gemar mendengarkan bacaan Al-Quran dari orang lain—padahal Al-Quran itu sendiri diturunkan Tuhan kepada beliau.

Hati Seluas Lautan

Oct 9, 2015

Waktu aku pergi ke pantai. Aku melihat laut. Aku lalu membawa pulang oleh-oleh yang tidak habis dimakan dan bisa dibagikan ke semua orang: catatan perjalanan (spiritual).

wide, blue God's sign.
Seorang dosen pernah menerangkan materi tentang dua terminologi yang sama tapi beda; “ruang” dan “tempat”. Seiring berkembangnya teknologi media, paradigma tentang “tempat” berubah menjadi “ruang”. Artinya, orang-orang sudah tidak lagi membicarakan “tempat” secara fisik dan geografis, tetapi menjadi sebuah “ruang” di mana kita dipersatukan oleh teknologi, ide, atau minat yang sama. Globalisasi telah menghilangkan batas territorial antar daerah, orang-orang sekarang berbicara tentang ruang sosial dan ruang di dunia maya.

Arjun Appadurai, dalam jurnal materi kuliah itu, mengatakan: berhentilah memikirkan istilah “bentangan daratan” (landscape), dan sadarilah bahwa dunia kita sekarang secara teori dipetakan ke dalam bentangan etnis (ethnoscapes), media (mediascape), teknologi (technoscape), kepentingan ekonomi (financescape), dan ide (ideoscape). Aku tertarik dengan istilah yang terakhir, dan memahaminya sebagai sebuah kelompok yang orang-orangnya memiliki ide yang sama. Sebuah ruangan yang dibangun dengan pondasi idealisme.

Banyak orang menciptakan ruangan ide tertentu yang begitu eksklusif sehingga tidak setiap orang dia ijinkan masuk. Noe Letto memiliki sebuah ruang rindu tempat dia bertemu dengan “seseorang yang datang dan pergi begitu saja”. Rumi mengundang seseorang ke dalam sebuah taman yang terletak di sebuah ruang yang berada “di luar nilai salah dan benar”.

Kamera Langit

Sep 30, 2015

Kata seorang teman, ujian yang sebenarnya ketika kita mengerjakan tes adalah bukan tentang bagaimana mengerjakan soalnya, melainkan bagaimana menjaga iman kita untuk tidak melakukan hal yang tidak jujur. Ujian yang sebenarnya adalah: apakah kita merasakan kehadiran Tuhan atau tidak. Lalu apa hubungannya dengan tulisan ini?

Mungkin tidak ada.

Suatu pagi Ibu menyuruh saya pergi ke sebuah toko untuk membeli beberapa barang. Toko itu sudah sering saya kunjungi, namun kali ini saya menyadari sesuatu: bahwa ada kamera CC TV di halaman parkirnya. Dulu saya mendapati ada sebuah monitor menyala di dalam ruangan, namun tidak menyadari kalau itu adalah tayangan langsung dari sebuah tempat. Ketika saya melihat bahwa gambar bisu yang ditampilkan adalah gambar motor, saya langsung menuju parkiran dan mencari-cari di mana kamera diletakkan. Dan viola! Saya menemukan satu kamera tergantung di salah satu sudut—tanpa dosa.

Dosen saya suatu ketika pernah membahas tentang bagaimana kamera bisa mempengaruhi orang di sekitarnya. Itu adalah semacam intermezzo, karena yang didiskusikan pada waktu itu adalah tentang bagaimana seorang pria memposisikan pandangan matanya pada sebuah gambar iklan. Ibu dosen membandingkan dua iklan, satu menampilkan orang kulit putih, satu menampilkan orang kulit hitam. Dalam iklan tersebut, si kulit putih tidak menatap ke kamera, sedangkan si kulit hitam menatap kamera.

Orang Bisa Mati, tapi Idenya Tidak

Sep 26, 2015

Nassirun Purwokartun ternyata benar ketika mengatakan pada saya bahwa menulis bukan hanya soal menyendiri di dalam kamar. Maksudnya, saya sempat memikirkan maksud filosofis dari pernyataan beliau, ternyata itu memang bermakna literal. Sejauh ini, saya menulis di tempat yang berbeda-beda; dalam kamar, rumah Nenek, sekre UKM, di tengah-tengah rapat, bahkan di dalam arena badminton ketika menunggu giliran main. *serius*

Ide kadang muncul di otak di luar kendali kita, di waktu-waktu yang sebenarnya kita perlu fokus melakukan sesuatu (yang paling parah, ketika sholat). Agar tidak menguap begitu saja, ide tersebut harus segera ditulis, minimal kata kuncinya di tulis di hape. Ide seperti ikan salmon yang berenang lurus melintasi sungai pikiran, kau harus segera menjaringnya sebelum ikan itu berenang menjauh. Maka dari itu, akhir-akhir ini saya kembali sering membawa laptop kemana-mana. Karena salah satu aturan penting ketika menjadi penulis adalah: selalu bawa buku catatan dan pulpen cadangan.

Hal yang paling menyenangkan ketika menyelami dunia ide adalah bahwa kamu tidak perlu memikirkan apakah ide itu bisa diterapkan atau tidak. Kamu bisa menuliskan sesuatu berdasarkan ide yang berada di “menara gading”, yang tidak menyentuh tanah bernama realitas (atau belum). “Ketika menulis, tetaplah mabuk agar realitas tidak bisa menghancurkanmu”, begitulah pesan dari Ray Bradbury. Ide memang bersifat non-material, karenanya orang-orang berpaham materialism tidak tertarik dengan eksistensinya. Ide tumbuh dalam otak orang-orang idealis.

Agama Mas Apa?

Sep 23, 2015

Tempo hari salah satu murid les, kelas 5 SD, tiba-tiba nanya “Mas, agama Mas apa?”.

Saya kaget juga, apakah tampilan saya kurang akhi-akhi? Hahaha. Lalu karena dia masih SD, tanpa banyak berfilsafat saya jawab saja: Islam.

Tapi kemudian saya sadar bahwa itu adalah pernyataan subyektif dari saya sendiri sebagai manusia. Self-proclaim, bahasa kerennya, alias ngaku-ngaku. Karena Islam sendiri artinya submit, tunduk dan patuh, sami'na wa ato'na. Dan muslim kemudian berarti orang yang tunduk.

Nah, apakah selama 23 tahun “beragama Islam” ini saya sudah cukup tunduk pada perintah-Nya? Minimal yang seharusnya bisa saya lakukan, baik wajib atau sunnah. Seberapa tunduk saya, ataukah saya hanya memilih untuk menjalani perintah yang saya nyaman menjalaninya? Dan di antara sedikitnya amal itu, apakah sudah benar-benar saya niatkan atas ketundukan, ataukah lebih banyak yang karena hitung-hitungan pahala?

Tanpa sadar, pertanyaan murid saya itu mengusik kenyamanan “beragama Islam” yang hampir-hampir saya jalani semau gue ini. Menjadi seorang hamba memang hanya bisa sebatas berharap, sambil sekali-kali ngaku-ngaku. Karena dengan pengertian Islam seperti tadi, memang kemudian menjadi hak prerogatif Allah semata untuk menilai apakah kita benar-benar muslim (tunduk) atau tidak.

Astagfirullah.

Mengapa Orang Berubah

Saya punya seorang teman. Dia adalah mantan “penganut” filosofi skolastik.

Dulu saya sering berdiskusi dengannya soal keimanan. Dan untuk membalas sikap kepeduliannya pada keimanan saya, saya menawarinya sebuah buku lama yang berjudul Kuliah Tauhid. Seseorang, yang dulu sempat menjadi “guru” saya (sekarang juga masih), menyuruh saya untuk mengopi buku tersebut. Saya bilang buku ini mungkin akan bisa “menjinakkan” ke-skolastik-kannya. Rupanya, dengan tanpa dosa, dia menjawab singkat: saya bukan lagi orang skolastik.

Saya sempat berpikir, mengapa pemikiran filosofi seseorang bisa berubah-rubah. Orang itu akan terkesan seperti mencla-mencle (kalau orang Jawa bilang: esuk dhele, sore tempe). Namun kemudian saya sadar, bahwa dalam dunia filosofi, ada yang disebut dengan self-cancelling, atau gemar membatalkan argumen-argumen yang pernah dibuatnya sendiri.

Self-cancelling kemudian menjadi sebab mengapa seribu filsuf memberi seribu jawaban atas pertanyaan yang sama, misal: “apakah tujuan hidup?”. Jawaban atas pertanyaan itu terus berkembang, dari jaman Democritus sampai yang teoritis seperti Sigmund Freud. Jawaban satu akan membantai jawaban yang lain. Meski begitu, pemikiran “baru” seseorang tidak lantas terlepas begitu saja dari pemikiran lamanya.