: Nenek
Malam ini Nenek
menginap di rumah. Saat aku mulai menulis catatan ini, Nenek sedang makan malam
bersama Ibu. Magrib tadi, waktu aku berniat mengambil makan, Nenek kutanya: Nenek sudah makan? Beliau menjawab: Nenek kalau makan habis Isya kok.
Padahal malam ini Ibu habis Isya langsung diteruskan pengajian sampai sekitar
jam setengah sembilan.
Alhasil, saat
aku mulai menulis catatan ini, Nenek sedang makan malam bersama Ibu.
Masih
cerita saat Magrib. Setelah Magrib, seperti biasa Ibu membaca Al Qur’an. Waktu
itu aku sudah hampir selesai makan, dan Ibu menyusul kami duduk di ruang tamu.
Ibu mulai membaca beberapa ayat, dan Nenek kemudian mendekati Ibu sambil
berkata padaku: Biar Nenek dengarkan.
Karena
sudah tua, penglihatan Nenek pasti berkurang. Nenek kemungkinan besar sudah
tidak sanggup lagi rutin mengaji. Karenanya Nenek kemudian “cukup senang”
dengan hanya mendengarkan. Sekadar mendengarkan orang yang membaca Al Qur’an (seharusnya)
adalah hal yang luar biasa. Rasulullah SAW sendiri sangat gemar mendengarkan
bacaan Al-Quran dari orang lain—padahal Al-Quran itu sendiri diturunkan Tuhan
kepada beliau.
Mendengarkan
orang mengaji adalah hal yang luar biasa: Karena
selain kemampuan penglihatannya yang berkurang, Nenek juga sudah mengalami
gangguan pendengaran.
Karena menyadari
hal itu, aku cukup terhentak ketika Nenek bilang “Biar Nenek dengarkan”. Telinga muda ini masih sangat jelas mendengarkan
suara orang mengaji, tapi otak ini masih terlalu bodoh untuk menyadari bahwa
yang sedang telinga dengarkan adalah pembacaan kalimat-kalimat Tuhan. Ayat-ayat
Al Qur’an yang terdengar dari Ibu yang mengaji atau suara dari speaker masjid kerap diacuhkan begitu
saja: Seperti tidak ada yang spesial.
Mereka
bilang: kita baru menyadari bahwa sesuatu itu berharga setelah kita merasa
kehilangan. Mungkin Nenek merindukan kemampuan mendengarnya waktu beliau masih
muda—mungkin kita juga akan begitu.
Mungkin
kita juga akan merindukan kemampuan berjalan.
Menjelang
Magrib tadi aku mendapati Nenek mengobrol dengan Ibu. Aku sedang menjerang air
karena persediaan air di kulkas menipis. Ketika Ibu mendengar suara kompor
dinyalakan, beliau mengangkat isu baru dalam obrolan: Kalau gas habis secara
tiba-tiba di pagi hari, urusan menjadi ribet. Karena kecuali hari libur, Ibu memang
selalu berada di suasana hectic di
pagi hari.
Nenek lalu berkata:
“Kalau gas di rumah habis, aku masih bisa mengangkat tabung gas yang kosong itu
ke tempat Erna. Tapi aku tidak kuat kalau tabungnya berisi gas, jadi aku
tinggal saja di sana nanti tahu-tahu Erna datang mengantar ke rumah.”
Lucu. Aku
tersenyum. Beliau berdua kemudian sempat menyinggung Kakek.
“Kalau
Kakek memang sudah tidak kuat membawa tabung gas”, Nenek melanjutkan. Ibu lalu
menanggapi, “Sekarang sudah tidak kuat, ya? Padahal Kakek dulu ngangkat apa saja kuat”
Adzan
Magrib sudah dari tadi berkumandang, aku memeriksa air yang belum juga
mendidih, kemudian berteriak ke Ibu: “Buk, ini aku menjerang air!” Ibu tahu
maksudku, kemudian mengiyakan. Aku kemudian beranjak ke garasi, dan mendapati
sepeda motorku dibawa Bapak: Aku
memutuskan berjalan kaki saja.
Dalam
perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh itu, aku teringat obrolan Nenek
tentang Kakek. Aku bergumam dalam hati: Mungkin memang begitu, akan ada saatnya
aku merindukan kemampuan berjalan ini.
Akan ada
saatnya. Dan semoga sampai saat itu tiba, Tuhan selalu mendekatkan rasa syukur
pada perasaan kita. []
8 Juni 2014
8 Juni 2014
0 comments:
Post a Comment