Kata seorang teman, ujian yang sebenarnya ketika kita
mengerjakan tes adalah bukan tentang bagaimana mengerjakan soalnya, melainkan
bagaimana menjaga iman kita untuk tidak melakukan hal yang tidak jujur. Ujian
yang sebenarnya adalah: apakah kita merasakan kehadiran Tuhan atau tidak. Lalu
apa hubungannya dengan tulisan ini?
Mungkin tidak
ada.
Suatu pagi Ibu menyuruh saya pergi ke sebuah toko untuk membeli beberapa barang. Toko itu
sudah sering saya kunjungi, namun kali ini saya menyadari sesuatu: bahwa ada
kamera CC TV di halaman parkirnya. Dulu saya mendapati ada sebuah monitor
menyala di dalam ruangan, namun tidak menyadari kalau itu adalah tayangan
langsung dari sebuah tempat. Ketika saya melihat bahwa gambar bisu yang
ditampilkan adalah gambar motor, saya langsung menuju parkiran dan mencari-cari
di mana kamera diletakkan. Dan viola!
Saya menemukan satu kamera tergantung di salah satu sudut—tanpa dosa.
Dosen saya
suatu ketika pernah membahas tentang bagaimana kamera bisa mempengaruhi orang
di sekitarnya. Itu adalah semacam intermezzo,
karena yang didiskusikan pada waktu itu adalah tentang bagaimana seorang pria
memposisikan pandangan matanya pada sebuah gambar iklan. Ibu dosen
membandingkan dua iklan, satu menampilkan orang kulit putih, satu menampilkan
orang kulit hitam. Dalam iklan tersebut, si kulit putih tidak menatap ke
kamera, sedangkan si kulit hitam menatap kamera.
Dalam
sebuah teori, bila seseorang menatap kamera saat direkam, berarti dia telah “rela” dirinya
menjadi konsumsi publik. Dirinya adalah obyek. Ketika seseorang tahu bahwa dia
sedang disorot kamera, disadari atau tidak, dia akan bertingkah berbeda. Semua orang
pasti setuju; bila ada kamera mengarah ke dirinya, dia akan memperbaiki
sikapnya, cara berjalannya, cara bicaranya, dan sebagainya. Dia akan
memperbaiki attitude-nya.
Katakanlah
kamu sedang asyik berbicara sendiri ketika mengikuti acara seminar yang
ditayangkan di sebuah stasion televisi. Ketika suatu ketika kamu tahu cameramen tengah mengarahkan kameranya
ke arahmu (atau tiba-tiba melihat wajahmu ada di layar), kamu akan menghentikan
bicaramu dan bersikap lebih baik. Selalu begitu. Ketika kita tahu bahwa kita
sedang ditonton orang, kita akan menjaga image,
yang kemudian disebut: pencitraan. Kita tidak ingin memperlihatkan diri kita
yang urakan, lebay, tertawa terbahak-bahak, dan hal-hal yang “memalukan”
lainnya.
Intinya:
kamu akan mencitrakan dirimu sebaik mungkin (“baik” dalam ukuran masyarakat),
karena kamu tahu bahwa kamu sedang “dikonsumsi”.
Kembali
pada kasus iklan tadi; dengan menampilkan pria kulit putih yang tidak sadar
kamera, pembuat iklan ingin mengatakan bahwa inilah masukulinitas yang ideal:
kalianlah yang melihat aktivitas saya, saya tidak perlu menyesuaikan diri untuk
menjadi obyek. Saya sudah cukup ideal dengan apa adanya saya, saya bahkan tidak
(perlu) menyadari bahwa kalian memperhatikan saya. Sebaliknya, pria kulit hitam
digambarkan menghadap kamera sebagai tanda bahwa dia adalah obyek, seperti
penjelasan sebelumnya.
Kita
kemudian mengenal istilah “candid”,
kita difoto tapi tidak sadar kalau kita difoto. Dalam foto semacam itu, pose
kita akan terlihat lebih “asli”. Gaya tertawa kita, sikap duduk kita, cara kita
berorasi, semuanya memang begitu adanya—tanpa mengatur pose. Dalam beberapa
kasus, kita mendapati foto candid kita lebih bagus, lebih cantik, dan lebih
keren. Namun tidak jarang kita juga mendapati foto yang konyol, yang mukanya absurd, atau wajah yang mengantuk. Tapi kalau
kita mau jujur; itulah diri kita yang sebenarnya. Kadang kita bisa baik, kadang
bisa tidak-terlalu baik.
“Ketahuilah,
tidak ada orang yang benar-benar mencintaimu apa adanya,” tulis seorang teman
dalam blognya, “karena apa yang orang lihat darimu adalah kebaikan yang Dia
tampakkan, dengan keburukan yang Dia tutupi”. Kalimat yang luar biasa. Itu
membuat saya paham bahwa hanya ada satu Cinta sejati: Tuhan. Dia tetap
mencintai hamba-Nya dengan setiap keburukan yang Dia saksikan, yang dicatat
oleh pasukan langit-Nya. Dia tetap memberikan nikmat yang tak ternilai harganya,
dengan setiap kebatilan kita yang Dia “rekam”.
Yap! Saya
membayangkan ada CC TV di atas sana, mirip seperti yang saya temukan di toko
itu pagi itu, hanya saya jauh lebih awesome.
CC TV itu begitu canggih, sehingga bisa merekam kegiatan kita setiap detiknya,
dari pagi sampai pagi lagi. Daya jangkaunya begitu luas, dan menembus
penghalang apapun—baik saat kita pergi ke ujung dunia, atau saat bersembunyi di
dalam ruangan terkunci. Dan tidak seperti CC TV biasa yang kebanyakan hanya
merekam gambar visual, CC TV Langit ini bisa merekam suara kita, bahkan suara
dalam hati kita.
Wauw, kalau
kita sadar bahwa kita sedang (dan selalu) direkam, seperti aturan yang berlaku
tadi, kita semestinya selalu terdorong untuk menjaga attitude. Jaim; menjaga image
kita sebagai seorang hamba—menjaga perilaku, perkataan, niat, dan sebagainya.
Faktanya, kita (sering) tidak “sadar kamera”, kita sering hanya ter-candid.
Mungkin
inilah mengapa Umar bin Khattab mewanti-wanti: “lebih takutlah pada amal
burukmu daripada kepada musuhmu”. Karena coba lihatlah ke atas, kita sedang
“direkam”.
Astagfirullah. []
bener banget klo kita mikirnya seperti itu, kita harusnya bisa lebih menjaga kelakuan kita jangan sampai kelakuan buruk kita yang terekam.
ReplyDeletetulisan yang sangat menusuk.
ReplyDeleteterkadang saya juga lupa akan ekesistensi yang Maha Segala. atau bisa dikatakan pura pura tidak tahu dan cuek. semoga kita senantiasa diberi kemudahan dalam setiap kebaikan ya bro :)
salam kenal.
tulisan yang bagus.
Iya memang untuk bisa selalu eling lan waspada, hati dan sense kita perlu dilatih.
ReplyDelete