Saya punya seorang teman. Dia adalah mantan “penganut” filosofi skolastik.
Dulu saya sering berdiskusi dengannya soal
keimanan. Dan untuk membalas sikap kepeduliannya pada keimanan saya, saya
menawarinya sebuah buku lama yang berjudul Kuliah
Tauhid. Seseorang, yang dulu sempat menjadi “guru” saya (sekarang juga
masih), menyuruh saya untuk mengopi buku tersebut. Saya bilang buku ini mungkin
akan bisa “menjinakkan” ke-skolastik-kannya. Rupanya, dengan tanpa dosa, dia
menjawab singkat: saya bukan lagi orang
skolastik.
Saya sempat berpikir, mengapa pemikiran filosofi
seseorang bisa berubah-rubah. Orang itu akan terkesan seperti mencla-mencle (kalau orang Jawa bilang: esuk dhele, sore tempe). Namun kemudian
saya sadar, bahwa dalam dunia filosofi, ada yang disebut dengan self-cancelling, atau gemar membatalkan
argumen-argumen yang pernah dibuatnya sendiri.
Self-cancelling kemudian menjadi sebab mengapa seribu filsuf memberi seribu jawaban
atas pertanyaan yang sama, misal: “apakah tujuan hidup?”. Jawaban atas pertanyaan
itu terus berkembang, dari jaman Democritus sampai yang teoritis seperti
Sigmund Freud. Jawaban satu akan membantai jawaban yang lain. Meski begitu,
pemikiran “baru” seseorang tidak lantas terlepas begitu saja dari pemikiran
lamanya.
Dosen saya pernah menyinggung soal cara
belajar secara “hermeutika”, bahwa apa yang kita pelajari sekarang tidak lantas
memutus “sejarah” pemikiran kita, selalu ada lingkaran pemahaman. Dan sejauh
yang saya tahu, alam filosofis itu memang bersifat “nomandik”, tak pernah
mantap stabil. Itu membuat pemikiran kita tidak pernah final, hanya saja
pemahaman kita makin kaya, makin kompleks, dan makin luas. Kita akan semakin “mendekati”
kebenaran.
Seorang gadis pernah berkata, “kamu itu
terlalu dinamis”, ketika kami mengobrol tentang perkembangan kehidupan organisasi
masing-masing. Nah, sekarang saya punya jawaban ilmiah atas klaim itu: saya
sedang berada di ruangan self-cancelling.
Suatu kali, saya sempat
meng-kepo (dan berniat mengkhatamkan) blog dua orang teman. Yang satu adalah
orang yang saya sebutkan di awal, yang satu adalah teman SMA yang mengaku
sedang penasaran dengan Karl Marx. Dan akhirnya, hasil investigasi blog dua
orang filsuf-filsufan itu tidak sia-sia. Selain mendapat banyak pengetahuan dan
cara menulis yang keren, saya juga semakin paham konsep self-cancelling. Saya mendapati bahwa pemikiran mereka berkembang,
blog mereka adalah jejak pemikiran mereka.
Satu hal yang saya pelajari dan langsung
bisa diterapkan dalam masyarakat: bahwa kita tidak harus menjadi benar.
Ketidakmampuan (dan ketidakmauan) untuk mengakui kesalahan pribadi hanya akan
membuat kita cenderung untuk merasa paling benar. Saya yakin, tugas kita di
dunia ini hanyalah berusaha mendekati kebenaran. Kita tidak bisa mengatakan: Islamku
lebih benar dari Islammu, karena pada dasarnya bukan tugas kita untuk menilai.
Apalagi yang hanya taqlid buta atas
apa yang diajarkan kepadanya.
Secara tidak langsung, teman saya bahkan secara
“jujur” mengakui kalau pemikiran yang dia paparkan di blognya masih belum fix, bisa saja dia akan
mendefinisikannya kembali suatu saat. Dan benar saja, dia membuat pembahasan
yang mirip dengan tulisan itu di tulisannya yang baru. Dia seperti menutup lubang
kekurangannya sendiri, yang mungkin tidak akan secara sempurna tertutup.
Karenanya, saya sarankan untuk berhati-hati
dalam menghakimi seseorang, apalagi “data” yang kita rujuk sebagai justifikasi
itu berasal dari masa lalu. Semakin banyak data yang dikepo, mungkin akan
semakin akurat prediksi kita tentang seseorang. Namun tak peduli seberapa tepat
informasi yang kita kumpulkan dari seseorang, itu semua berasal dari masa lalu.
Manusia berkembang, apalagi yang haus akan ilmu pengetahuan. Dengan konsep self-cancelling, mereka mungkin dengan
mudah mereinvesi pemikiran mereka.
Dan seperti tulisan-tulisan sebelumnya, tulisan ini
adalah argumen yang berbentuk opini. Saya bisa jadi akan meng-cancel argumen saya sendiri di masa
depan, entah di tulisan keberapa. []
Blogging is the new poetry. I find it wonderful and amazing in many ways.
ReplyDeleteWhat you're saying is completely true. I know that everybody must say the same thing, but I just think that you put it in a way that everyone can understand. I'm sure you'll reach so many people with what you've got to say.
ReplyDelete