Hati Seluas Lautan

Oct 9, 2015

Waktu aku pergi ke pantai. Aku melihat laut. Aku lalu membawa pulang oleh-oleh yang tidak habis dimakan dan bisa dibagikan ke semua orang: catatan perjalanan (spiritual).

wide, blue God's sign.
Seorang dosen pernah menerangkan materi tentang dua terminologi yang sama tapi beda; “ruang” dan “tempat”. Seiring berkembangnya teknologi media, paradigma tentang “tempat” berubah menjadi “ruang”. Artinya, orang-orang sudah tidak lagi membicarakan “tempat” secara fisik dan geografis, tetapi menjadi sebuah “ruang” di mana kita dipersatukan oleh teknologi, ide, atau minat yang sama. Globalisasi telah menghilangkan batas territorial antar daerah, orang-orang sekarang berbicara tentang ruang sosial dan ruang di dunia maya.

Arjun Appadurai, dalam jurnal materi kuliah itu, mengatakan: berhentilah memikirkan istilah “bentangan daratan” (landscape), dan sadarilah bahwa dunia kita sekarang secara teori dipetakan ke dalam bentangan etnis (ethnoscapes), media (mediascape), teknologi (technoscape), kepentingan ekonomi (financescape), dan ide (ideoscape). Aku tertarik dengan istilah yang terakhir, dan memahaminya sebagai sebuah kelompok yang orang-orangnya memiliki ide yang sama. Sebuah ruangan yang dibangun dengan pondasi idealisme.

Banyak orang menciptakan ruangan ide tertentu yang begitu eksklusif sehingga tidak setiap orang dia ijinkan masuk. Noe Letto memiliki sebuah ruang rindu tempat dia bertemu dengan “seseorang yang datang dan pergi begitu saja”. Rumi mengundang seseorang ke dalam sebuah taman yang terletak di sebuah ruang yang berada “di luar nilai salah dan benar”.

Aku membayangkan seseorang yang diundang Rumi ke ruang pribadinya pastilah seseorang yang sangat penting baginya, yang bisa “nyandak” pemikiran Rumi. Karena sejauh yang kutahu, hanya Friedrich Nietzche, filsuf asal Jerman yang dijuluki sebagai si Pembunuh Tuhan, yang juga menciptakan frase yang mirip: “beyond good and evil”.

Aku pun begitu. Aku punya sebuah ruang ide yang tampaknya sedikit sekali orang yang tertarik untuk masuk. Aku mungkin memiliki banyak teman menyenangkan dalam “ruangan” yang lain; dalam ethnoscapes, mediascape, technoscape, atau financescape. Tapi dalam ideoscape pribadi, aku kadang merasa sangat kesepian.

Waktu aku pergi ke pantai. Aku melihat laut. Aku melihat sebuah ruangan yang sangat luas berwarna biru. Ruangan itu tampaknya bisa menampung segalanya tanpa mengubah warna birunya. Orang Jawa memiliki filosofi sendiri mengenai “daya tampung” lautan, yang kemudian menciptakan frase jembar segarane, yang bisa diterjemahkan menjadi luas lautannya. Laut di situ, tentu saja, bermakna konotasi. Luas lautannya artinya mudah memaafkan.

Baiklah, aku akan belajar dari laut. Setiap orang datang dan pergi meninggalkan sampah dan noda, namun laut tetap pada warna birunya. Kau bisa menetesinya dengan tinta setiap hari namun air di laut akan segera menghapusnya, dan laut tidak akan dendam padamu. Nelayan mungkin sering meneteskan minyak kapalnya, pun laut tetap menyediakan ikan untuknya. Laut adalah contoh luar biasa untuk ketabahan.

Ada cerita mengenai seseorang yang galau, dan merasa masalah yang dia hadapi begitu rumit. Ketika dia bertanya kepada guru sufi, sang guru menyuruhnya untuk mengambil segelas air dan dua genggam garam. Garam itu kemudian dimasukkan ke dalam gelas, dan dia disuruh meminumnya. Tentu saja, dia mencecap rasa asin yang luar biasa. Setelah itu, mereka berdua pergi ke sebuah danau. Sang guru menyuruhnya untuk memasukkan garam itu ke dalam danau. Ketika dia diminta untuk merasakan air di dalam danau, rasanya tetap sama: segar.

Cerita tersebut menjelaskan nilai filosofis yang begitu sederhana: masalah yang kita hadapi mungkin sama, namun apa yang kita rasakan tergantung seberapa luas hati yang menerimanya. Kita percaya, Tuhan tidak akan memberikan masalah yang tidak bisa kita hadapi. Mudah atau sulitnya masalah itu kemudian tergantung pada bagaimana kita memandangnya. Ketika hati kita sempit, kita akan merasakan “asin” yang luar biasa. Namun bila hati kita luas, masalah yang kita hadapi seakan bisa teratasi begitu saja.

Jembar segarane; orang yang memiliki “lautan yang luas” berarti memiliki hati seluas lautan yang bisa segera menghapus kesalahan orang lain padanya. Hatinya tidak hanya luas, namun juga tenang. Karena pada dasarnya, kita memaafkan orang lain bukan karena mereka pantas dimaafkan, melainkan karena kita pantas hidup tenang.

Aku sungguh ingin belajar dari laut.[]

pict source: http://images.gizmag.com/

1 comment:

  1. "Masalah yang kita hadapi mungkin sama, namun apa yang kita rasakan tergantung seberapa luas hati yang menerimanya."

    Ah, dalem banget. I relate so well. Semoga saja kita bisa masuk kategori pemilik hati yang dalam itu.

    ReplyDelete