Dalam Kajian Amerika (dan mungkin ilmu kajian budaya yang
lain), pemilihan topik skripsi harus memperhatikan seberapa kuat nilai budaya
yang ingin dibahas, sehingga tidak terjebak dalam nilai universal. Gampangnya,
pambahasan harus masuk ke dalam konteks budaya yang kita kaji. Misal, “setiap
orang memiliki hak untuk hidup” adalah nilai universal, sementara nilai budaya
(atau kultural) yang ada di Amerika Serikat (AS) adalah “warga sipil boleh
memiliki senjata untuk melindungi diri”.
Nilai universal adalah nilai yang bisa diterima semua pihak,
sementara nilai kultural bisa berbeda-beda, terikat konteks kejadian, ruang dan
waktu. Untuk bisa mengerjakan penelitian dengan baik, seseorang perlu bisa mengetahui
garis tegas antara nilai universal dan nilai kultural. Karena bila seorang
mahasiswa Kajian Amerika terlalu fokus pada argumen “setiap orang memiliki hak
untuk hidup”, tanpa mau menggali lebih jauh tentang konteks “hak hidup” di AS
itu bagaimana, apa beda mereka dengan mahasiswa ilmu kajian budaya yang lain?
Kajian Timur Tengah, misalnya.
Dosen saya kemudian mengatakan bahwa justru akan lebih mudah
menjadi mahasiswa Kajian Amerika bila kamu ada di luar AS. Logikanya, mahasiswa
asli AS akan kesulitan dalam menentukan batasan antara nilai universal dan kultural.
Secara, mereka hidup di sana dengan nilai-nilai budaya AS, sehingga nilai
kulturalnyapun akan menjadi terasa seperti nilai universal. Sementara mahasiwa
di luar AS, kata Ibu Dosen, bisa dengan mudah menentukan nilai kultural AS.
Caranya sederhana: kalau ada nilai yang berbeda dengan nilai yang kita pahami
di Indonesia, berarti itulah nilai kultural AS.
Kemudian saya ingat pernah berdiskusi tentang konsep takdir.
“Manusia diciptakan berpasang-pasangan” adalah ketetapan yang tertera dalam
Kitab Suci. Seseorang memahami itu sebagai konsep jodoh. Dia mengatakan pada saya
bahwa takdir bisa diartikan sebagai: batasan. Dengan begitu, takdir dari Tuhan
adalah sesederhana “setiap manusia akan memiliki pasangan”. Dengan siapa dia
menikah, itu sudah masuk ranah ikhtiar.
Bila Tuhan sudah memplot siapa dengan siapa, rasanya esensi
An Nuur ayat 26 akan terganggu. Bagaimana tidak? Bila si Fulan adalah orang
yang bejat, jodoh yang Dia siapkan untuknya juga bejat—logikanya seperti itu.
Katakanlah dia telah memperbaiki diri, apakah pasangannya juga masih yang bejat
tadi?
Tuhan Maha Mengganti, kalau kata Mario Teguh.
“Apakah satu ayat bisa menyalahkan ayat yang lain?” tanya
seorang teman mencoba menyelesaikan diskusi kami yang cukup alot waktu itu (ini
diskusi yang lain). Pertanyaannya memang retoris. “Manusia diciptakan
berpasang-pasangan” tidak lantas mengurangi kebenaran argumen “wanita yang baik
untuk pria yang baik”. Sebuah ayat akan berintegrasi dengan ayat yang lain.
Lalu, bila kembali ke dikotomi nilai universal dan kultural,
saya sampai kepada simpulan bahwa “manusia diciptakan berpasang-pasangan”
adalah nilai universal, sementara An Nuur ayat 26 mencerminkan nilai kultural. Nilai
universal tidak bisa berubah, sementara nilai kultural bisa. Pada titik ini,
kalimat “jodoh ada di tangan Tuhan” sepertinya perlu dikaji ulang. Sederhananya
begini: jodohmu ada di tanganmu, tapi bukan berarti Tuhan tidak ikut campur dan
tidak tahu kalau kamu bakal sama dia. Karena Tuhan Maha Tahu, dan Maha Ikut
Campur.
Di kesempatan yang lain, seorang teman pernah bertanya, bila
ada konsep “Tuhan tidak mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mau mengubah
diri mereka sendiri”, berarti memang kita sendiri yang mengatur kehidupan kita,
bukan Tuhan? Well, saya bilang padanya bahwa ada dua pelaku perubahan di situ; Tuhan dan kaum. Perubahan dari Tuhan
harus didahului perubahan dari kaum. Ini
seperti kamu mengajukan proposal perubahan, untuk kemudian apakah Tuhan mau acc atau tidak.
Diskusi kami mulai serius ketika salah seseorang mengajukan
sebuah kasus. Ada bayi baru lahir meninggal, dan dia masuk surga. Ada orang
yang berumur 40 tahun meninggal pada saat berbuat dosa, sehingga dia masuk
neraka. Lalu adilkah bila seperti itu? Ini seperti Tuhan menakdirkan satu orang
masuk surga dan orang lain masuk neraka.
Tentu saja jawabnya tetap sama seperti konsep yang sudah
dipercaya: Tuhan Maha Adil. Kata “menakdirkan” di atas kemudian menjadi diskusi
tersendiri. Analogikan seperti ini: ketika seseorang mengambil gelas,
memasukkan satu sendok kopi, memasukkan gula, menuang air panas, lalu meminum
kopi—yang disebut takdir yang mana? Karena takdir adalah batasan, maka yang
paling akhirlah yang disebut takdir: meminum kopi.
Dia akan tetap meminum kopi. Namun sebelum minum kopi, ada
hal-hal yang bisa dia usahakan: memilih kopi berkualitas, menaruh gula dan
menuang air yang benar-benar panas. Kopinya akan sesuai dengan apa yang dia
usahakan. Bila dia tidak mau susah-susah merebus air, berarti dia harus minum
kopi dengan air mentah. Bila dia tidak mau capek-capek membeli gula, berarti
dia harus siap dengan pahitnya kopi. Kita sudah ditakdirkan untuk meminum kopi,
pertanyaannya: kopi seperti apa yang ingin kita minum?
Sama bukan? Meninggal dunia adalah nilai universal, yang
kemudian disebut takdir. Memang sudah ditakdirkan bahwa “kita akan meninggal di
usia sekian”, namun dalam kesempatan sampai “usia sekian” itu, kita selalu
memiliki peluang untuk mengusahakan akhir yang baik, khusnul khotimah. Bila kembali ke kasus tadi, berarti memang si 40
tahun tadi yang bertanggung jawab atas perbuatan dosa di akhir hidupnya, bukan
Tuhan. Rasanya semua “akhir” bisa diusahakan, termasuk dengan siapa kita
mengakhiri masa jomblo kita.
Bila dalam mengerjakan skripsi saja mahasiswa perlu bisa
membedakan nilai universal dan nilai kultural, apalagi dalam menjalani hidup di
era postmodern seperti sekarang. Dalam hidup, ada hal-hal yang bisa dirubah, dan
ada yang tidak bisa dirubah. Ada area yang bisa dikuasai manusia, dan ada yang
tidak. Tugas kita adalah: bisa membedakan di antara keduanya.
Intinya, jadi muslim harus optimis.[]
wow, luar biasa. aku gk nyangka ternyata kamu bisa menjelaskan takdir dengan perumpamaan yang lebih sederhana: minum kopi. aku bisa melihat takdir dengan lebih sederhana nih setelah paham konsep kopi yang kamu tulis itu.
ReplyDeletetrus paling suka dengan quote ini:
"Rasanya semua “akhir” bisa diusahakan, termasuk dengan siapa kita mengakhiri masa jomblo kita."
itu aku dapat dari ndengerin penjelasan seseorang mas.
ReplyDeleteJodoh pasti bertemu? :|
ReplyDeletekeren. mulai dari tntang penulisan skripsi menyambung ke diskusi bareng teman''. sampai diskusi tentang hal seperti itu. berat sih memang, gue sendiri pun masih blom paham tuh, mas. konsepnya sih, yg baik akan bertemu dengan yg baik dan yg buruk akan mndapatkan yg sama sperti itu.
ReplyDeleteklo kta guru gue dulu sih, terkadang mahasiswa itu suka mengkaji berbagai hal. hal yg telah ditetapkan bahkan d kaji. klo imannya blom kuat bisa keblinger sendiri.
kata'' terakhirnya sih yg ngena. jadi muslim harus optimis. gue jg lagi membiasakan diri utk sperti itu mas. gue percaya, masalah yg datang k diri kita ini ga mungkin d luar batas kemampuan kita. pasti bsa d selesaikan. asik. hehhe
kunjungan perdana nih mas
Baru mau baca post awalnya aja udah ada soal skripsi-skripsian, serem rasanya. Gue aja belom mulai wkwk
ReplyDeleteTapi at last kalo ngomongin soal jodoh, semua emang juga balik ke diri kita sendiri sih. Bener emang jodoh ada di tangan Tuhan, cuman kan kita gatau siapa. So, back to you. Balik lagi, semua tergantung diri kita sendiri deh. Karena itu masih rahasia. :))
Artikelnnya keren kak
ReplyDeleteAgen Bola Terpercaya | Agen Bola Online | Agen Bola Indonesia| Agen Judi Bola | Agen Bola Terbaik | Cara Daftar Sbobet
Agen Judi bola
Agen judi terbaik
Agen casino sbobet
Cara daftar sbobet
Agen bola indonesia
Agen bola online
Agen bola terpercaya
Hanya ada di http://v77bet.com