Nassirun Purwokartun ternyata benar ketika mengatakan pada
saya bahwa menulis bukan hanya soal menyendiri di dalam kamar. Maksudnya, saya
sempat memikirkan maksud filosofis dari pernyataan beliau, ternyata itu memang
bermakna literal. Sejauh ini, saya menulis di tempat yang
berbeda-beda; dalam kamar, rumah Nenek, sekre UKM, di tengah-tengah rapat, bahkan
di dalam arena badminton ketika menunggu giliran main. *serius*
Ide kadang muncul di otak di luar kendali kita, di waktu-waktu
yang sebenarnya kita perlu fokus melakukan sesuatu (yang paling parah, ketika
sholat). Agar tidak menguap begitu saja, ide tersebut harus segera ditulis,
minimal kata kuncinya di tulis di hape. Ide seperti ikan salmon yang berenang
lurus melintasi sungai pikiran, kau harus segera menjaringnya sebelum ikan itu
berenang menjauh. Maka dari itu, akhir-akhir ini saya kembali sering membawa
laptop kemana-mana. Karena salah satu aturan penting ketika menjadi penulis
adalah: selalu bawa buku catatan dan pulpen cadangan.
Hal yang paling menyenangkan ketika menyelami dunia ide
adalah bahwa kamu tidak perlu memikirkan apakah ide itu bisa diterapkan atau
tidak. Kamu bisa menuliskan sesuatu berdasarkan ide yang berada di “menara
gading”, yang tidak menyentuh tanah bernama realitas (atau belum). “Ketika
menulis, tetaplah mabuk agar realitas tidak bisa menghancurkanmu”, begitulah pesan
dari Ray Bradbury. Ide memang bersifat non-material, karenanya orang-orang
berpaham materialism tidak tertarik dengan eksistensinya. Ide tumbuh dalam otak
orang-orang idealis.
Ketika ada orang yang bilang, “halah, dia masih mahasiswa, pantes idealis. Nanti kalau udah masuk
sistem juga kebawa”, saya yakin kalau orang itu dulunya bukan mahasiswa
idealis, atau bahkan tidak paham apa itu idealis. Kalau “sistem” yang dia
maksud adalah demokrasi modern, dia lupa bahwa itu justru dibawa oleh tokoh kelewat
idealis penggerak revolusi Perancis bernama Jean Jaques Rousseau. Dan kalau
yang dia maksud adalah tentang kecenderungan mementingkan kepentingan ekonomi
pribadi, itu dibawa oleh seorang dosen idealis di Glasgow bernama Adam Smith.
Pada perspektif ini, realitas memang sebenarnya tidak mengubah
orang. Sebaliknya, ide dari seseoranglah yang mengubah realitas. Idealisme bisa
melekat pada seseorang tidak peduli apa pekerjaannya, jurusan kuliahnya, atau tingkat
kesibukannya di organisasi. Idealisme bisa melekat pada anak gembala yang
ketika Umar bin Khattab RA mengujinya dengan berkata, “Jual padaku satu dari
kambing-kambing itu, tuanmu tidak akan tahu, bilang saja kalau dimakan
serigala,”, dia menjawab, “Apa yang akan aku katakan pada Allah kalau aku
bilang kambing itu dimakan serigala?” Idealisme adalah tentang kesadaran.
Suatu hari saya dan seorang teman melintasi rak buku
motivasi di Toga Mas, dia bilang kalau penulis buku-buku itu hanya “menjual ide”,
konteks masalah tiap orang mungkin tidak sama untuk digeneralkan dalam satu
solusi motivasi. Well, saya juga merasa kalau sebagian tulisan di blog ini juga
hanya “menjual ide”. Seperti yang saya
sebutkan tadi, idenya berada di menara gading, dan tidak (atau belum) menyentuh
dasar realitas.
It’s okay, saya tidak terlalu memikirkannya. Daisy Elva
mengajarkan saya untuk meminimalisasi kata “harus” dalam setiap tulisan. Maksudnya,
ketika menulis, kita tidak bisa memaksakan opini kita ke orang lain. Selain
cara penyampaian, ada banyak faktor yang mempengaruhi kesepahaman orang lain;
misal tingkat ketertarikannya, atau apakah bacaan-bacaan yang dia baca hampir
sama, dan sebagainya. Karenanya, demi kesehatan kejiwaan juga, sebaiknya kita
tidak memaksakan orang lain untuk percaya pemikiran kita.
Intinya memang di situ, orang lain tidak harus percaya—tidak
harus sekarang. Sampai saat ini, ide sosialis kiri mentok Karl Marx juga
dianggap utopis. Dunia lebih tertarik dengan konsep laissez faire-nya Adam Smith yang terbukti memungkinkan Bill Gates
bisa memiliki kekayaan hampir setara dengan separuh APBN kita. Ini bukan
masalah saya suka atau tidak suka dengan Marx, (walaupun jurusan kuliah saya, Kajian Budaya, memang
bernafaskan Marxism). Ini lebih karena saya setuju dengan pernyataan di film V
for Vendetta: ide tidak bisa dibunuh. Marx mungkin sudah lama meninggal dunia
(dan katakanlah, gagal). Tapi siapa yang tahu, dalam beberapa dekade lagi, ide
Marx mungkin kembali untuk mengubah dunia.
Idealis bisa secara sederhana diartikan sebagai orang yang
memiliki cita-cita besar, memiliki visi. Poin menyakitkan dari orang idealis
adalah: biasanya dia dikelilingi oleh orang yang tidak peduli. Karena kalau
semua orang harus setuju dengan sesuatu yang dibawa orang idealis, maka Abu
Jahal bisa setaat Abu Bakar RA. Yap, ini mungkin bukan dari fatwa ulama, tapi
saya mulai merasa kalau menjadi idealis dan peduli pada kepentingan orang
banyak adalah sunnah paling fundamental dari Rasulullah SAW.
Rasulullah adalah orang paling visioner yang bisa kita
kenal. Ketika Islam masih belum berkembang pesat, tepatnya ketika mereka
kesulitan menghadapi musuh di perang Khandak, Rasulullah sudah menyampaikan
bahwa Persia dan Romawi akan dibebaskan. Visi-visi tidak masuk akal seperti
itulah yang membuat beliau SAW waktu itu dianggap gila. Well, itulah
konsekuensi dari orang bervisi besar: dianggap gila.
Rasulullah mungkin tidak hidup cukup lama untuk
menyaksikan Islam menguasai hampir 2/3 dunia, namun beliau SAW berhasil
menanamkan visi kepada para sahabat dan pengikutnya, termasuk (seharusnya)
kita. Karena sekali lagi, orang memang bisa meninggal dunia, tapi idenya tidak.
Sebagai penutup, saya ada usul konkret: (1) miliki kesadaran,
(2) dapat ide bagus, (3) tulis, (4) terserah orang lain mau menyikapinya
seperti apa. []
Ide yang bagus emang harusnya dituliskan dan kemudian direalisasikan ya mas. Mudahnya, ide akan berjalan begitu saja dan hal-hal yang menyangkut ide tadi juga ikut mengalir. Layaknya sebuah ide brilian, diawali oleh ide-ide kecil didalam sangkar :)
ReplyDeleteTulisannya bagus mas, boleh nih :)
www.jungjawa.com
tulisannya bagus. ini bikin saya semangat lagi buat nulis. sedih banget banyak waktu yang terbuang untuk hal yang gak penting, apalagi kalau punya ide gak langsung ditulis, saat lupa jadi kesel sendiri. hihi makasih yaaa inspiring deh tulisannya :)
ReplyDeleteNice :) menurut saya menjadi idealis itu sebenarnya memang perlu. Karena nantinya akan membantu kita memiliki standar kesadaran saat masuk suatu "sistem baru".
ReplyDelete