Jodoh

Nov 14, 2015

Dalam Kajian Amerika (dan mungkin ilmu kajian budaya yang lain), pemilihan topik skripsi harus memperhatikan seberapa kuat nilai budaya yang ingin dibahas, sehingga tidak terjebak dalam nilai universal. Gampangnya, pambahasan harus masuk ke dalam konteks budaya yang kita kaji. Misal, “setiap orang memiliki hak untuk hidup” adalah nilai universal, sementara nilai budaya (atau kultural) yang ada di Amerika Serikat (AS) adalah “warga sipil boleh memiliki senjata untuk melindungi diri”.

Nilai universal adalah nilai yang bisa diterima semua pihak, sementara nilai kultural bisa berbeda-beda, terikat konteks kejadian, ruang dan waktu. Untuk bisa mengerjakan penelitian dengan baik, seseorang perlu bisa mengetahui garis tegas antara nilai universal dan nilai kultural. Karena bila seorang mahasiswa Kajian Amerika terlalu fokus pada argumen “setiap orang memiliki hak untuk hidup”, tanpa mau menggali lebih jauh tentang konteks “hak hidup” di AS itu bagaimana, apa beda mereka dengan mahasiswa ilmu kajian budaya yang lain? Kajian Timur Tengah, misalnya.

Dosen saya kemudian mengatakan bahwa justru akan lebih mudah menjadi mahasiswa Kajian Amerika bila kamu ada di luar AS. Logikanya, mahasiswa asli AS akan kesulitan dalam menentukan batasan antara nilai universal dan kultural. Secara, mereka hidup di sana dengan nilai-nilai budaya AS, sehingga nilai kulturalnyapun akan menjadi terasa seperti nilai universal. Sementara mahasiwa di luar AS, kata Ibu Dosen, bisa dengan mudah menentukan nilai kultural AS. Caranya sederhana: kalau ada nilai yang berbeda dengan nilai yang kita pahami di Indonesia, berarti itulah nilai kultural AS.

Kemudian saya ingat pernah berdiskusi tentang konsep takdir. “Manusia diciptakan berpasang-pasangan” adalah ketetapan yang tertera dalam Kitab Suci. Seseorang memahami itu sebagai konsep jodoh. Dia mengatakan pada saya bahwa takdir bisa diartikan sebagai: batasan. Dengan begitu, takdir dari Tuhan adalah sesederhana “setiap manusia akan memiliki pasangan”. Dengan siapa dia menikah, itu sudah masuk ranah ikhtiar.

Bila Tuhan sudah memplot siapa dengan siapa, rasanya esensi An Nuur ayat 26 akan terganggu. Bagaimana tidak? Bila si Fulan adalah orang yang bejat, jodoh yang Dia siapkan untuknya juga bejat—logikanya seperti itu. Katakanlah dia telah memperbaiki diri, apakah pasangannya juga masih yang bejat tadi?

Tuhan Maha Mengganti, kalau kata Mario Teguh.

“Apakah satu ayat bisa menyalahkan ayat yang lain?” tanya seorang teman mencoba menyelesaikan diskusi kami yang cukup alot waktu itu (ini diskusi yang lain). Pertanyaannya memang retoris. “Manusia diciptakan berpasang-pasangan” tidak lantas mengurangi kebenaran argumen “wanita yang baik untuk pria yang baik”. Sebuah ayat akan berintegrasi dengan ayat yang lain.

Lalu, bila kembali ke dikotomi nilai universal dan kultural, saya sampai kepada simpulan bahwa “manusia diciptakan berpasang-pasangan” adalah nilai universal, sementara An Nuur ayat 26 mencerminkan nilai kultural. Nilai universal tidak bisa berubah, sementara nilai kultural bisa. Pada titik ini, kalimat “jodoh ada di tangan Tuhan” sepertinya perlu dikaji ulang. Sederhananya begini: jodohmu ada di tanganmu, tapi bukan berarti Tuhan tidak ikut campur dan tidak tahu kalau kamu bakal sama dia. Karena Tuhan Maha Tahu, dan Maha Ikut Campur.

Di kesempatan yang lain, seorang teman pernah bertanya, bila ada konsep “Tuhan tidak mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mau mengubah diri mereka sendiri”, berarti memang kita sendiri yang mengatur kehidupan kita, bukan Tuhan? Well, saya bilang padanya bahwa ada dua pelaku perubahan di situ; Tuhan dan kaum. Perubahan dari Tuhan harus didahului perubahan dari kaum. Ini seperti kamu mengajukan proposal perubahan, untuk kemudian apakah Tuhan mau acc atau tidak.

Diskusi kami mulai serius ketika salah seseorang mengajukan sebuah kasus. Ada bayi baru lahir meninggal, dan dia masuk surga. Ada orang yang berumur 40 tahun meninggal pada saat berbuat dosa, sehingga dia masuk neraka. Lalu adilkah bila seperti itu? Ini seperti Tuhan menakdirkan satu orang masuk surga dan orang lain masuk neraka.

Tentu saja jawabnya tetap sama seperti konsep yang sudah dipercaya: Tuhan Maha Adil. Kata “menakdirkan” di atas kemudian menjadi diskusi tersendiri. Analogikan seperti ini: ketika seseorang mengambil gelas, memasukkan satu sendok kopi, memasukkan gula, menuang air panas, lalu meminum kopi—yang disebut takdir yang mana? Karena takdir adalah batasan, maka yang paling akhirlah yang disebut takdir: meminum kopi.

Dia akan tetap meminum kopi. Namun sebelum minum kopi, ada hal-hal yang bisa dia usahakan: memilih kopi berkualitas, menaruh gula dan menuang air yang benar-benar panas. Kopinya akan sesuai dengan apa yang dia usahakan. Bila dia tidak mau susah-susah merebus air, berarti dia harus minum kopi dengan air mentah. Bila dia tidak mau capek-capek membeli gula, berarti dia harus siap dengan pahitnya kopi. Kita sudah ditakdirkan untuk meminum kopi, pertanyaannya: kopi seperti apa yang ingin kita minum?

Sama bukan? Meninggal dunia adalah nilai universal, yang kemudian disebut takdir. Memang sudah ditakdirkan bahwa “kita akan meninggal di usia sekian”, namun dalam kesempatan sampai “usia sekian” itu, kita selalu memiliki peluang untuk mengusahakan akhir yang baik, khusnul khotimah. Bila kembali ke kasus tadi, berarti memang si 40 tahun tadi yang bertanggung jawab atas perbuatan dosa di akhir hidupnya, bukan Tuhan. Rasanya semua “akhir” bisa diusahakan, termasuk dengan siapa kita mengakhiri masa jomblo kita.

Bila dalam mengerjakan skripsi saja mahasiswa perlu bisa membedakan nilai universal dan nilai kultural, apalagi dalam menjalani hidup di era postmodern seperti sekarang. Dalam hidup, ada hal-hal yang bisa dirubah, dan ada yang tidak bisa dirubah. Ada area yang bisa dikuasai manusia, dan ada yang tidak. Tugas kita adalah: bisa membedakan di antara keduanya.

Intinya, jadi muslim harus optimis.[]

6 comments:

  1. wow, luar biasa. aku gk nyangka ternyata kamu bisa menjelaskan takdir dengan perumpamaan yang lebih sederhana: minum kopi. aku bisa melihat takdir dengan lebih sederhana nih setelah paham konsep kopi yang kamu tulis itu.

    trus paling suka dengan quote ini:
    "Rasanya semua “akhir” bisa diusahakan, termasuk dengan siapa kita mengakhiri masa jomblo kita."

    ReplyDelete
  2. itu aku dapat dari ndengerin penjelasan seseorang mas.

    ReplyDelete
  3. keren. mulai dari tntang penulisan skripsi menyambung ke diskusi bareng teman''. sampai diskusi tentang hal seperti itu. berat sih memang, gue sendiri pun masih blom paham tuh, mas. konsepnya sih, yg baik akan bertemu dengan yg baik dan yg buruk akan mndapatkan yg sama sperti itu.
    klo kta guru gue dulu sih, terkadang mahasiswa itu suka mengkaji berbagai hal. hal yg telah ditetapkan bahkan d kaji. klo imannya blom kuat bisa keblinger sendiri.

    kata'' terakhirnya sih yg ngena. jadi muslim harus optimis. gue jg lagi membiasakan diri utk sperti itu mas. gue percaya, masalah yg datang k diri kita ini ga mungkin d luar batas kemampuan kita. pasti bsa d selesaikan. asik. hehhe

    kunjungan perdana nih mas

    ReplyDelete
  4. Baru mau baca post awalnya aja udah ada soal skripsi-skripsian, serem rasanya. Gue aja belom mulai wkwk

    Tapi at last kalo ngomongin soal jodoh, semua emang juga balik ke diri kita sendiri sih. Bener emang jodoh ada di tangan Tuhan, cuman kan kita gatau siapa. So, back to you. Balik lagi, semua tergantung diri kita sendiri deh. Karena itu masih rahasia. :))

    ReplyDelete
  5. Artikelnnya keren kak
    Agen Bola Terpercaya | Agen Bola Online | Agen Bola Indonesia| Agen Judi Bola | Agen Bola Terbaik | Cara Daftar Sbobet
    Agen Judi bola
    Agen judi terbaik
    Agen casino sbobet
    Cara daftar sbobet
    Agen bola indonesia
    Agen bola online
    Agen bola terpercaya

    Hanya ada di http://v77bet.com

    ReplyDelete