Kamera Langit

Sep 30, 2015

Kata seorang teman, ujian yang sebenarnya ketika kita mengerjakan tes adalah bukan tentang bagaimana mengerjakan soalnya, melainkan bagaimana menjaga iman kita untuk tidak melakukan hal yang tidak jujur. Ujian yang sebenarnya adalah: apakah kita merasakan kehadiran Tuhan atau tidak. Lalu apa hubungannya dengan tulisan ini?

Mungkin tidak ada.

Suatu pagi Ibu menyuruh saya pergi ke sebuah toko untuk membeli beberapa barang. Toko itu sudah sering saya kunjungi, namun kali ini saya menyadari sesuatu: bahwa ada kamera CC TV di halaman parkirnya. Dulu saya mendapati ada sebuah monitor menyala di dalam ruangan, namun tidak menyadari kalau itu adalah tayangan langsung dari sebuah tempat. Ketika saya melihat bahwa gambar bisu yang ditampilkan adalah gambar motor, saya langsung menuju parkiran dan mencari-cari di mana kamera diletakkan. Dan viola! Saya menemukan satu kamera tergantung di salah satu sudut—tanpa dosa.

Dosen saya suatu ketika pernah membahas tentang bagaimana kamera bisa mempengaruhi orang di sekitarnya. Itu adalah semacam intermezzo, karena yang didiskusikan pada waktu itu adalah tentang bagaimana seorang pria memposisikan pandangan matanya pada sebuah gambar iklan. Ibu dosen membandingkan dua iklan, satu menampilkan orang kulit putih, satu menampilkan orang kulit hitam. Dalam iklan tersebut, si kulit putih tidak menatap ke kamera, sedangkan si kulit hitam menatap kamera.

Dalam sebuah teori, bila seseorang menatap kamera saat direkam, berarti dia telah “rela” dirinya menjadi konsumsi publik. Dirinya adalah obyek. Ketika seseorang tahu bahwa dia sedang disorot kamera, disadari atau tidak, dia akan bertingkah berbeda. Semua orang pasti setuju; bila ada kamera mengarah ke dirinya, dia akan memperbaiki sikapnya, cara berjalannya, cara bicaranya, dan sebagainya. Dia akan memperbaiki attitude-nya.

Katakanlah kamu sedang asyik berbicara sendiri ketika mengikuti acara seminar yang ditayangkan di sebuah stasion televisi. Ketika suatu ketika kamu tahu cameramen tengah mengarahkan kameranya ke arahmu (atau tiba-tiba melihat wajahmu ada di layar), kamu akan menghentikan bicaramu dan bersikap lebih baik. Selalu begitu. Ketika kita tahu bahwa kita sedang ditonton orang, kita akan menjaga image, yang kemudian disebut: pencitraan. Kita tidak ingin memperlihatkan diri kita yang urakan, lebay, tertawa terbahak-bahak, dan hal-hal yang “memalukan” lainnya.

Intinya: kamu akan mencitrakan dirimu sebaik mungkin (“baik” dalam ukuran masyarakat), karena kamu tahu bahwa kamu sedang “dikonsumsi”.

Kembali pada kasus iklan tadi; dengan menampilkan pria kulit putih yang tidak sadar kamera, pembuat iklan ingin mengatakan bahwa inilah masukulinitas yang ideal: kalianlah yang melihat aktivitas saya, saya tidak perlu menyesuaikan diri untuk menjadi obyek. Saya sudah cukup ideal dengan apa adanya saya, saya bahkan tidak (perlu) menyadari bahwa kalian memperhatikan saya. Sebaliknya, pria kulit hitam digambarkan menghadap kamera sebagai tanda bahwa dia adalah obyek, seperti penjelasan sebelumnya.

Kita kemudian mengenal istilah “candid”, kita difoto tapi tidak sadar kalau kita difoto. Dalam foto semacam itu, pose kita akan terlihat lebih “asli”. Gaya tertawa kita, sikap duduk kita, cara kita berorasi, semuanya memang begitu adanya—tanpa mengatur pose. Dalam beberapa kasus, kita mendapati foto candid kita lebih bagus, lebih cantik, dan lebih keren. Namun tidak jarang kita juga mendapati foto yang konyol, yang mukanya absurd, atau wajah yang mengantuk. Tapi kalau kita mau jujur; itulah diri kita yang sebenarnya. Kadang kita bisa baik, kadang bisa tidak-terlalu baik.

“Ketahuilah, tidak ada orang yang benar-benar mencintaimu apa adanya,” tulis seorang teman dalam blognya, “karena apa yang orang lihat darimu adalah kebaikan yang Dia tampakkan, dengan keburukan yang Dia tutupi”. Kalimat yang luar biasa. Itu membuat saya paham bahwa hanya ada satu Cinta sejati: Tuhan. Dia tetap mencintai hamba-Nya dengan setiap keburukan yang Dia saksikan, yang dicatat oleh pasukan langit-Nya. Dia tetap memberikan nikmat yang tak ternilai harganya, dengan setiap kebatilan kita yang Dia “rekam”.

Yap! Saya membayangkan ada CC TV di atas sana, mirip seperti yang saya temukan di toko itu pagi itu, hanya saya jauh lebih awesome. CC TV itu begitu canggih, sehingga bisa merekam kegiatan kita setiap detiknya, dari pagi sampai pagi lagi. Daya jangkaunya begitu luas, dan menembus penghalang apapun—baik saat kita pergi ke ujung dunia, atau saat bersembunyi di dalam ruangan terkunci. Dan tidak seperti CC TV biasa yang kebanyakan hanya merekam gambar visual, CC TV Langit ini bisa merekam suara kita, bahkan suara dalam hati kita.

Wauw, kalau kita sadar bahwa kita sedang (dan selalu) direkam, seperti aturan yang berlaku tadi, kita semestinya selalu terdorong untuk menjaga attitude. Jaim; menjaga image kita sebagai seorang hamba—menjaga perilaku, perkataan, niat, dan sebagainya. Faktanya, kita (sering) tidak “sadar kamera”, kita sering hanya ter-candid.

Mungkin inilah mengapa Umar bin Khattab mewanti-wanti: “lebih takutlah pada amal burukmu daripada kepada musuhmu”. Karena coba lihatlah ke atas, kita sedang “direkam”.

Astagfirullah. []

3 comments:

  1. bener banget klo kita mikirnya seperti itu, kita harusnya bisa lebih menjaga kelakuan kita jangan sampai kelakuan buruk kita yang terekam.

    ReplyDelete
  2. tulisan yang sangat menusuk.
    terkadang saya juga lupa akan ekesistensi yang Maha Segala. atau bisa dikatakan pura pura tidak tahu dan cuek. semoga kita senantiasa diberi kemudahan dalam setiap kebaikan ya bro :)
    salam kenal.
    tulisan yang bagus.

    ReplyDelete
  3. Iya memang untuk bisa selalu eling lan waspada, hati dan sense kita perlu dilatih.

    ReplyDelete