Kawan, kalau kamu
masih ingin tahu betapa perlunya bagi kita untuk konsisten menulis, pahamilah
apa yang aku sampaikan kali ini.
Beberapa waktu yang
lalu aku menemukan sebuah artikel tentang 18 cara untuk meningkatkan
kecerdasan, dan “membuat jurnal” tertulis pada nomer dua. Di situ dikatakan
kalau Catharine M. Cox, seorang penulis buku, pernah mempelajari kebiasaan 300
orang jenius (seperti Isaac Newton, Einstein, dan Thomas Jefferson) dan
menemukan bahwa semua orang jenius tersebut merupakan penulis jurnal atau buku
harian yang rajin. Thomas Edison bahkan menulis tiga juta halaman catatan,
surat, dan pemikiran pribadinya dalam ratusan jurnal pribadi sepanjang
hidupnya.
Mereka, pria-pria
“sombong” itu (termasuk Gie), melakukannya tanpa laptop dan internet. Kamu
tahu, Kawan? Aku benar-benar memikirkan “pertanyaan” dosenku yang pernah aku
sampaikan padamu: “Sebenarnya apa sih pentingnya laptop dan internet? Toh
Aristoteles bisa menulis pemikiran hebat tanpa itu semua?” Aku serius memikirkannya,
I mean it.
Mungkin aku perlu
mulai memandang perkembangan IT bukan melulu tentang benda, tapi esensinya. Aku
mulai curiga: apakah perkembangan teknologi benar-benar mempermudah hidup kita,
atau hanya sekadar menambah pekerjaan (yang sebagian besarnya, seperti yang
kita tahu, tidak benar-benar penting). Aku sangsi kita akan memiliki Newton,
Einstein, atau Edison yang lain di masa depan; kita bahkan tidak punya Gie yang
baru! (meski saya sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya disumbang Gie untuk
kemajuan negara ini. He is probably just a
right man in the wrong time and place, just like Pak Habibie).
Maksudnya, Bill Gates
atau Steve Jobs tidak bisa dibandingkan dengan Edison. Menurut dosen yang sama,
ilmuan jaman dulu (dia menyebutnya: ilmuan pra-kapitalisme) tidak memiliki
kecenderungan untuk mengklaim dan menjual sesuatu yang mereka temukan. Edison
menemukan bola lampu, sementara Bill Gates menciptakan pelanggan. Aku kadang ingin
hidup di masa Edison, masa ketika orang-orang bisa begitu bahagia hanya karena
menekan stop kontak (malam hari kini tidak bisa memisahkan mereka dari membaca).
Aku tidak bisa terus-menerus berpura-pura
bahagia ketika menekan tombol log in ciptaan
Zuckerberg ini.
Terlepas dari benar
atau salahnya, artikel itu membuatku berpikir seperti ini: Seringkali ketika kita akan menyerah terhadap sesuatu yang baik, Tuhan
selalu punya cara yang tidak “manusiawi” untuk menyemangati kita.
Mari kita lanjutkan
pembicaraan ini dengan penjelasan mengapa aku menyebut mereka dengan pria-pria
“sombong”. Jelas sekali; buku Catatan
Seorang Demonstran adalah bukti terlihat dari kesombongan Gie. Orang-orang
yang konsisten dengan ideologinya berarti terlalu sombong untuk kalah dengan
Kehidupan. Kata apa lagi yang tepat untuk mendefinisikan orang yang tetap
idealis di tengah orang-orang yang perlahan menjadi pragmatis dan melacurkan
diri mereka pada dunia?
Aku kemudian
memikirkan sebuah poin, yang percayalah Kawan, akan sangat berguna bila posisi kalian
sekarang adalah organisatoris kampus yang (masih) idealis: Pikirkan; apakah
pemikiran idealis yang membuat Gie tetap menulis, atau kebiasaan menulis yang
membuatnya tetap idealis? Kalau kita renungkan, mungkin rutin menulis adalah ikhtiar paling
efektif untuk menjaga idealisme. Mungkin untuk itulah Tuhan bersumpah dalam
surat Al Qalam ayat pertama: demi pena
dan apa yang ditulisnya.
Masih tentang
kesombongan, Fahd Djiban mengajariku satu hal: jika kau mendapati dirimu cepat
menyerah sekaligus inkonsisten dengan sejumlah tekad dan cita-cita yang sudah
kau pancangkan di awal perjalanan: Belajarlah menjadi sombong! Orang sombong
akan punya cukup alasan dalam hidupnya untuk bisa membuktikan semua
perkataannya. Orang akan mencaci-maki kesombongan yang tidak terbukti, tetapi akan
memaklumi (bahkan mengapresiasi) kesombongan yang bisa dibuktikan.
Karena kesombongan itu
sepenuhnya milik Tuhan, maka kita bisa meminjamnya sebentar. Mari menjadi orang
sombong yang baik: bekerja dengan sungguh-sungguh untuk membuktikan kesombongan
kita. Pada titik ini, berarti Gie bukan orang sombong yang baik. Edison
berhasil membuktikan bola lampunya, tapi apa yang dibuktikan Gie? Atau mungkin
orang-orang waktu itu tidak bisa menjangkau cara berpikirnya? Kalau begitu:
kita perlu menjadi lebih Gie daripada Gie sendiri.
Maka teruslah menulis.
[]
0 comments:
Post a Comment