Ramayana dari Sudut Rahwana

Jun 29, 2014

Prolog: Tulisan kali ini tidak akan langsung membahas tentang kisah cinta Rama, Shinta, dan Rahwana. Tulisan ini hanya semacam pengantar untuk menuju ke pembahasan itu. Tulisan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi mengapa Ramayana perlu dilihat dari sisi Rahwana. Anyway, enjoy :)

Rahwana by Belzark

Ketika saya masih di BEM FSSR, kakak-kakak senior yang sebagian berasal dari jurusan Ilmu Sejarah kadang suka mendongeng. Salah satu dongeng yang masih saya ingat akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini: Ramayana dari sudut pandang Rahwana. Seingat saya, cerita itu diberikan pada malam ketika kami bersiap menuju keraton untuk mengikuti perayaan Kirab Satu Suro. Proker terkeren dari Sekolah Budaya Saseru (SBS), sayap organisasi BEM FSSR, memang “jalan-jalan”. *promosi*

Rahwana adalah tokoh antagonis utama dalam epos Ramayana. Penyebutan “antagonis” tersebut sebenarnya memerlukan pembahasan tersendiri. Pengaruh cerita, legenda, dan dongeng Disney yang sering kita terima waktu kecil membuat kita terbiasa menjustifikasi karakter sebagai baik atau buruk, kalau tidak putih ya hitam, tidak ada area abu-abu. Parahnya, untuk kepentingan “happy ending”, tokoh “buruk” selalu berakhir tragis.

Kita semua setuju, raksasa yang mengejar Timun Emas adalah karakter yang jahat, dan senang ketika pada akhirnya raksasa itu tewas pada senjata keempat Timun Emas. (Are you kidding? Berikut adalah senjata untuk melawan raksasa: biji mentimun, jarum, garam, dan terasi). Padahal, ketika kita kembali ke awal cerita, Timun Emas sebenarnya memang milik si raksasa.

Pada awalnya Ibunya Timun Emas adalah seorang janda tua yang tidak bisa memiliki anak. Ia kemudian secara absurd bertemu dengan seorang (?) raksasa. Raksasa itu memberikan biji timun ajaib yang kemudian dari salah satu buahnya muncul seorang anak perempuan, Timun Emas. Sebelumnya mereka telah sepakat dalam sebuah perjanjian: bila Timun Emas sudah mencapai usia tertentu, dia akan “dikembalikan” kepada raksasa. Kalau begitu, bukankah si raksasa memang hanya menuntut apa yang menjadi haknya? Lalu mengapa dia diceritakan sebagai pihak yang salah dan kalah?

Well, sejarah memang ditulis oleh para pemenang.

Kita kembali dikenalkan pada dikotomi baik-buruk pada kisah Mahabaratha; Pandawa adalah simbol kebaikan, Kurawa adalah simbol kejahatan. Sudah fix. Kurawa adalah segerombolan orang jahat yang merampas Takhta Hastinapura dari tangan Yudhistira, anak tertua Pandu. Sekali lagi, sejarah seringkali dimanipulasi oleh para pemenang. Kalau Duryudana dan adik-adiknya yang memenangkan pertempuran di Padang Kurusetra, kata “merampas” tentu akan diganti dengan “mengambil kembali”.

Secara silsilah, Destarastra, ayah Kurawa, adalah kakak dari Pandu. Thus, dialah yang seharusnya menjadi Raja Hastinapura. Destarastra harus merelakan takhta kepada adiknya ketika Prabu Abiyasa, ayahandanya, lebih memilih Pandu. Keputusan Abiyasa memang sangat beralasan: Destarastra tidak diberkahi penglihatan oleh para Dewa—dia buta. Saya membayangkan betapa hancurnya hati Destrarastra, seorang putra sulung kerajaan besar yang sepanjang hidupnya justru harus bergantung pada kedua adiknya. Perasaan “kenapa bukan saya” telah mematikan rasa percaya dirinya.

Apa yang kamu tangkap dari sosok Yudhistira? Ksatria pemaaf berdarah putih yang tidak punya dosa? Well, kalau mempertaruhkan kerajaan di meja judi tidak dihitung dosa, mungkin kalian benar. Sementara di sisi lain, Duryudana selalu dicitrakan sebagai seseorang yang kejam dan batil. Media di Hastinapura waktu itu mungkin tidak pernah mengekspos bagaimana dia adalah sosok kakak yang bertanggung jawab kepada 99 adiknya. Pengambil-alihan kerajaan dilakukannya semata-mata karena ingin adik-adiknya yang banyak itu hidup sejahtera—yah, walaupun konspirasi Sengkuni main juga di situ.

Sengkunipun, kalau kita paham bagaimana dia dianaktirikan di kerajaannya sendiri dulu, atau bagaimana dia dipermalukan Pandu, kita bisa memaklumi kenapa kepribadiannya menjadi seburuk itu. Yang jelas, dia punya alasan kenapa dia begitu ingin menghancurkan anak-anak Pandu.

Perlu diketahui juga, Yudhistira dan Pandawa sejak kecil tinggal di lingkungan istana dan mendapat pelajaran moral dari resi-resi terbaik kerajaan (kalau jaman Khilafah Ustmani: ulama kerajaan). Mereka juga memiliki Ibu yang perhatian dan penuh kasih sayang. Mereka juga tumbuh dengan didampingi Bisma.

Sementara, Duryudana dan Kurawa sejak kecil harus tinggal di desa Gajahoya, sebuah daerah terpencil jauh dari pusat istana. Jangan bicara soal pendidikan moral, di sana mereka dididik oleh pembantu! Sang Ayah lebih sering menyendiri. Sang Ibu, Dewi Gendari, telah lama menjadi Ibu yang tidak peduli, lebih sibuk menumpuk kecemburuannya pada Kunti, wanita yang telah “merebut” si tampan Pandu darinya. Can you imagine that?

Ketika masih berusia belasan tahun, Duryudana sudah dituntut untuk memikirkan nasib 99 adiknya. Bukan hanya masalah pemenuhan kebutuhan jasmani, Duryudana juga harus memikirkan moral dan kelakuan adik-adiknya. Celakanya, teman curhatnya adalah Sengkuni. Dalam titik ini, seandainya Pandawa menjalani hidup seperti yang Kurawa jalani, Yudhistira bisa saja lebih jahat dari Duryudana.

Entahlah, dunia wayang konon adalah cerminan dunia nyata. Semua ini membuktikan bahwa di dunia yang buruk rupa ini, argumen ini bekerja: kita biasa menilai seseorang dari apa yang dia lakukan, tanpa mau melihat apa yang melatarbelakangi dia melakukan itu. Pelacur adalah pelacur, tanpa bisa melihat bahwa ternyata dia memiliki rahmat yang cukup untuk memberi minum pada anjing yang nyaris mati kehausan.

Dan itulah mengapa, sekali-kali pandangan kita akan ketampanan Rama harus disingkirkan sejenak, dan mulai melihat bagaimana Rahwana membangun persepsinya akan cinta. []

3 comments:

  1. Keren bro
    Gw masoh baca ini pada tahun 2017

    ReplyDelete
  2. keren nih tulisannya, saya jadi banyak berpikir tentang dunia dan manusia

    ReplyDelete