“Meskipun sifatnya setengah hari, toh tetap tidak boleh
dilakukan setengah hati”
Kalimat tersebut barangkali selalu ingin disampaikan ibu
waktu membimbing saya dalam melakukan puasa setengah hari. Pasalnya, ibu selalu
keras dalam membangunkan saya untuk sahur… bahkan sampai sekarang. Di samping
karena ada barokah dalam makan sahur, ibu tentu tidak ingin saya galau
kelaparan dari pagi sampai Dhuhur. Karena itu pula, saya tidak bisa menggunakan
pembenaran “belum sahur” untuk men-skip puasa hari itu. Saya ingat, saya pernah
menjumpai teman saya tidak puasa karena alasan tidak sahur. Hmm… betapa saya
juga ingin berada di posisinya waktu itu.
Selain masalah sahur, ibu selalu mengingatkan kalau saya
secara absurd lupa kalau saya lagi puasa. Pernah suatu sore ketika kami (saya,
ibu, dan adik) pulang dari sebuah toko dengan berjalan kaki, saya kelupaan dan
memakan permen yang saya bawa. Segera setelah memergoki tindakan saya, ibu
langsung mengingatkan. Sontak saya membuang permen yang ada di mulut saya.
Pengalaman antara saya, permen, dan puasa bahkan masih
terjadi ketika saya SMP.
Berarti puasa itu memang sarana belajar untuk segera ‘mengingat’
ketika kita lupa dan tersesat.
Tulisan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari tulisan
yang sebelumnya, yaitu tentang misteri puasa Mbedug. Sebelumnya telah dibahas mengenai apakah
setelah berbuka Dhuhur kita lanjut puasa atau tidak, dan berakhir pada jawaban
normatif: kembali ke pribadi masing-masing. Nah, dalam kesempatan kali ini,
kita akan masuk ke pertanyaan berikutnya.
Dengan asumsi bahwa kita tetap berpuasa setelah buka dhuhur,
pertanyaan kedua yang mungkin muncul adalah: sampai berapa lama kita berbuka?
Atau dengan kalimat lain, jam berapa kita akan mulai puasa lagi sampai Magrib?
Bagi saya pribadi, jawaban dari pertanyaan tersebut *sampai
sekarang* masih belum jelas.
Waktu itu saya sering bertanya kepada ibu perihal tenggang
waktu berbuka. Namun karena memang tidak ada aturan mutlak dari awal, ibu hanya
bilang “sak-warege” atau sekenyangmu. Bukannya senang, saya malah tidak terima.
Jawaban yang diberikan ibu waktu itu bagi saya bukan merupakan tolak ukur yang
jelas dan nantinya akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru.
Secara, manusia adalah makhluk yang tidak pernah “kenyang”.
Suatu hari, ada seseorang yang mengantarkan seplastik jambu
air yang besar-besar dan merah, terlihat begitu segar. Hari itu sudah menjelang
siang, dan saya yang menerima jambu tersebut. Saya langsung memasukkan jambu
tersebut ke dalam kulkas. Sebentar lagi waktu Dhuhur tiba dan saya tidak
berhenti membayangkan rasa dari jambu air tersebut.
Waktu berbuka pun tiba. Selesai makan nasi, saya membuka
kulkas dan mengambil satu buah jambu. Benar saja, jambu itu begitu segar. Saya
makan satu, kemudian pergi ke belakang untuk mengambil satu lagi. Saya melihat
jam, belum masuk jam satu. Saya akhirnya mengambil satu lagi jambu dan masih
belum yakin kapan akan berhenti. Ha-ha. Meskipun pada akhirnya saya bisa
memutuskan untuk berhenti berbuka dan
melanjutkan puasa sampai magrib.
Mengingat pengalaman-pengalaman seperti itulah yang membuat
saya kembali menanyakan pertanyaan yang serupa kepada diri saya sendiri.
Kalau nanti saya dihadapkan pada sebuah situasi dimana saya
harus “beristirahat” sejenak dalam sebuah proses, sampai berapa lama tenggang waktu yang akan saya berikan
kepada diri saya sendiri? Apabila saya adalah sebuah gergaji yang harus
diistirahatkan untuk ditajamkan kembali, bagaimana saya akan menentukan tingkat
ketajaman yang tepat untuk kembali bisa digunakan?
Akhirnya, jawaban yang muncul pun sama: tidak mutlak, alias
nisbi. Setiap orang memainkan beberapa variabel yang berbeda, yang membuat
keputusan menjadi relatif. Lama atau sebentar, semua tergantung hasil negosiasi
dengan kebijaksanaan masing-masing.
Meskipun begitu, kita perlu memiliki prinsip: bahwa ketika
kita telah memutuskan untuk lanjut, tidak ada berhenti-berhenti lagi. Kita
perlu fokus pada tujuan dan target, dan segera ingat apabila di tengah jalan kita galau dan tersesat.
Seperti puasa setengah hari tadi. Setelah kita memutuskan
untuk berhenti berbuka pada waktu Dhuhur, kita perlu memiliki komitmen untuk melanjutkan
perjalanan puasa kita sampai Magrib.
Apa jadinya bila di tengah jalan kita memutuskan untuk
membatalkan puasa lagi untuk yang kedua
kalinya?
0 comments:
Post a Comment