Misteri Puasa Mbedug II

Jul 17, 2013

“Meskipun sifatnya setengah hari, toh tetap tidak boleh dilakukan setengah hati”

Kalimat tersebut barangkali selalu ingin disampaikan ibu waktu membimbing saya dalam melakukan puasa setengah hari. Pasalnya, ibu selalu keras dalam membangunkan saya untuk sahur… bahkan sampai sekarang. Di samping karena ada barokah dalam makan sahur, ibu tentu tidak ingin saya galau kelaparan dari pagi sampai Dhuhur. Karena itu pula, saya tidak bisa menggunakan pembenaran “belum sahur” untuk men-skip puasa hari itu. Saya ingat, saya pernah menjumpai teman saya tidak puasa karena alasan tidak sahur. Hmm… betapa saya juga ingin berada di posisinya waktu itu.

Selain masalah sahur, ibu selalu mengingatkan kalau saya secara absurd lupa kalau saya lagi puasa. Pernah suatu sore ketika kami (saya, ibu, dan adik) pulang dari sebuah toko dengan berjalan kaki, saya kelupaan dan memakan permen yang saya bawa. Segera setelah memergoki tindakan saya, ibu langsung mengingatkan. Sontak saya membuang permen yang ada di mulut saya.

Pengalaman antara saya, permen, dan puasa bahkan masih terjadi ketika saya SMP.

Berarti puasa itu memang sarana belajar untuk segera ‘mengingat’ ketika kita lupa dan tersesat.

Tulisan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari tulisan yang sebelumnya, yaitu tentang misteri puasa Mbedug.  Sebelumnya telah dibahas mengenai apakah setelah berbuka Dhuhur kita lanjut puasa atau tidak, dan berakhir pada jawaban normatif: kembali ke pribadi masing-masing. Nah, dalam kesempatan kali ini, kita akan masuk ke pertanyaan berikutnya.

Dengan asumsi bahwa kita tetap berpuasa setelah buka dhuhur, pertanyaan kedua yang mungkin muncul adalah: sampai berapa lama kita berbuka? Atau dengan kalimat lain, jam berapa kita akan mulai puasa lagi sampai Magrib?

Bagi saya pribadi, jawaban dari pertanyaan tersebut *sampai sekarang* masih belum jelas.

Waktu itu saya sering bertanya kepada ibu perihal tenggang waktu berbuka. Namun karena memang tidak ada aturan mutlak dari awal, ibu hanya bilang “sak-warege” atau sekenyangmu. Bukannya senang, saya malah tidak terima. Jawaban yang diberikan ibu waktu itu bagi saya bukan merupakan tolak ukur yang jelas dan nantinya akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru.

Secara, manusia adalah makhluk yang tidak pernah “kenyang”.

Suatu hari, ada seseorang yang mengantarkan seplastik jambu air yang besar-besar dan merah, terlihat begitu segar. Hari itu sudah menjelang siang, dan saya yang menerima jambu tersebut. Saya langsung memasukkan jambu tersebut ke dalam kulkas. Sebentar lagi waktu Dhuhur tiba dan saya tidak berhenti membayangkan rasa dari jambu air tersebut.

Waktu berbuka pun tiba. Selesai makan nasi, saya membuka kulkas dan mengambil satu buah jambu. Benar saja, jambu itu begitu segar. Saya makan satu, kemudian pergi ke belakang untuk mengambil satu lagi. Saya melihat jam, belum masuk jam satu. Saya akhirnya mengambil satu lagi jambu dan masih belum yakin kapan akan berhenti. Ha-ha. Meskipun pada akhirnya saya bisa memutuskan untuk berhenti berbuka dan melanjutkan puasa sampai magrib.

Mengingat pengalaman-pengalaman seperti itulah yang membuat saya kembali menanyakan pertanyaan yang serupa kepada diri saya sendiri.

Kalau nanti saya dihadapkan pada sebuah situasi dimana saya harus “beristirahat” sejenak dalam sebuah proses, sampai berapa lama tenggang waktu yang akan saya berikan kepada diri saya sendiri? Apabila saya adalah sebuah gergaji yang harus diistirahatkan untuk ditajamkan kembali, bagaimana saya akan menentukan tingkat ketajaman yang tepat untuk kembali bisa digunakan?

Akhirnya, jawaban yang muncul pun sama: tidak mutlak, alias nisbi. Setiap orang memainkan beberapa variabel yang berbeda, yang membuat keputusan menjadi relatif. Lama atau sebentar, semua tergantung hasil negosiasi dengan kebijaksanaan masing-masing.

Meskipun begitu, kita perlu memiliki prinsip: bahwa ketika kita telah memutuskan untuk lanjut, tidak ada berhenti-berhenti lagi. Kita perlu fokus pada tujuan dan target, dan segera ingat apabila di tengah jalan kita galau dan tersesat.

Seperti puasa setengah hari tadi. Setelah kita memutuskan untuk berhenti berbuka pada waktu Dhuhur, kita perlu memiliki komitmen untuk melanjutkan perjalanan puasa kita sampai Magrib.

Apa jadinya bila di tengah jalan kita memutuskan untuk membatalkan puasa lagi untuk yang kedua kalinya? 


0 comments:

Post a Comment