Dulu aku pernah juga kepikiran kalau kita menjadi muslim
"hanya" karena orang tua kita muslim, kemudian menanyakannya ke
seorang ustaz. Beliau menjawab: "Itu pertanyaan yg tidak penting."
Aku kemudian sadar, bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu
memang bukan fokus/prioritas kita dalam beragama, masih banyak (sekali) hal
yang harus kita lakukan. Dalam banyak sekali kasus, Tuhan mengawali perintahnya
dengan kalimat "Hai orang-orang yg beriman..". Maka benarlah kalau dalam
banyak kasus pula, kita memang hanya perlu "percaya". Sesederhana
itu.
Namun ternyata iman itu tidak gratis, aku kurang setuju
dengan kalimat "Tuhan memberikannya cuma-cuma". Karena nyatanya ada
hal besar yg perlu dikorbankan: kemerdekaan berpikir (dalam skala yang
sangat-sangat bebas). Para ateis tidak mau menggadaikan kemerdekaan berpikir
mereka, itulah mengapa mereka kekeuh dengan pendapat "semua harus logis
dan rasional, semua harus bisa dilihat/didengar/disentuh".
Padahal, fitrah manusia itu nisbi. Manusia adalah tentang
kebenaran yang relatif. Tidak ada yang mutlak benar, atau mutlak salah.
Karenanya, argumen “kebenaran itu relatif” itu tepat bila masih dalam konteks
manusia. Bila telah masuk ranah agama, maka argumen itu sudah tidak bisa lagi
dikenakan. Argumen itu berubah menjadi: kebenaran itu relatif, kecuali satu.
Itulah kalimat yang setiap hari kita rapal dalam duduk tasyahud (seakar
dengan kata asyhadu: persaksian): tidak ada kebenaran selain Kebenaran.
Dan tugas kita adalah untuk terus mendekat ke Kebenaran itu.
Tuhan sebenarnya lebih dekat dengan kita daripada urat leher kita sendiri, tapi
tubuh ini terlalu bodoh dan malas untuk menyadari-Nya.
Sementara, Sudjiwo Tejo mengatakan, "tangga menuju
langit adalah kepalamu, maka letakkan kakimu diatas kepalamu. Untuk mencapai
Tuhan, injak-injaklah pikiran dan kesombongan rasionalmu"
sukak :)
ReplyDelete