Rasulullah (SAW)

Jan 3, 2015

Saya ingin sedikit berbagi mengenai sesuatu, yang tampaknya sederhana, tapi rupanya sangat fundamental dalam Islam. Dalam ayat-ayat awal surat Al Hujurat (49), Allah SWT menjelaskan tentang “tatakrama” terhadap Rasulullah (SAW). Saya menulis ini sebagai bentuk introspeksi. Karena tanpa disadari, saya sering tidak sopan dalam menyebut Rasulullah dalam banyak tulisan.

Bagi yang sering mengikuti tulisan saya, kalian akan menemukan bahwa saya hanya menyebut “Muhammad” untuk mengacu pada Rasulullah, bahkan tanpa menyertakan “nabi” dan “SAW”. Saya pikir dengan begitu saya sedang mendekatkan jarak dengan beliau, seperti layaknya teman. Tentu saja saya memang ingin dekat dengan beliau, namun memang ada kode etis yang saya langgar.

Rasulullah adalah uswatun hasanah, contoh terbaik yang bisa kita berikan ke orang lain. Namun yang kemudian saya sadari adalah: dengan menyebut nama Muhammad di tulisan, saya tidak sedang mempromosikan beliau ke orang lain. Saya tidak sedang memperindah atau memamerkan Rasulullah. Faktanya, nama “Muhammad” itulah yang memperindah tulisan saya.


Allah SWT sendiri sudah menjunjung tinggi Rasulullah, dan pujian (atau ejekan) dari manusia itu “nggak ngefek” ke beliau. (Seseorang menggambarkan bahwa orang yang mencaci Rasulullah adalah seperti usaha meludahi bulan di langit: nggak nyampai, dan malah mbalik ke muka kita.)

Ucapan salam (salallahu alaihi wasallam) yang kita ucapkan ketika mendengar nama beliau disebut, menurut salah satu tulisan Cak Nun, bukan dengan tujuan mendoakan agar beliau selamat. Maksudnya, “siapa beliau dan siapa kita?” Beliau adalah manusia yang paling dicintai Allah SWT dan dianugerahi hak untuk memberikan syafaat. Dengan kata lain, beliau adalah orang yang paling selamat.

Lalu kalau begitu, untuk apa juga kita secara konsisten mengucapkan kalimat itu? Toh bukan Rasulullah yang membutuhkan keselamatan, tapi kita sebagai umatnya.

Tujuan kita beristiqomah mengucapkan kalimat itu, masih kata Cak Nun, adalah usaha “memasang sebuah radar” pada diri kita, agar ketika Rasulullah “bagi-bagi” syafaat kita bisa ikut menangkapnya.

Sama halnya dengan menyebutkan “Muhammad” di ceramah. Ketika kita memberikan tausyah, kita tidak sedang ngapik-apik Rasulullah, tapi nama “Muhammad” yang kita sebut itulah yang membuat tausyah kita jadi apik.

Itulah yang kemudian saya pahami tentang bagaimana memposisikan diri kita di hadapan (nama) Rasulullah: kita merendah hati.

Sekarang, terkait dengan kesalahan saya dalam meng-address Rasulullah dalam tulisan yang dulu-dulu, akan saya kutip terjemahan surat Al Hujurat ayat dua;

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (49:2)

Saya jelaskan sedikit tentang tafsir ayat itu. Tentu saja bukan pendapat saya sendiri, saya mendengarnya dari seorang ustadz. Paling tidak ada dua hal:

Pertama, kita tidak bisa memanggil Rasulullah dengan hanya nama saja (kalau istilah orang Jawa: njangkar). Kita tidak bisa menyebutkan nama beliau secara “telanjang” seperti kita memanggil teman kita; “Hai Broh! Hai Salman! Hai Mulad! Hai Cahyo!”. We just can’t. Hanya orang Arab Badui yang waktu itu melakukan kesalahan fatal tersebut. Muslim-muslim Badui pada waktu itu belum memiliki adab ketika menemui Rasulullah untuk menanyakan suatu permasalahan.

Allah SWT sendiri tidak pernah memanggil penyampai pesan-Nya hanya dengan nama (i.e. yaa Muhammad). Dalam Al Qur’an, Allah memanggil Rasulullah dengan frase-frase seperti yaa ayyuhan nabi, yaa ayyuhal muzzammil, yaa ayyuhal muddatstsir, atau yaa ayyuhar rasuul. Ketika nama Muhammad disebut, Allah selalu menyertakan kata Rasulullah (61: 6; 33:40). Satu-satunya situasi ketika Allah menyebut Rasulullah hanya dengan nama adalah Surat Muhammad, untuk menekankan nama “Muhammad” itu sendiri.

Allah memanggil utusan-utusan-Nya dengan nama seperti Yaa Adam, Yaa Dawud, Yaa Zakariya, Yaa Isa, Yaa Musa; tapi tidak pernah ada Yaa Muhammad. Waktu muslim Badui memanggil Rasululah hanya dengan nama, Allah sangat tersinggung sampai kemudian mengeluarkan ayat di atas untuk mengajarkan manusia sedikit etika. Jadi, itu yang pertama: menghormati Rasulullah adalah hal fundamental dalam iman.

Kedua, kita dilarang untuk “menggunakan” Rasulullah, artinya mengutip hadistnya, dengan niat untuk mengalahkan orang lain dalam debat. Faktanya, kita memang sebenarnya tidak pantas menggunakannya untuk berdebat. Kita dilarang untuk “meninggikan suara melebihi suara Nabi”.

Ada banyak hal-hal ilmiah yang terlibat bila kita mencoba mengambil sesuatu dari hadist; ada masalah sanad, ada masalah konteks sejarah ketika Rasulullah mengucapkannya, ada masalah konsensus (kesepakatan) para sahabat dalam memahaminya, sampai bagaimana penjelasan ilmuan (ulama) Muslim tentang hal itu. Dan di atas semua itu, kita tidak paham bahasa yang digunakan Rasulullah, kita hanya membaca terjemahannya saja.

Bagi kita yang hanya mengambil terjemahan hadist Bukhari kemudian mulai menggunakannya untuk mendebat orang lain, apalagi yang sebenarnya lebih berilmu dari kita, adalah penyalahgunaan sunnah. Believe it or not, kita tidak sedang membela agama kita; kita hanya sedang bersikap arogan, kesombongan intelektual.

Jadi, ketika kita sedang berdebat dengan teman kita tentang suatu masalah dan dia mengkutip sebuah hadist, bahkan ketika kita tahu kalau hadist yang dia kutip itu di luar konteks; kita baiknya mundur saja dari perdebatan. Mundur, relakan dia memenangkan argumen. Mengalah saja—untuk menghormati hadistnya, yang artinya kita menghormati Rasulullah.


Terakhir, semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa menghormati Rasulullah, dan dengan itu semoga pahala amalan kita tidak dihapus. []

5 comments:

  1. Amin ya Allah.
    Ngeliat tulisan mas Cahyo selalu adem. Bahasanya ringan. Artikel yang satu ini jadi salah satu artikel mas Cahyo kesukaan saya :)

    Ada beberapa point yang bisa saya dapat sebagai amalan ilmu untuk saya. Alhamdulillah berkat adanya tulisan ini, semoga ilmu agama saya semakin bertambah. Amin :)

    ReplyDelete
  2. alhamdulillah :) Terima kasih. Saya juga masih belajar. Selain sesekali ikut kajian di dunia nyata, saya juga suka download kajian di youtube. (Yg bahasa Inggris, sekalian belajar bhs Inggris :D)

    ReplyDelete
  3. Salah satu hal penting yang saya tangkep di postingan ini, jangan berdebat dengan senjata hadis :)

    ReplyDelete
  4. Baca postingan ini jadi dapat ilmu baru, alhamdulillah

    ReplyDelete
  5. ya allah berkahilah mas cahyo ini, untuk selalu bikin tulisan semacan ini terus menerus.. hehe
    adem mas, kayak cermah tapi dalam bentuk tulisan ;))

    ReplyDelete