Saya ingin sedikit berbagi mengenai sesuatu, yang tampaknya
sederhana, tapi rupanya sangat fundamental dalam Islam. Dalam ayat-ayat awal
surat Al Hujurat (49), Allah SWT menjelaskan tentang “tatakrama” terhadap
Rasulullah (SAW). Saya menulis ini sebagai bentuk introspeksi. Karena tanpa disadari,
saya sering tidak sopan dalam menyebut Rasulullah dalam banyak tulisan.
Bagi yang sering mengikuti tulisan saya, kalian akan
menemukan bahwa saya hanya menyebut “Muhammad” untuk mengacu pada Rasulullah, bahkan
tanpa menyertakan “nabi” dan “SAW”. Saya pikir dengan begitu saya sedang mendekatkan jarak dengan beliau, seperti layaknya teman. Tentu saja saya memang
ingin dekat dengan beliau, namun memang ada kode etis yang saya langgar.
Rasulullah adalah uswatun hasanah, contoh terbaik
yang bisa kita berikan ke orang lain. Namun yang kemudian saya sadari adalah:
dengan menyebut nama Muhammad di tulisan, saya tidak sedang mempromosikan beliau ke
orang lain. Saya tidak sedang memperindah atau memamerkan Rasulullah. Faktanya, nama “Muhammad” itulah yang memperindah tulisan saya.
Allah SWT sendiri sudah menjunjung tinggi Rasulullah, dan
pujian (atau ejekan) dari manusia itu “nggak ngefek” ke beliau. (Seseorang menggambarkan
bahwa orang yang mencaci Rasulullah adalah seperti usaha meludahi bulan di
langit: nggak nyampai, dan malah mbalik
ke muka kita.)
Ucapan salam (salallahu
alaihi wasallam) yang kita ucapkan ketika mendengar nama beliau disebut,
menurut salah satu tulisan Cak Nun, bukan dengan tujuan mendoakan agar beliau
selamat. Maksudnya, “siapa beliau dan siapa kita?” Beliau adalah manusia yang
paling dicintai Allah SWT dan dianugerahi hak untuk memberikan syafaat. Dengan
kata lain, beliau adalah orang yang paling selamat.
Lalu kalau begitu, untuk apa juga kita secara konsisten
mengucapkan kalimat itu? Toh bukan Rasulullah yang membutuhkan keselamatan,
tapi kita sebagai umatnya.
Tujuan kita beristiqomah mengucapkan kalimat itu, masih kata
Cak Nun, adalah usaha “memasang sebuah radar” pada diri kita, agar ketika
Rasulullah “bagi-bagi” syafaat kita bisa ikut menangkapnya.
Sama halnya dengan menyebutkan “Muhammad” di ceramah. Ketika
kita memberikan tausyah, kita tidak sedang ngapik-apik
Rasulullah, tapi nama “Muhammad” yang kita sebut itulah yang membuat tausyah
kita jadi apik.
Itulah yang kemudian saya pahami tentang bagaimana
memposisikan diri kita di hadapan (nama) Rasulullah: kita merendah hati.
Sekarang, terkait dengan kesalahan saya dalam meng-address Rasulullah dalam tulisan yang
dulu-dulu, akan saya kutip terjemahan surat Al Hujurat ayat dua;
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara
Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana
kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (49:2)
Saya jelaskan sedikit tentang tafsir ayat itu. Tentu saja bukan pendapat saya sendiri, saya mendengarnya dari seorang ustadz. Paling
tidak ada dua hal:
Pertama, kita tidak bisa memanggil Rasulullah dengan hanya
nama saja (kalau istilah orang Jawa: njangkar).
Kita tidak bisa menyebutkan nama beliau secara “telanjang” seperti kita
memanggil teman kita; “Hai Broh! Hai Salman! Hai Mulad! Hai Cahyo!”. We just can’t. Hanya orang Arab Badui yang waktu itu melakukan kesalahan fatal
tersebut. Muslim-muslim Badui pada waktu itu belum memiliki adab ketika menemui
Rasulullah untuk menanyakan suatu permasalahan.
Allah SWT sendiri tidak pernah memanggil penyampai pesan-Nya hanya dengan nama (i.e. yaa Muhammad). Dalam Al Qur’an, Allah memanggil Rasulullah dengan frase-frase
seperti yaa ayyuhan nabi, yaa ayyuhal muzzammil, yaa ayyuhal muddatstsir, atau yaa
ayyuhar rasuul. Ketika nama Muhammad disebut, Allah selalu menyertakan kata Rasulullah
(61: 6; 33:40). Satu-satunya situasi ketika Allah menyebut Rasulullah hanya
dengan nama adalah Surat Muhammad, untuk menekankan nama “Muhammad” itu
sendiri.
Allah memanggil utusan-utusan-Nya
dengan nama seperti Yaa Adam, Yaa Dawud, Yaa Zakariya, Yaa Isa, Yaa Musa; tapi
tidak pernah ada Yaa Muhammad. Waktu muslim Badui memanggil Rasululah hanya
dengan nama, Allah sangat tersinggung sampai kemudian mengeluarkan ayat di atas
untuk mengajarkan manusia sedikit etika. Jadi, itu yang pertama: menghormati
Rasulullah adalah hal fundamental dalam iman.
Kedua, kita
dilarang untuk “menggunakan” Rasulullah, artinya mengutip hadistnya, dengan
niat untuk mengalahkan orang lain dalam debat. Faktanya, kita memang sebenarnya tidak
pantas menggunakannya untuk berdebat. Kita dilarang untuk “meninggikan suara
melebihi suara Nabi”.
Ada banyak hal-hal
ilmiah yang terlibat bila kita mencoba mengambil sesuatu dari hadist; ada
masalah sanad, ada masalah konteks sejarah ketika Rasulullah mengucapkannya,
ada masalah konsensus (kesepakatan) para sahabat dalam memahaminya, sampai bagaimana
penjelasan ilmuan (ulama) Muslim tentang hal itu. Dan di atas semua itu, kita
tidak paham bahasa yang digunakan Rasulullah, kita hanya membaca terjemahannya
saja.
Bagi kita yang hanya mengambil terjemahan hadist Bukhari kemudian mulai menggunakannya untuk
mendebat orang lain, apalagi yang sebenarnya lebih berilmu dari kita, adalah penyalahgunaan
sunnah. Believe it or not, kita tidak sedang membela agama kita; kita hanya sedang
bersikap arogan, kesombongan intelektual.
Jadi, ketika kita
sedang berdebat dengan teman kita tentang suatu masalah dan dia mengkutip
sebuah hadist, bahkan ketika kita tahu kalau hadist yang dia kutip itu di luar
konteks; kita baiknya mundur saja dari perdebatan. Mundur, relakan dia
memenangkan argumen. Mengalah saja—untuk menghormati hadistnya, yang artinya
kita menghormati Rasulullah.
Terakhir, semoga
kita menjadi orang-orang yang senantiasa menghormati Rasulullah, dan dengan itu
semoga pahala amalan kita tidak dihapus. []
Amin ya Allah.
ReplyDeleteNgeliat tulisan mas Cahyo selalu adem. Bahasanya ringan. Artikel yang satu ini jadi salah satu artikel mas Cahyo kesukaan saya :)
Ada beberapa point yang bisa saya dapat sebagai amalan ilmu untuk saya. Alhamdulillah berkat adanya tulisan ini, semoga ilmu agama saya semakin bertambah. Amin :)
alhamdulillah :) Terima kasih. Saya juga masih belajar. Selain sesekali ikut kajian di dunia nyata, saya juga suka download kajian di youtube. (Yg bahasa Inggris, sekalian belajar bhs Inggris :D)
ReplyDeleteSalah satu hal penting yang saya tangkep di postingan ini, jangan berdebat dengan senjata hadis :)
ReplyDeleteBaca postingan ini jadi dapat ilmu baru, alhamdulillah
ReplyDeleteya allah berkahilah mas cahyo ini, untuk selalu bikin tulisan semacan ini terus menerus.. hehe
ReplyDeleteadem mas, kayak cermah tapi dalam bentuk tulisan ;))