It's official, I'm dead

Jan 1, 2015

Bagaimana seseorang bisa secara resmi mati? Begini: kamu deaktivasi facebook, twitter; kamu uninstall aplikasi-aplikasi chat di androidmu seperti bbm, whatsapp, line, dan sebagainya. Maka kamu resmi mati. Kamu menghilang dari dunia ini. Dan itulah yang sedang terjadi padaku.

Jaman sekarang melakukan hal seperti itu adalah kegilaan. Mayoritas orang tidak akan mau melakukannya—tabu. Tapi sejak kapan kuantitas orang yang melakukannya menjadi parameter pantas tidaknya sesuatu itu dilakukan? 

Bahkan kadang-kadang, kita perlu bertanya pada diri kita sendiri tentang suatu hal yang kita melakukannya atau menginginkannya hanya karena banyak orang yang melakukannya. Hal-hal mendasar yang seringkali luput dari perhatian kita karena kita “terlalu keras berusaha mengikuti arus”, seperti masuk kuliah, menjadi PNS, membeli mobil, dan sebagainya.

Kita ini benar atau mayoritas?

Jadi, aku kemudian santai saja untuk melakukan “bunuh diri”. Setidaknya aku mempunyai jawaban ketika seseorang menanyakannya. Bagaimanapun, penerimaan orang terhadap suatu alasan akan beda-beda; bisa dipengaruhi pola pikir yang sama, ketertarikan bacaan yang mirip, atau karena intensitas mengobrol. Artinya; apapun yang kamu katakan, kamu tidak akan bisa menyenangkan semua orang. Kecuali, tentu saja, kalau kamu punya beberapa jawaban untuk beberapa karakter orang.


Pertama, untuk orang-orang yang imajinasinya kurang tinggi (yang ini, tentu saja kita bicara tentang mayoritas tadi), kamu bisa menjawabnya dengan “aku hanya ingin fokus ke hal lain”. Aku ingin fokus skripsi, aku ingin fokus belajar, aku ingin fokus menulis novel, aku ingin fokus berlatih untuk bisa mengalahkan Goku, dan sebagainya bisa menjadi jawaban yang paling mudah diterima.

Orang-orang itu kemungkinan besar tidak akan menanyakan pertanyaan lanjutan. Lagipula, di jaman sosial media ini apakah ada orang yang benar-benar peduli pada masalah kita?

Kedua, untuk orang-orang yang mulai sadar bahwa menjalani kehidupan sosial media dan chating sudah menjadi terlalu membosankan. Bagaimana ya kita menyebutnya? Post-postmoderenisme? Haha! Untuk mereka, kamu bisa memberikan jawaban yang seperti dalam tulisan ini; sudah agak lama aku menulis hal itu.

Ketiga, untuk mereka-mereka yang benar-benar sudah merasa kesepian dalam hingar-bingar luapan informasi di dunia maya. Untuk mereka-mereka yang sudah berusaha keras untuk merenungkan kembali siapa-siapa saja yang masih benar-benar menjadi teman mereka. Untuk mereka yang rindu akan hakikat dirinya yang sudah susah dikenali terpolusi sosial media. Untuk mereka yang kembali menanyakan tujuan hidup mereka; aku persembahkan sebuah jawaban:

Tidakkah kalian merindukan pola pertemanan “cara lama”? Berkenalan, bertemu secara berkala, mengobrol dengan bebas, tertawa, dan penuh emosi. Menjadi teman dekat dalam jangka waktu tertentu, lalu karena suatu hal harus berpisah dan saling melupakan.

Betapa beruntungnya orang-orang dulu yang dikaruniai kemampuan untuk mudah melupakan. Orang-orang benar-benar “datang dan pergi begitu aja”. Ketika terjadi transisi kehidupan, misal dari SMA ke kuliah, banyak kenalan mereka yang benar-benar hilang. They embrace new things completely.
Orang generasi sekarang dikutuk untuk tetap memeluk orang-orang dari masa lalunya. Yang mana sangat merugikan karena kita tidak akan benar-benar bisa “moving forward”.

Apakah hal “ini” benar-benar membantu? Secara psikologis, manusia tidak bisa menyimpan hubungan pertemanan banyak-banyak di otaknya. Untuk ukuran teman biasa saja (bukan teman dekat) kudengar hanya sampai 150 orang.

Kamu tahu apa artinya? Kita telah secara sengaja (dan bangga) membangun sebuah dunia pertemanan yang hampa—utterly emotionless (walaupun aplikasi chatting menawarkan seabrek emotikon). Inilah yang aku benci dari apa yang mereka sebut dengan “sosial” media.

Ketika kamu mengetikkan “haha” untuk menanggapi pesan orang lain, apakah kau benar-benar tertawa? No, you don’t. Setidaknya ada dua alasan: (1) Kamu malas untuk memikirkan tanggapan lainnya, (2) Kamu tidak tahu balasan apalagi yang bisa dikirimkan. Mereka, aplikasi-aplikasi chating itu, bertanggung-jawab atas pribadi kita yang sudah sepalsu ini. Emotikon-emotikon yang bisa dengan mudah kita comot itu adalah ekspresi-ekspresi palsu yang senantiasa kita jejalkan ke orang lain.

Fasilitas ini berpotensi membuat manusia secara sadar melukai orang lain, atau bahkan melukai dirinya sendiri karena cemburu melihat aktivitas orang lain (baca: pencitraan yang dibangunnya).

Well, tapi terkadang ketika sudah merenung seperti itu, aku menemukan argumen lain di dalam kepala yang bisa melawan tulisan ini—bahkan membuatnya salah besar. Orang lain mungkin tidak terlalu bisa memberikan tanggapan yang kita harapkan. Bukan berarti mereka jahat, mereka entah karena tidak bisa membaca pikiran kita, atau mereka memang simply busy.

Yang bisa kita lakukan adalah merenungi pikiran kita kembali dan melakukan koreksi; mencari logika-logika yang salah. Sebagian filsuf biasa melakukannya, istilahnya adalah self-cancelling, membatalkan atau merevisi argumen sendiri. Dengan kata lain, mereka membunuh diri mereka di masa lalu dan melahirkan pikiran baru. Tidakkah mereka takut dikatakan plin-plan? Esuk dhele sore tempe? Tentu saja tidak. They are philosophers, they are as amazing as it gets.

Karena secara alami, kebijaksanaan datang sejalan dengan bertambahnya umur kita. Dan argumen lain yang bisa menghapus keseluruhan esensi dari tulisan ini rupanya hanya dibentuk oleh satu kalimat: sosial media memudahkan kita dalam berdakwah.

Nah! Satu argumen itulah yang mungkin akan membuatku kembali ke sosial media, pada akhirnya.

Btw: entah mungkin karena semesta menaruh perhatian pada apa yang aku lakukan; maka ia memberikan kesempatan padaku untuk bertemu dengan orang-orang di dunia nyata; minggu lalu aku bertemu banyak teman SMA di tempat futsal, lalu kita bermain bersama. Dan hari ini, aku bisa mendapatkan quality time dan melakukan obrolan berkualitas dengan kedua temanku yang biasanya hanya aku akses lewat dunia maya: Amanda dan Arief.

1 comment:

  1. mungkin istilah after-postmodernism lebih enak didengar. hehe
    Pantesan kok akhir2 ini dirimu menghilang dari gegap gempita Twitter dan FB Cahyo, ternyata ingin sejenak keluar dari social media ya.

    oiya aku juga berpikiran yang sama untuk sebuah momen perpisahan dari SMP-SMA ato SMA-kuliah. Bener banget, aku jga merasakan rindu akan hal2 tersebut. Berpisah ya berpisah. Menempuh hidup yang baru. Saling lost contact untuk jangka waktu yang lama, dan nanti saat bertemu ada perasaan kangen yang luar biasa. Bukannya seperti sekarang yang sudah ada jejaring sosial. Tiap aktifitas kita tahu. Jadinya malah perpisahan serasa tidak seru lagi.

    ReplyDelete