Bagaimana seseorang bisa secara resmi mati? Begini: kamu
deaktivasi facebook, twitter; kamu uninstall aplikasi-aplikasi chat di
androidmu seperti bbm, whatsapp, line, dan sebagainya. Maka kamu resmi mati.
Kamu menghilang dari dunia ini. Dan itulah yang sedang terjadi padaku.
Jaman sekarang melakukan hal seperti itu adalah kegilaan.
Mayoritas orang tidak akan mau melakukannya—tabu. Tapi sejak kapan kuantitas
orang yang melakukannya menjadi parameter pantas tidaknya sesuatu itu
dilakukan?
Bahkan kadang-kadang, kita perlu bertanya pada diri kita
sendiri tentang suatu hal yang kita melakukannya atau menginginkannya hanya
karena banyak orang yang melakukannya. Hal-hal mendasar yang seringkali luput
dari perhatian kita karena kita “terlalu keras berusaha mengikuti arus”,
seperti masuk kuliah, menjadi PNS, membeli mobil, dan sebagainya.
Kita ini benar atau mayoritas?
Jadi, aku kemudian santai saja untuk melakukan “bunuh diri”.
Setidaknya aku mempunyai jawaban ketika seseorang menanyakannya. Bagaimanapun,
penerimaan orang terhadap suatu alasan akan beda-beda; bisa dipengaruhi pola
pikir yang sama, ketertarikan bacaan yang mirip, atau karena intensitas
mengobrol. Artinya; apapun yang kamu katakan, kamu tidak akan bisa menyenangkan
semua orang. Kecuali, tentu saja, kalau kamu punya beberapa jawaban untuk
beberapa karakter orang.
Pertama, untuk orang-orang yang imajinasinya kurang tinggi
(yang ini, tentu saja kita bicara tentang mayoritas tadi), kamu bisa
menjawabnya dengan “aku hanya ingin fokus ke hal lain”. Aku ingin fokus
skripsi, aku ingin fokus belajar, aku ingin fokus menulis novel, aku ingin
fokus berlatih untuk bisa mengalahkan Goku, dan sebagainya bisa menjadi jawaban
yang paling mudah diterima.
Orang-orang itu kemungkinan besar tidak akan menanyakan
pertanyaan lanjutan. Lagipula, di jaman sosial media ini apakah ada orang yang
benar-benar peduli pada masalah kita?
Kedua, untuk orang-orang yang mulai sadar bahwa menjalani
kehidupan sosial media dan chating sudah menjadi terlalu membosankan. Bagaimana
ya kita menyebutnya? Post-postmoderenisme? Haha! Untuk mereka, kamu bisa
memberikan jawaban yang seperti dalam tulisan ini; sudah agak lama aku menulis
hal itu.
Ketiga, untuk mereka-mereka yang benar-benar sudah merasa
kesepian dalam hingar-bingar luapan informasi di dunia maya. Untuk
mereka-mereka yang sudah berusaha keras untuk merenungkan kembali siapa-siapa
saja yang masih benar-benar menjadi teman mereka. Untuk mereka yang rindu akan
hakikat dirinya yang sudah susah dikenali terpolusi sosial media. Untuk mereka
yang kembali menanyakan tujuan hidup mereka; aku persembahkan sebuah jawaban:
Tidakkah kalian merindukan pola pertemanan “cara lama”?
Berkenalan, bertemu secara berkala, mengobrol dengan bebas, tertawa, dan penuh
emosi. Menjadi teman dekat dalam jangka waktu tertentu, lalu karena suatu hal
harus berpisah dan saling melupakan.
Betapa beruntungnya orang-orang dulu yang dikaruniai
kemampuan untuk mudah melupakan. Orang-orang benar-benar “datang dan pergi
begitu aja”. Ketika terjadi transisi kehidupan, misal dari SMA ke kuliah,
banyak kenalan mereka yang benar-benar hilang. They embrace new things
completely.
Orang generasi sekarang dikutuk untuk tetap memeluk
orang-orang dari masa lalunya. Yang mana sangat merugikan karena kita tidak
akan benar-benar bisa “moving forward”.
Apakah hal “ini” benar-benar membantu? Secara psikologis,
manusia tidak bisa menyimpan hubungan pertemanan banyak-banyak di otaknya.
Untuk ukuran teman biasa saja (bukan teman dekat) kudengar hanya sampai 150
orang.
Kamu tahu apa artinya? Kita telah secara sengaja (dan
bangga) membangun sebuah dunia pertemanan yang hampa—utterly emotionless
(walaupun aplikasi chatting menawarkan seabrek emotikon). Inilah yang aku benci
dari apa yang mereka sebut dengan “sosial” media.
Ketika kamu mengetikkan “haha” untuk menanggapi pesan orang
lain, apakah kau benar-benar tertawa? No, you don’t. Setidaknya ada dua alasan:
(1) Kamu malas untuk memikirkan tanggapan lainnya, (2) Kamu tidak tahu balasan
apalagi yang bisa dikirimkan. Mereka, aplikasi-aplikasi chating itu,
bertanggung-jawab atas pribadi kita yang sudah sepalsu ini. Emotikon-emotikon
yang bisa dengan mudah kita comot itu adalah ekspresi-ekspresi palsu yang senantiasa kita jejalkan ke orang lain.
Fasilitas ini berpotensi membuat manusia secara sadar
melukai orang lain, atau bahkan melukai dirinya sendiri karena cemburu melihat
aktivitas orang lain (baca: pencitraan yang dibangunnya).
Well, tapi terkadang ketika sudah merenung seperti itu, aku
menemukan argumen lain di dalam kepala yang bisa melawan tulisan ini—bahkan
membuatnya salah besar. Orang lain mungkin tidak terlalu bisa memberikan
tanggapan yang kita harapkan. Bukan berarti mereka jahat, mereka entah karena
tidak bisa membaca pikiran kita, atau mereka memang simply busy.
Yang bisa kita lakukan adalah merenungi pikiran kita kembali
dan melakukan koreksi; mencari logika-logika yang salah. Sebagian filsuf biasa
melakukannya, istilahnya adalah self-cancelling, membatalkan atau
merevisi argumen sendiri. Dengan kata lain, mereka membunuh diri mereka di masa
lalu dan melahirkan pikiran baru. Tidakkah mereka takut dikatakan plin-plan? Esuk
dhele sore tempe? Tentu saja tidak. They are philosophers, they are as
amazing as it gets.
Karena secara alami, kebijaksanaan datang sejalan dengan
bertambahnya umur kita. Dan argumen lain yang bisa menghapus keseluruhan esensi
dari tulisan ini rupanya hanya dibentuk oleh satu kalimat: sosial media memudahkan kita dalam
berdakwah.
Nah! Satu argumen itulah yang mungkin akan membuatku kembali
ke sosial media, pada akhirnya.
mungkin istilah after-postmodernism lebih enak didengar. hehe
ReplyDeletePantesan kok akhir2 ini dirimu menghilang dari gegap gempita Twitter dan FB Cahyo, ternyata ingin sejenak keluar dari social media ya.
oiya aku juga berpikiran yang sama untuk sebuah momen perpisahan dari SMP-SMA ato SMA-kuliah. Bener banget, aku jga merasakan rindu akan hal2 tersebut. Berpisah ya berpisah. Menempuh hidup yang baru. Saling lost contact untuk jangka waktu yang lama, dan nanti saat bertemu ada perasaan kangen yang luar biasa. Bukannya seperti sekarang yang sudah ada jejaring sosial. Tiap aktifitas kita tahu. Jadinya malah perpisahan serasa tidak seru lagi.