Agama VS Sains

Jan 5, 2015

Sampai saat ini, Fullmetal Alchemist: Brotherhood adalah anime terbaik yang pernah kutonton. Selain karena pembahasannya yang luar biasa tentang seven deadly sins, isu yang dibawa juga sangat sensitif: agama vs sains. Penulis manganya pastilah seorang jenius.

Tulisan kali ini tidak akan membahas secara detail tentang plot mengagumkan dari anime tersebut, namun hanya akan menekankan pada diskusi tentang agama vs sains, khususnya dilihat dari sudut pandang Eropa—yang mana merupakan tempat terjadinya revolusi Perancis.

Fullmetal Alchemist memang secara implisit mengambil setting Eropa jaman perang dunia II, bila kita melihat dari ciri-ciri fisik karakter-karakternya seperti rambut pirang, sebutan Fuhrěr untuk pemimpin tertinggi negara sekaligus militer, dan kita juga tidak mungkin memungkiri penggambaran “holocaust” dalam tragedi pembantaian kaum Isbalan.

Namun sebenarnya isu agama vs sains di Eropa sudah berkembang jauh sebelum itu, yaitu pada masa renaissance. The Renaissance atau kelahiran kembali merupakan periode antara abad ke 14 sampai 17 yang dikatakan sebagai jembatan antara masyarakat eropa Abad Pertengahan dan Masyarakat Modern.

Gerakan kebudayaan tersebut terjadi sebagai respon atas ketidaktahanan masyarakat Eropa atas dominasi agama (gereja) yang sangat menekan. Masyarakat menuntut kebebasan berpikir rasional dan menggunakan ilmu pengetahuan karena doktrin-doktrin agama saat itu dinilai tidak dapat menjawab tantangan jaman, bahkan cenderung menyengsarakan. Di masa itulah, bisa kita katakan, mulai terjadi pembunuhan agama oleh sains.

“Dinilai tidak dapat menyelesaikan masalah jaman.”, terdengar familier?

Sekarang, kita tidak akan membahas tentang bagaimana Islam adalah “agama sains”, di mana kitab sucinya bisa dibuktikan secara sejarah maupun ilmu pengetahuan. Kita tidak kompeten dalam hal itu, faktanya muslim sekarang kekurangan ilmuan. Kita tunggu saja ketika “matahari mulai terbit dari Barat”, artinya cahaya Kebenaran mulai bersinar di Eropa yang ditandai dengan banyaknya orang yang memeluk Islam. (Oh, sudah terjadi? Matahari sudah mulai terbit dari Barat?).

Tapi kita masih bisa menemukan jawaban mengapa muslim sekarang ikut-ikutan menjadi begitu sekuler dengan memisahkan agama dengan ilmu pengetahuan. Seperti yang sering kita dengar, agama “dinilai tidak dapat menyelesaikan masalah jaman.” Pola pikir seperti ini bukan hal baru, tetapi sudah berkembang di Eropa sejak dulu. Namun sebenarnya itu bisa dijelaskan, secara ilmiah.

Dalam masyarakat “pra-modern”, atau Jaman Pertengahan kalau di Eropa, sebagian besar peradaban di dunia masih berpusat pada sistem keagamaan. Entah itu Kristen, Hindu, Budha, dan tentu saja Islam dengan sistem khilafahnya. Pada saat itu, orang-orang yang dianggap terpandang dan pemimpin adalah orang-orang ahli agama, ulama dari agama masing-masing. Dan minimal mereka menjadi penasehat pemimpin tertinggi untuk menjalankan negara serta membuat peraturan.

Pada Jaman Pertengahan, atau yang juga biasa disebut Dark Ages, sistem pemerintahan yang diterapkan di Eropa adalah gereja atau kristiani. Dan salah satu ajaran pokok gereja (pada waktu itu) adalah bahwa manusia turun ke dunia sebagai hukuman dari Tuhan. Adam dan Hawa telah melanggar larangan Tuhan dan dihukum untuk turun ke bumi. Bumi adalah tempat menanggung kesengsaraan, dan hanya akan kembali bahagia kelak bila di surga.

Maka, manusia sebagai pewaris Adam pada dasarnya juga ikut menanggung kesengsaraan. Dunia adalah ladang penderitaan, humankind are not supposed to be happy. Maka kehidupan di Eropa pada saat itu menjadi begitu kelam, miskin, dan terbelakang (seperti yang tergambar dalam adegan awal film Kingdom of Heaven).  Dunia adalah kutukan, really.

Dan karena setiap aturan dibuat oleh gereja, maka setiap pernyataan yang melawan hukum gereja akan langsung dicap “kafir” dan disiksa sampai mati. Seperti dalam kasus Copernicus yang menemukan fakta bahwa “matahari adalah pusat tata surya” yang melawan doktrin gereja yang mengajarkan geosentris. Itulah sebabnya mengapa kaum saintis atau ilmuan tidak tahan dengan hegemoni agama pada waktu itu.

Kalau dalam Islam, Adam AS turun ke bumi dalam keadaan yang terampuni. Lihat Al Baqoroh ayat 30, manusia memang diciptakan untuk mengelola bumi, jadi cepat atau lambat Nabi Adam akan turun gunung juga.

Kembali ke masyarakat pra-modern. Pada dasarnya ada tiga hal yang ditekankan kepada masyarakat oleh ulama-ulama pemerintah; yaitu tentang Tuhan, Jiwa (Soul), dan Kehidupan Setelah Kematian (Afterlife). Dalam Islam, kita mengenal Allah SWT, ruh, dan akhirat. Sayangnya, ketiganya itu adalah benda non-materi, unseen alias ghoib.

Dan sains secara alami hanya bisa menerima benda-benda yang bisa dibuktikan secara rasional. Tidak ada halal-haram, yang ada hanyalah unlikely, likely, atau most likely. Terbukti atau tidak terbukti. Dengan Eropa sebagai wilayah kajian ilmuan pada waktu itu, sains telah memutuskan bahwa gereja terbukti tidak bisa menyejahterakan masyarakat. Mengapa susah-susah memikirkan akhirat kalau di dunia saja masih banyak hal yang harus diperhatikan dan diperbaiki?

Maka kemudian orang-orang pada masa Renaissance mengalihkan fokus dan energi mereka. Dari pembahasan Tuhan ke alam semesta, dari rohani ke jasmani, dari akhirat ke dunia. Dengan kata lain, mereka berpindah dari diskusi non-material ke material, yang mengawai ide materialisme. Dan memang setelah itu, setiap bidang berkembang. Ilmu kesehatan, ekonomi, politik, atau filosofi mengalami kemajuan pesat yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Setelah masyarakat Eropa berhasil membunuh dominasi gereja dan pengetahuan berkembang pesat, mereka mulai menyebarkan semangat renaissance itu ke seluruh dunia, yang kita tahu melalui cara yang tidak menyenangkan (ehem, penjajahan). Paham agama vs sains itu telah lama ditanamkan ke negeri-negeri jajahannya, termasuk negeri kita, lewat sistem pendidikan.

Makanya jangan heran bila melihat fenomena pelajaran agama dan pengetahuan umum dipisah sebegitunya, dan agama secara jelas terpinggirkan. Diskusi tentang cara berdoa sebelum pelajaran sudah tidak penting lagi. Ini adalah sekuler yang sesungguhnya, jadi tidak perlu jauh-jauh ke Amerika untuk menjelaskan sekulerisme.

Satu poin penting lagi, apa yang sebenarnya sains katakan kepada kita dalam rangka menyingkirkan agama? Sains tidak perlu menyuruh manusia untuk meninggalkan agama. Dia mengatakan yang lebih parah: agama tidak penting, religion doesn’t matter. Artinya, terserah bila kamu mau memeluk agama, terserah bila kamu mau percaya Tuhan dan akhirat. That’s cool, just keep it personal. Sains adalah kenyataan, sains adalah semua yang kita perlukan untuk membangun peradaban.



Tapi sekali lagi, itu semua terjadi di Eropa Abad Kegelapan. Sebaliknya, di masa pemerintahan Islam di Andalusia, sains justru berkembang begitu pesat: Islam dan sains berada pada spektrum yang sama. Tertarik dengan sejarahnya? Cari tahu sendiri. :)

0 comments:

Post a Comment