Sampai saat ini, Fullmetal Alchemist: Brotherhood adalah
anime terbaik yang pernah kutonton. Selain karena pembahasannya yang luar biasa
tentang seven deadly sins, isu yang dibawa juga sangat sensitif: agama
vs sains. Penulis manganya pastilah seorang jenius.
Tulisan kali ini tidak akan membahas secara detail tentang
plot mengagumkan dari anime tersebut, namun hanya akan menekankan pada diskusi
tentang agama vs sains, khususnya dilihat dari sudut pandang Eropa—yang mana
merupakan tempat terjadinya revolusi Perancis.
Fullmetal Alchemist memang secara implisit mengambil setting
Eropa jaman perang dunia II, bila kita melihat dari ciri-ciri fisik
karakter-karakternya seperti rambut pirang, sebutan Fuhrěr untuk pemimpin tertinggi
negara sekaligus militer, dan kita juga tidak mungkin memungkiri penggambaran
“holocaust” dalam tragedi pembantaian kaum Isbalan.
Namun sebenarnya isu agama vs sains di Eropa sudah
berkembang jauh sebelum itu, yaitu pada masa renaissance. The
Renaissance atau kelahiran kembali merupakan periode antara abad ke 14 sampai
17 yang dikatakan sebagai jembatan antara masyarakat eropa Abad Pertengahan dan
Masyarakat Modern.
Gerakan kebudayaan tersebut terjadi sebagai respon atas
ketidaktahanan masyarakat Eropa atas dominasi agama (gereja) yang sangat
menekan. Masyarakat menuntut kebebasan berpikir rasional dan menggunakan ilmu
pengetahuan karena doktrin-doktrin agama saat itu dinilai tidak dapat menjawab
tantangan jaman, bahkan cenderung menyengsarakan. Di masa itulah, bisa kita
katakan, mulai terjadi pembunuhan agama oleh sains.
“Dinilai tidak dapat menyelesaikan masalah jaman.”, terdengar
familier?
Sekarang, kita tidak akan membahas tentang bagaimana Islam
adalah “agama sains”, di mana kitab sucinya bisa dibuktikan secara sejarah
maupun ilmu pengetahuan. Kita tidak kompeten dalam hal itu, faktanya muslim
sekarang kekurangan ilmuan. Kita tunggu saja ketika “matahari mulai terbit dari
Barat”, artinya cahaya Kebenaran mulai bersinar di Eropa yang ditandai dengan
banyaknya orang yang memeluk Islam. (Oh, sudah terjadi? Matahari sudah mulai
terbit dari Barat?).
Tapi kita masih bisa menemukan jawaban mengapa muslim
sekarang ikut-ikutan menjadi begitu sekuler dengan memisahkan agama dengan ilmu
pengetahuan. Seperti yang sering kita dengar, agama “dinilai tidak dapat
menyelesaikan masalah jaman.” Pola pikir seperti ini bukan hal baru, tetapi
sudah berkembang di Eropa sejak dulu. Namun sebenarnya itu bisa dijelaskan,
secara ilmiah.
Dalam masyarakat “pra-modern”, atau Jaman Pertengahan kalau
di Eropa, sebagian besar peradaban di dunia masih berpusat pada sistem
keagamaan. Entah itu Kristen, Hindu, Budha, dan tentu saja Islam dengan sistem
khilafahnya. Pada saat itu, orang-orang yang dianggap terpandang dan pemimpin
adalah orang-orang ahli agama, ulama dari agama masing-masing. Dan minimal
mereka menjadi penasehat pemimpin tertinggi untuk menjalankan negara serta
membuat peraturan.
Pada Jaman Pertengahan, atau yang juga biasa disebut Dark
Ages, sistem pemerintahan yang diterapkan di Eropa adalah gereja atau
kristiani. Dan salah satu ajaran pokok gereja (pada waktu itu) adalah bahwa
manusia turun ke dunia sebagai hukuman dari Tuhan. Adam dan Hawa telah
melanggar larangan Tuhan dan dihukum untuk turun ke bumi. Bumi adalah tempat
menanggung kesengsaraan, dan hanya akan kembali bahagia kelak bila di surga.
Maka, manusia sebagai pewaris Adam pada dasarnya juga ikut
menanggung kesengsaraan. Dunia adalah ladang penderitaan, humankind are not
supposed to be happy. Maka kehidupan di Eropa pada saat itu menjadi begitu
kelam, miskin, dan terbelakang (seperti yang tergambar dalam adegan awal film Kingdom
of Heaven). Dunia adalah kutukan, really.
Dan karena setiap aturan dibuat oleh gereja, maka setiap
pernyataan yang melawan hukum gereja akan langsung dicap “kafir” dan disiksa
sampai mati. Seperti dalam kasus Copernicus yang menemukan fakta bahwa “matahari
adalah pusat tata surya” yang melawan doktrin gereja yang mengajarkan
geosentris. Itulah sebabnya mengapa kaum saintis atau ilmuan tidak tahan dengan
hegemoni agama pada waktu itu.
Kalau dalam Islam, Adam AS turun ke bumi dalam keadaan yang
terampuni. Lihat Al Baqoroh ayat 30, manusia memang diciptakan untuk mengelola bumi,
jadi cepat atau lambat Nabi Adam akan turun gunung juga.
Kembali ke masyarakat pra-modern. Pada dasarnya ada tiga hal
yang ditekankan kepada masyarakat oleh ulama-ulama pemerintah; yaitu tentang
Tuhan, Jiwa (Soul), dan Kehidupan Setelah Kematian (Afterlife). Dalam Islam,
kita mengenal Allah SWT, ruh, dan akhirat. Sayangnya, ketiganya itu adalah
benda non-materi, unseen alias ghoib.
Dan sains secara alami hanya bisa menerima benda-benda yang
bisa dibuktikan secara rasional. Tidak ada halal-haram, yang ada hanyalah
unlikely, likely, atau most likely. Terbukti atau tidak terbukti. Dengan Eropa
sebagai wilayah kajian ilmuan pada waktu itu, sains telah memutuskan bahwa
gereja terbukti tidak bisa menyejahterakan masyarakat. Mengapa
susah-susah memikirkan akhirat kalau di dunia saja masih banyak hal yang harus
diperhatikan dan diperbaiki?
Maka kemudian orang-orang pada masa Renaissance mengalihkan
fokus dan energi mereka. Dari pembahasan Tuhan ke alam semesta, dari rohani ke
jasmani, dari akhirat ke dunia. Dengan kata lain, mereka berpindah dari diskusi
non-material ke material, yang mengawai ide materialisme. Dan memang setelah
itu, setiap bidang berkembang. Ilmu kesehatan, ekonomi, politik, atau filosofi
mengalami kemajuan pesat yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Setelah masyarakat Eropa berhasil membunuh dominasi gereja
dan pengetahuan berkembang pesat, mereka mulai menyebarkan semangat renaissance
itu ke seluruh dunia, yang kita tahu melalui cara yang tidak menyenangkan
(ehem, penjajahan). Paham agama vs sains itu telah lama ditanamkan ke
negeri-negeri jajahannya, termasuk negeri kita, lewat sistem pendidikan.
Makanya jangan heran bila melihat fenomena pelajaran agama
dan pengetahuan umum dipisah sebegitunya, dan agama secara jelas terpinggirkan. Diskusi tentang cara berdoa sebelum pelajaran sudah tidak penting lagi. Ini adalah sekuler yang sesungguhnya, jadi tidak perlu jauh-jauh ke Amerika
untuk menjelaskan sekulerisme.
Satu poin penting lagi, apa yang sebenarnya sains katakan
kepada kita dalam rangka menyingkirkan agama? Sains tidak perlu menyuruh
manusia untuk meninggalkan agama. Dia mengatakan yang lebih parah: agama tidak
penting, religion doesn’t matter. Artinya, terserah bila kamu mau
memeluk agama, terserah bila kamu mau percaya Tuhan dan akhirat. That’s
cool, just keep it personal. Sains adalah kenyataan, sains adalah semua
yang kita perlukan untuk membangun peradaban.
Tapi sekali lagi, itu semua terjadi di Eropa Abad Kegelapan.
Sebaliknya, di masa pemerintahan Islam di Andalusia, sains justru berkembang
begitu pesat: Islam dan sains berada pada spektrum yang sama. Tertarik dengan
sejarahnya? Cari tahu sendiri. :)
0 comments:
Post a Comment