Pada tahun 1591, Raja Tawangalun II, salah satu raja dari Kerajaan
Blambangan, yang diklaim sebagai kerajaan Hindu terakhir di Indonesia,
meninggal dunia. Dari 400 permaisurinya, 270 diantaranya mengikuti upacara Sati
(bakar diri) bersama sang raja. Romantis, atau bodoh?
Kisah cinta jaman dahulu memang seringkali membuat kita
takjub. Setiap kisah kesetiaan dan ending yang memilukan terkesan tidak
masuk akal dalam pikiran kita yang telah lama dididik kisah cinta Hollywood.
Tapi bila kamu menganggap bodoh ke-270 permaisuri Tawangalun II itu, coba
cermati satu hadist yang saya temukan tempo hari:
“Abu Hurairah telah mendengar Rasulullah bersabda:
Perumpamaan diriku dengan orang-orang yang kudakwahi adalah bagaikan seseorang yang
menyalakan api, dan ketika api telah menerangi sekelilingnya maka datanglah ngengat
dan serangga lainnya terbang menuju api. Orang itu kemudian berusaha menahan
serangga-serangga itu masuk ke dalam api, tetapi serangga-serangga itu mengalahkannya
dan terjun masuk ke dalam api. Rasulullah menambahkan: Demikianlah aku menarik
ikat pinggangmu supaya kamu tidak masuk neraka, tetapi kamu bersikeras masuk ke
dalam api.” - Shahih Bukhari
Rasulullah selalu mengeluarkan pernyataan yang luar biasa,
baik secara ilmiah dan filosofis. Tapi hadist yang satu itu menjadi begitu
diperlukan di masa sekarang, terlebih sebentar lagi kita akan menjumpai satu
kejadian yang begitu gemerlap: perayaan Tahun Baru Masehi. Untuk memahami
betapa ilmiahnya fenomena yang tergambar dari hadist di atas, kita perlu tahu
apa yang dimaksud dengan makhluk fototaksis.
Fototaksis adalah makhluk yang secara naluri bergerak
mendekati atau menjauhi cahaya. Kecoak adalah satu contoh hewan yang
berfototaksis negatif, atau menjauhi cahaya. Kita banyak menemukan kecoak di
tempat-tempat yang jarang ada cahaya seperti gudang atau ruang bawah tanah.
Sementara ngengat, seperti disabdakan Rasulullah, secara naluri bergerak
mendekati cahaya—yang kemudian disebut fototaksis positif. Mereka seperti
terkesima dengan lampu di rumah kita atau api unggun yang kita buat, bahkan
ketika cahaya yang dicintainya itu menghancurkannya. Naas
Sampai sekarang tidak ada satu penjelasan yang pasti
mengenai bagaimana ngengat (dan serangga lainnya seperti laron) bisa sebegitu terpikatnya
dengan cahaya. Namun ada satu teori populer yang mengatakan bahwa mereka
sebenarnya tidak terpikat, tapi terdisorientasi, alias terbingungkan.
Beberapa tipe ngengat dikenal suka bermigrasi di malam hari,
dan menggunakan cahaya bulan sebagai petunjuk utama yang menjadi navigasi
mereka. Jadi sebenarnya keterpikatan ngengat terhadap cahaya palsu atau bahkan
api tidak lain disebabkan karena mereka tidak “menyangka” bisa benar-benar
mendekati “bulan”, bahkan terbang di atasnya—mereka kemudian bingung.
Selain itu, sebagaimana sebuah sistem navigasi yang mereka
percaya, ngengat cenderung akan bergerak ke cahaya-cahaya itu ketika merasa
tidak aman berada di bawah. Dalam naluri mereka, cahaya itu terletak di atas,
dan bergerak ke atas (ke arah cahaya) dirasa menjadi keputusan yang paling menguntungkan
daripada terbang ke bawah. Maka ketika kita melihat ngengat atau laron yang
terbang berputar-putar mengitari lampu di rumah, kita telah tahu apa yang
sebenarnya menimpa mereka. Kita patut kasihan.
Sebagaimana kita kasihan pada setiap permaisuri yang
melakukan Sati, sebagaimana kita kasihan pada setiap orang yang terbingungkan pada
cahaya yang salah. Tepat! saatnya mengasihani diri sendiri.
Kita bisa katakan bahwa “ketidaktahuan” ngengat tersebut
memang menggambarkan sifat “manusiawi” manusia. Sebagaimana ngengat yang
tertipu dengan kilauan cahaya yang menghancurkannya, manusia juga tertipu oleh
gemerlap kilau dunia yang (pada akhirnya) juga menghancurkannya. Tidak seperti ke-270
permaisuri Tawangalun yang memang tindakan bakar dirinya didukung dan dihormati
oleh sistem pada waktu itu, Yang Maha Penyayang telah mengirimkan Rasulullah untuk
mencegah kita “membakar diri”. Rasulullah telah berusaha semampunya namun
orang-orang lah yang insist bergerak menuju Api.
Maka, kalaupun kita memang makhluk “fototaksis”, semoga kita
kembali pada hakikat kita untuk hanya ternavigasi oleh Cahaya yang tinggi:
cahaya ilmu pengetahuan. Kita sesungguhnya adalah ngengat-ngengat yang sedang
mencari jalan pulang; minadz dzulumaati ilannuur, bergerak dari kegelapan
menuju cahaya. Maka biarlah kita tetap fokus pada rute yang diberikan Langit,
dan tidak tertipu oleh cahaya-cahaya palsu di bawahnya.
Begitulah, kurang lebih 1400 tahun yang lalu, dalam satu
kasus Rasulullah SAW telah membuat perumpamaan antara beliau dan kita, agar
kita tergerak untuk menjauhi api. Jadi, “selamat Tahun Baru”, iya kan? Mari besok
keluar berputar-putar di jalanan menuju lokasi kembang api! Yeeeah!
0 comments:
Post a Comment