Betapa Tidak Menariknya Sosial Media Hari-hari Ini

Aug 7, 2014



Betapa tidak menariknya sosial media hari-hari ini. Media ini berisi generasi pengecut yang hanya berani saling menyerang dari dalam kamarnya. Dulu aku setuju kalau “tidak seru kalau tidak ikut-ikutan perang”, tapi siang ini tidak lagi. Entah kalau besok malam aku kumat, tunggu saja.

Betapa tidak menariknya sosial media hari-hari ini. Orang-orang yang dulu kuanggap luar biasa terus saja berkampanye dan semakin terlihat keberpihakannya. Mereka mengecewakan. Kebaikan dan kebenaran memang harus dikampanyekan. Tapi menyampaikan kebenaran tidak bisa untuk kepentingan golongan—kebenaran harus dikampanyekan untuk kepentingan kebenaran.

Aku semakin merasa asing dengan mereka—aku semakin tidak mengenal siapa mereka. Yang lebih menyakitkan: aku tidak bisa mengenali lagi siapa diriku. Siapa aku sebenarnya? Sudah sejauh mana facebook membesarkanku? Manakah versi diriku yang benar-benar “aku”? Aku terjebak dalam realitas dunia postmodern: abstrak.

Orang-orang yang kuanggap pintar—yang kemudian aku subscribe statusnya—aku unsubscribe lagi karena semakin kesini semakin terlihat menggurui. Aku mudah sekali menganggap orang lain lebih pintar dariku, lantas dia kuanggap guru. Tapi kalau bahasa yang dia gunakan seperti sudah paling pintar sendiri, betapa tidak menariknya.

Betapa tidak menariknya sosial media hari-hari ini. Isu berganti hampir setiap dua hari sekali, dan media ini membuat orang-orang mudah sekali mengeluarkan kalimat yang menyakiti. Salah seorang teman begitu well-aware bahwa di sosial media orang akan mudah sekali menerima hujatan bila cara dia memandang dunia agak berbeda dari arus utama. Meski begitu dia tetap menjadi dirinya: begitu sarkas. Yap, dia memang teman yang menarik—meski agak alay.

Ketika facebook diciptakan, apakah Zuckerberg juga memikirkan bahwa akan tercipta juga “tangan tak terlihat” yang mengaduk-aduk isi sosial media? Kita, secara aktif, seperti disuapi sebuah isu untuk kita main-mainkan beberapa waktu. Kemudian kita bosan dan ada isu lagi yang muncul, lalu kita mainkan lagi. Begitu terus.

Sosial media kemudian membuat semuanya begitu dinamis, tapi justru aku bosan dengan dinamika seperti ini. Dinamika yang jalan di tempat—bahkan mundur. Manusia (secara komunal) kehilangan kemampuan untuk fokus menyelesaikan suatu masalah. Yang sebenarnya kita lakukan adalah membicarakannya. Membicarakannya. Pada dasarnya; kita memang masyarakat pelupa.

So, what is that “invisible hand” that distracts our focus in live? Or.. who? Aku tidak sebegitu tertarik dengan teori konspirasi, tapi aku merasa kalau ini bukan kebetulan.

Beberapa semester yang lalu facebook masih begitu menarik, tapi semakin aku belajar media; aku semakin tidak antusias dalam menggunakannya. Bosan, bosan. Orang-orang tidak lagi bisa membedakan mana ruang publik mana ruang pribadi.

Dan kalau orang beranggapan bahwa “aku berfacebook maka aku ada”, maka biarkan aku menghilang. Biarkan aku bahagia dalam ketidak-beradaanku. []

sumber gambar

0 comments:

Post a Comment