Hidup Kita sebagai Manusia

Jan 20, 2015

Tadi malam salah seorang teman perempuan curhat tentang pengeroyokan maling helm di kampus oleh para satpam. Untuk pertama kalinya, dia menyaksikan sendiri apa yang disebutnya sebagai "penyiksaan" itu. Dia shock.

Dia mengakui kalau malingnya memang salah. Dia sempat kabur dan menabrak salah satu satpam sehingga kakinya cedera. Tapi bagaimanapun dia tetap tidak bisa menerima perlakuan satpam-satpam pada maling itu: sudah dimaki-maki, dipukuli, ditendang sampai tersungkur, dan masih ditimpuk pakai batu sampai kepalanya berdarah.

Tidak ada yang melerai (termasuk temanku itu sendiri). Dia mengklaim tidak bisa melakukan apa-apa, yang mana merupakan bagian yang paling menyedihkan dari seluruh kejadian. Bisa dipahami, bukan karena tidak mau, tapi memang belum memiliki "kekuatan" yang cukup untuk mengubah keadaan--entah itu kekuatan jiwa, fisik, atau materi.

Seperti ketika kita ingin membantu gelandangan yang tidur di pinggir jalan, tapi saat itu jalanan ramai dan kita naik motor. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus berlalu karena tidak bisa mengganggu pengguna jalan lain. Atau bisa juga karena kita tidak enak hati kalau dicap sok, baik secara langsung atau tidak. Seperti ketika kita ingin menyampaikan sesuatu di kelas tapi khawatir dicap sok pintar. Hingga kemudian tangan tidak kunjung diangkat dan menyesali kalimat yang tidak tersampaikan ketika kelas usai.

Meratap: seperti ada sebagian hati yang hancur, iya kan? Perasaan yang tidak tersampaikan, entah sebenarnya kita punya kesempatan atau tidak.

But that's life, isn't it? Begitulah hidup. Dunia adalah tempat yang didesain untuk membuat hati kita hancur. (In a slow and fun way, or hard way)

Temanku itupun juga bersedih, karena kalau dia berusaha melerai dengan meminta satpamnya untuk berhenti menyiksa, mungkin dia hanya akan dianggap anak sok tahu yang sedang mencoba jadi pahlawan. Atau yang lebih buruk: dianggap sebagai komplotan pemuda maling tadi. Karena dia juga bilang kalau satpam berteriak-teriak "memanggil" makhluk ghaib yang bernama "komplotan maling" tadi. Itu mungkin yang membuat orang-orang, termasuk para lelaki di sekitar tempat kejadian,  tidak berani berbuat banyak.

It actually happens in almost anything. Dalam masyarakat yang sibuk dan penuh keakuan ini, orang-orang menjadi mati rasa akan ketidak-adilan di sekitarnya. Semuanya dianggap biasa, sehingga orang yang mencoba mengubah "kenyamanan" ketidak-adilan itu yang akan dicap tidak biasa. Too bad disaster news being blew up everyday we are getting so numb.

Kalau kamu melihat film Se7en, kalian akan lebih paham. Untuk mendapatkan perhatian dari manusia, kamu tidak bisa lagi hanya menepuk bahunya, kamu harus menghantamnya dengan palu. Memikirkan diri sendiri adalah sains. Ketika kamu diperkosa atau kemalingan, yang kamu teriakkan bukan "tolong!", tapi "kebakaran!". Tidak ada lagi yang mau merespon "tolong", tapi akan langsung bertindak bila ada yang berteriak "kebakaran".

Tentunya masyarakat tidak selalu seekstrim itu. Tapi itulah yang memang terjadi dengan temanku, kejiwaannya dihantam dengan kejadian itu. (Itulah mungkin kenapa ketika ingin menjadikan seseorang imam shalat, kita "cukup" hanya menepuk bahunya; barangkali kita dilatih untuk tetap sensitif)

Temanku kemudian bertanya; kalau saja ada satu orang saja yang mencoba menghentikannya, mungkinkah malingnya akan merasa lebih dimanusiakan?

Itulah masalahnya, kita tidak akan pernah tahu jawabannya ketika kesempatan untuk mencoba sudah hilang. Coldplay benar, if you never try you'll never know, just what you're worth. Kita tidak akan pernah tahu sebenarnya sebenarapa pantas dan berharganya aksi yang kita lakukan ketika kita membiarkan kesempatan itu melayang. Sementara hidup tidak bisa dibangun dengan kata "seandainya" atau "kalau saja".

Itulah mengapa hati temanku hancur.

Bukankah ada yang lebih menyakitkan dari kegagalan? Yaitu ketika kita bahkan tidak mencoba sama sekali.

Temanku tetap memiliki kesalahan; dia melihat ketidakadilan di depan matanya tapi tidak mencoba menghentikannya. Sementara Rasulullah berpesan agar kita selalu mencoba berbuat sesuatu ketika terjadi ketidakadilan; dengan "tangan" kalau kita punya kekuatan atau otoritas, dengan "mulut" kalau kita punya media (dan, ehem, kita memang punya media: sosial media), atau dengan hati bila kita masih merasa lemah, dan itu memang selemah-lemahnya iman.

Dia mungkin sudah mencoba menghentikan ketidakadilan itu dengan hatinya. Itu terlihat ketika dia mulai mempertanyakan ketidakadilan; "Apa iya harus segitunya menghukum orang agar dia jera?", "Apa sepadan hukumannya dengan harga helm yang cuma berkisar 100-200 ribu?", "Lalu apa kabar para koruptor yang nyolong duit orang senegara?" Betapa adilnya hukum kita.

Haha, dia keliru ketika akhirnya membandingkannya dengan koruptor. "Maling ayam digebukin, koruptor dibebasin" dan semacamnya itu sudah menjadi lagu lama dan diskusi yang mati. Karena memang selalu begitu, hukum manusia memang tidak pernah "sepadan". Terbawa perasaan sampai mengutuk koruptor adalah sebuah klise.

Aku katakan padanya, kalau memandang koruptor, harus sampai pada hukuman Langit. Siksaan di dunia bisa jadi sebagai penghapus dosa; seperti situasi rajam dan potong tangan. Ingat, Malaikat Harut dan Marut saja lebih memilih untuk menerima hukuman di dunia.

Bagaimanapun, pengalaman yang disaksikan temanku itu pantas untuk orang idealis seperti dia, sebagai tambahan bahan bakar untuk tetap setia pada mimpinya: menumpas ketidakadilan.

Seperti lirik John Lennon yang dia kutip tadi malam: “You may say I’m a dreamer. But I’m not the only one. I hope someday you’ll join us. And the world will live as one.”.

0 comments:

Post a Comment