“Kita ini sebenarnya apa?” Tanya seorang gadis kepada laki-laki yang sedang menyendok sepotong tiramisu di depannya. Laki-laki itu terdiam, bingung menjawab pertanyaan pasangannya. Sejauh ini, tidak terpikir olehnya bahwa gadis itu akhirnya akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Tidak terpikir olehnya bahwa selama ini hubungan mereka memang tanpa status: Tidak ada visi yang jelas yang mengikat mereka. Mereka memang sering makan bersama, menonton film, atau berkaraoke, tapi apa yang benar-benar mengikat mereka?
Aku
menganggap cerita itu sebuah alegori untuk organisasi internal kampus yang
pernah kita jalani, sebagian atau semuanya secara tidak sadar bergerak tanpa
visi.
Aku menyesalkan
bila sebuah organisasi bervisi (apalagi berasaskan Islam) berubah menjadi
sekadar Event Organizer (EO), di mana orang-orangnya hanya seperti robot yang
bergerak karena “proker harus jalan”. Mereka seperti tidak serius memikirkan
esensi dan output dari kegiatan yang
kadang menghabiskan banyak uang, tenaga, dan pikiran. Aku akui, itu memang
menyenangkan. Periode awal organisasi pikiranku belum sefilosofis itu. Tapi
pada akhirnya aku merasa benar-benar ada yang salah.
Aku
kemudian ingat sebuah tulisan tentang Sartre. Filsuf Perancis itu berkata,
“manusia adalah makhluk yang eksistensinya mendahului esensi”. Aku mulai
berpikir kalau mereka, secara tidak sadar, membenarkan argumen Sartre. Sebagian
organisasi yang pernah aku ikuti di kampus memang fokus berpikir tentang
eksistensi mereka, bagaimana orang luar menganggap mereka “ada kegiatan”.
Mereka menjalankan proker dengan alasan sesimpel “periode yang lalu juga
menjalankannya”. Persetan dengan esensi dan dasar mereka melakukan sebuah
kegiatan.
Aku
benar-benar masih ingat, di organisasi internal kampus pertamaku (EDCOM), Edwi
Mardiyoko mengatakan kalimat semacam ini ketika kami upgrading: “Kegiatan upgrading
ini buat apa? Apa karena hanya ingin melepas proker? Proker lepas, lepas begitu
saja?”
Sayangnya waktu
itu aku masih terlalu culun untuk menyadari betapa mendesak dan pentingnya
pertanyaan Edwi. Sampai akhir masa-masa organisasi pun, tidak ada yang
benar-benar bisa kuubah: Kesadaran akan
esensi itu hanya menjadi kesadaran naïf—memahami sebuah kesalahan tanpa tahu
cara untuk memperbaikinya.
Setidaknya
aku sadar akan sesuatu: acara-acara awal seperti upgrading sebenarnya adalah acara yang sangat serius untuk
penanaman visi dan misi organisasi. Benar-benar sangat serius.
Kami rapat,
menyusun acara seminar, melakukan kunjungan, kemudian rapat lagi—kami bersenang-senang.
Namun kami jarang berhenti sejenak untuk jujur bertanya pada diri sendiri: Sebenarnya
apa yang kita lakukan? Apa yang sedang kita tuju? Apa yang sebenarnya mengikat
kita? Atau bahkan apakah kita memang benar-benar terikat satu sama lain?
Masing-masing
dari kami secara tidak sadar bergerak tanpa visi yang sama. Kami menciptakan
tembok yang tebal untuk membatasi satu divisi dengan divisi yang lain. Yang
sebenarnya, kalau semuanya bergerak dengan tujuan yang sama, akan bisa
bersinergi secara luar biasa.
Proker yang
ada tahun ini adalah hasil mengopi proker pada periode sebelumnya—dengan sedikit
perubahan, tentunya. Kami rapat, menyusun acara diskusi, pergi ke suatu tempat
untuk bersenang-senang, untuk kemudian melakukan evaluasi setelah mengulang
kesalahan yang dilakukan periode sebelumnya, dan sebelumnya lagi—kami eksis.
Sekarang, untuk
setiap orang yang saat ini satu kelompok denganku, ijinkan aku merekonfirmasi: “kita
ini sebenarnya apa?” []
0 comments:
Post a Comment