Kita ini sebenarnya apa?

Jan 21, 2015

“Kita ini sebenarnya apa?” Tanya seorang gadis kepada laki-laki yang sedang menyendok sepotong tiramisu di depannya. Laki-laki itu terdiam, bingung menjawab pertanyaan pasangannya. Sejauh ini, tidak terpikir olehnya bahwa gadis itu akhirnya akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Tidak terpikir olehnya bahwa selama ini hubungan mereka memang tanpa status: Tidak ada visi yang jelas yang mengikat mereka. Mereka memang sering makan bersama, menonton film, atau berkaraoke, tapi apa yang benar-benar mengikat mereka?

Aku menganggap cerita itu sebuah alegori untuk organisasi internal kampus yang pernah kita jalani, sebagian atau semuanya secara tidak sadar bergerak tanpa visi.

Aku menyesalkan bila sebuah organisasi bervisi (apalagi berasaskan Islam) berubah menjadi sekadar Event Organizer (EO), di mana orang-orangnya hanya seperti robot yang bergerak karena “proker harus jalan”. Mereka seperti tidak serius memikirkan esensi dan output dari kegiatan yang kadang menghabiskan banyak uang, tenaga, dan pikiran. Aku akui, itu memang menyenangkan. Periode awal organisasi pikiranku belum sefilosofis itu. Tapi pada akhirnya aku merasa benar-benar ada yang salah.

Aku kemudian ingat sebuah tulisan tentang Sartre. Filsuf Perancis itu berkata, “manusia adalah makhluk yang eksistensinya mendahului esensi”. Aku mulai berpikir kalau mereka, secara tidak sadar, membenarkan argumen Sartre. Sebagian organisasi yang pernah aku ikuti di kampus memang fokus berpikir tentang eksistensi mereka, bagaimana orang luar menganggap mereka “ada kegiatan”. Mereka menjalankan proker dengan alasan sesimpel “periode yang lalu juga menjalankannya”. Persetan dengan esensi dan dasar mereka melakukan sebuah kegiatan.

Aku benar-benar masih ingat, di organisasi internal kampus pertamaku (EDCOM), Edwi Mardiyoko mengatakan kalimat semacam ini ketika kami upgrading: “Kegiatan upgrading ini buat apa? Apa karena hanya ingin melepas proker? Proker lepas, lepas begitu saja?”

Sayangnya waktu itu aku masih terlalu culun untuk menyadari betapa mendesak dan pentingnya pertanyaan Edwi. Sampai akhir masa-masa organisasi pun, tidak ada yang benar-benar bisa kuubah: Kesadaran akan esensi itu hanya menjadi kesadaran naïf—memahami sebuah kesalahan tanpa tahu cara untuk memperbaikinya.

Setidaknya aku sadar akan sesuatu: acara-acara awal seperti upgrading sebenarnya adalah acara yang sangat serius untuk penanaman visi dan misi organisasi. Benar-benar sangat serius.

Kami rapat, menyusun acara seminar, melakukan kunjungan, kemudian rapat lagi—kami bersenang-senang. Namun kami jarang berhenti sejenak untuk jujur bertanya pada diri sendiri: Sebenarnya apa yang kita lakukan? Apa yang sedang kita tuju? Apa yang sebenarnya mengikat kita? Atau bahkan apakah kita memang benar-benar terikat satu sama lain?

Masing-masing dari kami secara tidak sadar bergerak tanpa visi yang sama. Kami menciptakan tembok yang tebal untuk membatasi satu divisi dengan divisi yang lain. Yang sebenarnya, kalau semuanya bergerak dengan tujuan yang sama, akan bisa bersinergi secara luar biasa.

Proker yang ada tahun ini adalah hasil mengopi proker pada periode sebelumnya—dengan sedikit perubahan, tentunya. Kami rapat, menyusun acara diskusi, pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang, untuk kemudian melakukan evaluasi setelah mengulang kesalahan yang dilakukan periode sebelumnya, dan sebelumnya lagi—kami eksis.

Sekarang, untuk setiap orang yang saat ini satu kelompok denganku, ijinkan aku merekonfirmasi: “kita ini sebenarnya apa?” []

0 comments:

Post a Comment