Doesn't Matter Who I Am

Jan 18, 2015

Ketika kau mulai suka pada sains (ilmu), hal yang akan kau kesampingkan bukanlah iman, tapi egomu. Yang jauh dari sains bukanlah agama, tapi keakuan dalam dirimu. Keilmiahan akan senantiasa satu pohon keluarga dengan obyektivitas. Tapi subyektivitas? Selalu akan menjadi kawan jauh.

Dalam sains, bukan dirimu yang penting. Sains selalu tentang obyek di luar dirimu: masyarakat, negara, hingga alam semesta. Kau akan benar-benar merasa kecil bila kau merenungkan posisimu di hadapan semesta.

Bumi berevolusi mengelilingi matahari, matahari berevolusi bersama bintang-bintang lainnya di Bimasakti. Bimasakti bergerak bersama galaksi lainnya mengelilingi sesuatu yang lebih besar darinya. Sesuatu yang lebih besar itu tentu akan bergerak mengelilingi sesuatu yang lain yang bahkan lebih besar lagi. Begitu seterusnya, sampai semesta kesekian mengelilingi satu inti: pusat Cahaya, atau Inti Kehidupan, atau Kesempurnaan, atau Kebenaran, atau Tuhan.

Kita secara literal benar-benar sangat kecil, mendekati tiada. Begitulah ilmu akan merendahkan hatimu.

Sains tidak meminta pengakuan, karena itulah sifat alami kebenaran; dia tidak meminta orang untuk percaya. Kebenaran akan tetap menjadi kebenaran tidak peduli berapa orang yang percaya dan mengikutinya. Sementara ego haus akan pengakuan dan penerimaan, haus akan eksistensi, haus akan "like".

Semakin kesini kau akan lihat orang semakin sering bercerita tentang diri mereka sendiri; di facebook, twitter, dan setiap sosmed yang bisa kau sebutkan. Terlalu banyak "aku, aku, kehidupanku, dan pendapatku". Maka belajarlah bersikap ilmiah: geruslah keakuan dalam dirimu. Bertahanlah dalam kebenaran, bukan keakuan.

Tidak perlu capek-capek menghumasi diri sendiri. Bila Semesta mengakui usahamu untuk lebih mengobservasi dan mengenalnya; dia sendiri yang akan mencatatmu dalam sejarah.

"Doesn't matter who I am. Who I am means absolutely nothing."

0 comments:

Post a Comment