Dosen mengawali kuliah dengan pertanyaan seperti itu. Kelas
masih terdiam, sampai kemudian beliau mengatakan hal yang luar biasa, “Kalian coba
bayangkan kalau kita hidup di jaman ketika teknologi belum seperti sekarang.”
Cukup adil sih. Maksudnya, kalau kita bicara budaya, pasti
terikat ruang dan waktu kapan dia booming.
Ada sesuatu yang disebut “jiwa jaman”, yang juga disebut zeitgeist. Setiap era memiliki semangat yang berbeda. Jujur, saya
tidak tahu puisi itu menjadi jiwa jaman pada tahun berapa saja. Saya memang
bukan orang yang begitu tertarik dengan sastra. Setiap kutipan puisi yang saya
cantumkan pada catatan-catatan sebelumnya hanya untuk mengesankan pembaca. Yap,
saya pura-pura suka puisi.
(kalau jatuh cinta
bisa langsung membuatmu suka puisi, tentu sampai sekarang puisi akan terus
berkembang)
Puisi adalah semacam teknologi. Bukan teknologi yang sering
kita asosiasikan dengan gadget,
melainkan technology of the self. Itu
istilah dari seorang dosen, mari kita terjemahkan saja menjadi: teknologi diri
sendiri. Saya kurang paham hubungan antara “puisi” dengan “teknologi diri sendiri”.
Mungkin karena bila ingin membuat atau memahami puisi, otak seseorang harus
cukup canggih untuk merekatkan diksi dengan balutan aliterasi, asonansi, atau
rima. Saya kemudian berasumsi bahwa semakin seseorang menyukai puisi, berarti
dia semakin canggih.
Puisi itu, setahu saya, adalah bentuk tertua dari karya
sastra, the oldest form of literature.
Ketika manusia mulai mengenal tulisan, manusia juga mulai mengembangkan
estetika menulis. Manusia kemudian semakin maju, dan puisi akan menjadi penanda
kemajuan jaman. Contohnya seperti ini: ketika revolusi industri terjadi di
Inggris, puisi beralih tema dari pemujaan dewa-dewa menjadi bernada kritis
realis semacam The Chimney Sweeper-nya
William Blake. Jaman berubah, permasalahannya bukan lagi dewa Fulan marah
sehingga padi tidak tumbuh, tapi semakin rusaknya udara London akibat polusi
asap pabrik.
Puisi “beralih” tema dan menjadi penanda jaman. Pada perspektif
ini, bukanlah inovasi teknologi yang membuat jaman berubah, namun “apa yang
menyemangatinya”. Ada yang merasakan perubahan hidup ketika Samsung Galaxy S II
diperbarui dengan Samsung Galaxy S III? Saya tidak. Bahkan ketika Samsung berhenti
melakukan inovasi ponsel, saya yakin hidup saya tidak akan terpengaruh.
Perubahan jaman banyak yang ditandai dengan puisi, seperti ketika Wiji Thukul menggunakan
puisinya dalam menyuntikkan semangat untuk menumbangkan Rezim Bapak Presiden.
“Kau ingat sebuah puisi ketika kita SD nggak?” Suatu ketika
saya bertanya kepada seorang teman. “Tapi aku nggak tahu juga sih kamu pernah
mendapat puisi seperti ini atau nggak.” Saya melanjutkan. Sebelum saya
menyebutkan puisinya, dia sudah berhasil membaca pikiran saya.
“Walau hujan?” dia menebak sambil tersenyum.
Saya tertawa kecil waktu itu, ternyata memang buku paket Bahasa
Indonesia kita sama. Saya bahkan masih hafal teks puisinya: Walau hujan, aku tetap pergi ke sekolah.
Walau hujan, Ibu tetap pergi ke pasar. Walau hujan, Ayah tetap pergi ke sawah.
Karena hujan, adalah rahmat Tuhan. Saya membayangkan si anak dalam puisi
itu kelewat idealis, karena saya sendiri sering menjadikan “rahmat Tuhan” itu
sebagai alasan untuk tidak datang ke kampus.
Teman saya kemudian balik bertanya, apakah saya masih ingat
ilustrasinya atau tidak. Tentu saja saya ingat; seorang anak, ibu, dan ayahnya
sedang berjalan bersama di tengah hujan. Anaknya membawa payung, ibunya memakai
caping, dan ayahnya memegang daun pisang. Well,
jaman dahulu bahagia bisa sederhana itu.
Ada yang masih ingat lagu dolanan “sluku-sluku bathok”? Saat
saya kecil, saya sepertinya tidak pernah memainkan permainan itu. Saya bahkan
tidak ingat permainan seperti apa yang menggunakan lagu itu. Yang jelas, saya
masih sangat familier dengan liriknya:
Sluku-sluku
bathok
Bathoke
ela-elo
Si Rama
menyang Solo
Oleh-olehe
payung mutho
Mak jenthit
lolo lo bah
Wong mati
ora obah
Yen obah
medeni bocah
Yen urip
golekko dhuwit
“Kalian tahu? Ini sebenarnya mantra untuk menghidupkan orang
yang sudah meninggal.” Kata dosen saya waktu itu. Mengejutkan. Terlepas dari manjur
tidaknya mantra itu, liriknya memang berima. Orang memang sering menyusun
mantra dari teks berima (mungkin biar lebih mudah dihafal). Teks berima mampu
membangkitkan sense yang tidak biasa.
Dalam kasus “sluku-sluku bathok”, masyarakat dulu mungkin beranggapan bahwa
teks-teks semacam itu bisa membangkitkan nilai-nilai magis yang tidak bisa
ditransfer oleh teks biasa.
Maka dari itu, bila kembali pada pertanyaan “Apakah puisi
itu penting?”, jawabannya: bagi masyarakat dahulu, iya. Logika masyarakat
tradisional dan modern beda. Konon puisi menjadi bagian dari budaya ketika
masyarakat masih menikmati takdir mereka sebagai manusia. “Puisi sekarang
seperti kehilangan ruhnya”, kata dosen saya. Kemampuan berpuisi manusia sudah
diembat kaum kapitalis untuk menciptakan tagline-tagline beraliterasi semacam “aku
dan kau suka dancow”.
Di tengah masyarakat yang “diperbudak” modernisme ini, orang
yang gemar membuat puisi mungkin dianggap buang-buang waktu. Orang tidak sempat
lagi memikirkan mengapa Sapardi Joko Damono mengklaim bahwa hujan di bulan Juni
adalah sesuatu yang paling tabah. Padahal, tidak adanya semangat penanda jaman hanya
akan membuat kita berputar-putar dalam ilusi modernisme, dalam irama yang masih
belum berubah: keserakahan kapitalisme.
Wauw, akhir-akhir ini saya merasa begitu Marxist. []
0 comments:
Post a Comment