Puisi itu sebenarnya penting nggak sih?

Dec 23, 2014

jengrenny.wordpress.com

“Puisi itu sebenarnya penting nggak sih?”

Dosen mengawali kuliah dengan pertanyaan seperti itu. Kelas masih terdiam, sampai kemudian beliau mengatakan hal yang luar biasa, “Kalian coba bayangkan kalau kita hidup di jaman ketika teknologi belum seperti sekarang.”

Cukup adil sih. Maksudnya, kalau kita bicara budaya, pasti terikat ruang dan waktu kapan dia booming. Ada sesuatu yang disebut “jiwa jaman”, yang juga disebut zeitgeist. Setiap era memiliki semangat yang berbeda. Jujur, saya tidak tahu puisi itu menjadi jiwa jaman pada tahun berapa saja. Saya memang bukan orang yang begitu tertarik dengan sastra. Setiap kutipan puisi yang saya cantumkan pada catatan-catatan sebelumnya hanya untuk mengesankan pembaca. Yap, saya pura-pura suka puisi.

(kalau jatuh cinta bisa langsung membuatmu suka puisi, tentu sampai sekarang puisi akan terus berkembang)

Puisi adalah semacam teknologi. Bukan teknologi yang sering kita asosiasikan dengan gadget, melainkan technology of the self. Itu istilah dari seorang dosen, mari kita terjemahkan saja menjadi: teknologi diri sendiri. Saya kurang paham hubungan antara “puisi” dengan “teknologi diri sendiri”. Mungkin karena bila ingin membuat atau memahami puisi, otak seseorang harus cukup canggih untuk merekatkan diksi dengan balutan aliterasi, asonansi, atau rima. Saya kemudian berasumsi bahwa semakin seseorang menyukai puisi, berarti dia semakin canggih.

Puisi itu, setahu saya, adalah bentuk tertua dari karya sastra, the oldest form of literature. Ketika manusia mulai mengenal tulisan, manusia juga mulai mengembangkan estetika menulis. Manusia kemudian semakin maju, dan puisi akan menjadi penanda kemajuan jaman. Contohnya seperti ini: ketika revolusi industri terjadi di Inggris, puisi beralih tema dari pemujaan dewa-dewa menjadi bernada kritis realis semacam The Chimney Sweeper-nya William Blake. Jaman berubah, permasalahannya bukan lagi dewa Fulan marah sehingga padi tidak tumbuh, tapi semakin rusaknya udara London akibat polusi asap pabrik.

Puisi “beralih” tema dan menjadi penanda jaman. Pada perspektif ini, bukanlah inovasi teknologi yang membuat jaman berubah, namun “apa yang menyemangatinya”. Ada yang merasakan perubahan hidup ketika Samsung Galaxy S II diperbarui dengan Samsung Galaxy S III? Saya tidak. Bahkan ketika Samsung berhenti melakukan inovasi ponsel, saya yakin hidup saya tidak akan terpengaruh. Perubahan jaman banyak yang ditandai dengan puisi, seperti ketika Wiji Thukul menggunakan puisinya dalam menyuntikkan semangat untuk menumbangkan Rezim Bapak Presiden.

“Kau ingat sebuah puisi ketika kita SD nggak?” Suatu ketika saya bertanya kepada seorang teman. “Tapi aku nggak tahu juga sih kamu pernah mendapat puisi seperti ini atau nggak.” Saya melanjutkan. Sebelum saya menyebutkan puisinya, dia sudah berhasil membaca pikiran saya.

“Walau hujan?” dia menebak sambil tersenyum.

Saya tertawa kecil waktu itu, ternyata memang buku paket Bahasa Indonesia kita sama. Saya bahkan masih hafal teks puisinya: Walau hujan, aku tetap pergi ke sekolah. Walau hujan, Ibu tetap pergi ke pasar. Walau hujan, Ayah tetap pergi ke sawah. Karena hujan, adalah rahmat Tuhan. Saya membayangkan si anak dalam puisi itu kelewat idealis, karena saya sendiri sering menjadikan “rahmat Tuhan” itu sebagai alasan untuk tidak datang ke kampus.

Teman saya kemudian balik bertanya, apakah saya masih ingat ilustrasinya atau tidak. Tentu saja saya ingat; seorang anak, ibu, dan ayahnya sedang berjalan bersama di tengah hujan. Anaknya membawa payung, ibunya memakai caping, dan ayahnya memegang daun pisang. Well, jaman dahulu bahagia bisa sederhana itu.

Ada yang masih ingat lagu dolanan “sluku-sluku bathok”? Saat saya kecil, saya sepertinya tidak pernah memainkan permainan itu. Saya bahkan tidak ingat permainan seperti apa yang menggunakan lagu itu. Yang jelas, saya masih sangat familier dengan liriknya:

Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung mutho
Mak jenthit lolo lo bah
Wong mati ora obah
Yen obah medeni bocah
Yen urip golekko dhuwit

“Kalian tahu? Ini sebenarnya mantra untuk menghidupkan orang yang sudah meninggal.” Kata dosen saya waktu itu. Mengejutkan. Terlepas dari manjur tidaknya mantra itu, liriknya memang berima. Orang memang sering menyusun mantra dari teks berima (mungkin biar lebih mudah dihafal). Teks berima mampu membangkitkan sense yang tidak biasa. Dalam kasus “sluku-sluku bathok”, masyarakat dulu mungkin beranggapan bahwa teks-teks semacam itu bisa membangkitkan nilai-nilai magis yang tidak bisa ditransfer oleh teks biasa.

Maka dari itu, bila kembali pada pertanyaan “Apakah puisi itu penting?”, jawabannya: bagi masyarakat dahulu, iya. Logika masyarakat tradisional dan modern beda. Konon puisi menjadi bagian dari budaya ketika masyarakat masih menikmati takdir mereka sebagai manusia. “Puisi sekarang seperti kehilangan ruhnya”, kata dosen saya. Kemampuan berpuisi manusia sudah diembat kaum kapitalis untuk menciptakan tagline-tagline beraliterasi semacam “aku dan kau suka dancow”.

Di tengah masyarakat yang “diperbudak” modernisme ini, orang yang gemar membuat puisi mungkin dianggap buang-buang waktu. Orang tidak sempat lagi memikirkan mengapa Sapardi Joko Damono mengklaim bahwa hujan di bulan Juni adalah sesuatu yang paling tabah. Padahal, tidak adanya semangat penanda jaman hanya akan membuat kita berputar-putar dalam ilusi modernisme, dalam irama yang masih belum berubah: keserakahan kapitalisme.

Wauw, akhir-akhir ini saya merasa begitu Marxist. []

-5 Mei 2014

0 comments:

Post a Comment