Seperti biasa, aku membuka facebook; membuat status yang
aneh-aneh, mengomentari status teman dengan komentar yang lucu, sok idealis,
bercanda, tertawa sendiri di depan layar, dan kegiatan yang menyenangkan
lainnya.
Lalu aku sadar, "Oh, waktu sholat sudah lewat beberapa
menit.", lalu bersiap-siap dan bersepeda keluar.
Aku bersepeda dengan hati yang riang, masih terbayang
candaan-candaan lucu tadi, dan berencana online lagi habis sholat.
Tiba-tiba aku melihat seorang kakek tua membawa sesuatu
(mungkin berjualan) yang sedang istirahat sendiri berteduh di tengah teriknya
matahari.
Seketika perasaanku berubah; seperti ada yang menusuk hati
ini dengan sesuatu. Seperti ada yang merajam diriku dari dalam. Sakit.
Aku merasa diriku begitu salah; aku merasa duniaku begitu
salah. "Dunia ini begitu ironis." "Apa yang telah aku lakukan,
menyia-nyiakan nikmat untuk hal-hal yang tidak berguna?" "Apakah
selama ini aku hanya bisa berteori saja?"
Aku merasa tulisan-tulisan yang sok idealis di facebook itu
menguap begitu saja. Semuanya. Dunia nyata tidak bekerja seperti apa yang aku
pikirkan. Berada terlalu lama di facebook membuatku berpikir bahwa dunia begitu
indah, dan dunia berakhir dalam layar 11-an inchi ini.
Beberapa kilometer dari kamarku masih banyak orang tua yang
meski berjalan berkilo-kilo setiap harinya, atau anak-anak yang meminta-minta
di perempatan yang biasa aku hiraukan.
Bermil-mil dari sini dunia tidak seperti ini, orang-orang
berada dalam ketakutan, kelaparan karena blokade militer dan serangan
bertubi-tubi.
Dunia begitu timpang, dan aku berada di dalam posisi yang
begitu nyaman. Dan kalau mau jujur, rasanya begitu menyakitkan. Apakah aku
masih manusia? Karena aku bisa makan dengan begitu nyaman.
Pikiran seperti ini tidak hadir sekali dua kali, kadang juga
terjadi ketika aku melihat petani, pengemis, atau siapapun yang sedang
kepanasan yang tidak tahu bahwa ada orang-orang yang di waktu yang sama sedang
terkekeh-kekeh, atau berdebat sesuatu yang tidak penting di depan laptop.
Ini seperti Tuhan memberikan pelajaran yang aku sudah tahu
tapi terus Dia ulang-ulang, seperti kalau aku kembali diajari grammar semester
satu.
"Oke Tuhan, aku tahu, tidak perlu mengajariku! Aku
sudah tahu kalau hidup harus bersyukur!" Aku seakan setengah membentak-Nya
seperti kalau teman di organisasi mengatakan hal yang sudah aku tahu (tapi
nyatanya tidak aku lakukan). "Aku sudah tahu! Kau kira aku bodoh!"
Tapi nyatanya: apa sebenarnya definisi dari syukur? Aku
tidak pernah benar-benar bersyukur.
"Sesungguhnya dalam rejeki yang diberikan kepadamu, ada
bagian orang miskin di dalamnya."
Waktu, kesempatan, pengetahuan, kenyamanan, harta, dan semua
milik kita yang kita pikir kita mendapatkannya dengan tangan kita sendiri.
Selesai menulis ini; aku tersenyum sinis: "Toh aku akan
segera melupakan pikiran ini, nanti malam aku bersenang-senang lagi."
Jadi, Tuhan, silahkan besok-besok ajari aku tentang syukur
lagi, kapanpun Engkau berkenan. :)
-hamba yang kurang bersyukur
0 comments:
Post a Comment