Ampas-ampas Kecil pada Susu Jahe

Sep 27, 2014

Dicucinya sebelum dibakar apa setelah dibakar to?

Tanyaku kepada Ibu pagi ini ketika membuat sendiri wedang jahe. Ini sudah yang kesekian kalinya aku membuatnya--masih dengan jahe yang kubeli setelah pulang dari Merbabu. Ibu bilang aku perlu jahe agar njarem di kaki cepet ilang. Njaremnya sudah lama hilang, tapi jahe yang tiga ribu dapat seperempat kilo itu tak habis-habis, seperti persediaan kacang bagi tupai saat hibernasi.

Biasanya jahe aku bersihkan dulu sebelum dibakar. Tapi pagi ini Ibu menyuruhku membersihkannya lagi (sambil menyerahkan gayung berisi air). Aku meletakkan jahe gosong itu ke alas kayu, kemudian mengeksekusinya dengan ulegkan (yang barusan digunakan Ibu untuk membuat bumbu, tapi udah kucuci). Rupanya saran Ibu memang utopis sekali untuk dilakukan. Setelah tergeprek, tentu saja jahe hancur. Dan satu-satunya air yang bisa menyentuhnya dalam kondisi seperti itu hanyalah air panas dalam gelas.

Aku menyeduhnya.

Di dalam gelas, sebagian kulit jahe yang gosong itu mengelupas dan terapung di permukaan seperti ikan mati. Biasanya, aku menyaringnya ke wadah lain, membersihkan gelas, lalu menuangkannya lagi ke dalam gelas. Namun pagi ini aku akhirnya sadar, bahwa ternyata itu memerlukan terlalu banyak usaha hanya untuk segelas minuman. Lagipula, akan ada banyak tempat yang menjadi kotor.

Entah karena malas, setelah membersihkan sebagian remukan jahe yang terapung dengan sendok, aku memasukkan susu kental manis. Dan tersajilah susu jahe home-made yang akhir-akhir ini sering ku minum, hanya saja kali ini tanpa proses penyaringan.

Susu jahe kali ini, meskipun tampak “kotor”, entah bagaimana justru terlihat lebih asli. Lagipula, tanpa membuang ampas-ampas kecil itu, rasa jahe dalam minuman ini lebih berasa. Aku, pada akhirnya, menerima ampas kecil itu sebagai bagian yang mengutuhkan susu jahe itu. Aku lantas berpikir: apa memang seharusnya seperti itu? Apakah sesuatu memang tidak seharusnya dicoba dihilangkan paksa dari keutuhannya?  

Dalam hidup ini, ketika menjalin hubungan, rasanya kita memang tidak seharusnya berusaha terlalu keras untuk menghilangkan kelemahan pada seorang teman, atau pasangan. Betapa melelahkannya melakukan negasi terhadap kelemahan orang lain (atau diri sendiri) secara konsisten.

Menurutku, penghilangan paksa kelemahan orang lain, setidaknya dalam pikiran kita, akan merusak keseimbangan pribadi orang itu. Dan bagi kita sendiri, sedikit banyak akan mengendapkan pseudo-realitas dalam otak tentang orang itu: bahwa aku bisa bahagia dengannya bila dia melakukan ini, itu, atau berada dalam kondisi begini, begitu.

Padahal, bukankah kebahagian dengan orang lain bisa diusahakan setiap saat dan dalam setiap kondisi? Tidak perlu membatasi kebahagiaan pada kondisi-kondisi ideal saja.

Ingat bahwa sebuah keutuhan realitas memang ada dua; yang baik dan yang chaotic, sebagaimana Nietzsche meletakkannya. Makanya Nietzsche mengkritik dengan sarkas bahwa “peng-indah-an” yang berlebihan pada sesuatu, seperti ide Sokrates, adalah semacam membuat ide mummy. Artinya, kita membunuh realitas yang sebenarnya, mengeluarkan organ dalamnya, membalsemnya, membungkusnya, menyemprotkan wangi-wangian lalu kita memujanya.

Kita memuja kesempurnaan yang indah, yang sebenarnya adalah realitas yang “mati”.

“Itu baru anakku!”, “Nah gitu dong sebagai temen!”, “Aduh seneng deh kalau pacarku kayak gitu” dan kalimat “harus begini harus begitu” yang lain sebenarnya adalah pengajuan syarat kebahagiaan yang tidak perlu. Dan orang yang mendengar hal itu bisa jadi juga berusaha terlalu keras untuk menjadi baik di mata kita, sambil secara membabi-buta menutupi kekurangannya. Tidakkah itu menyiksa?

Padahal dengan menerima kedua sisi karakter sebagai satu koin yang utuh, justru akan memberikan nilai dan kesan yang tidak munafik.

Maka dari itu, ketika kita mengidamkan susu jahe yang lebih mengkilap, maka selamat mencarinya di restoran—itu pun kalau ada. Kalau kita mendambakan seseorang seperti tokoh utama dalam drama Korea, atau Fahri-nya Ayat-ayat Cinta di dunia nyata, maka akan kukatakan saran yang sama: selamat mencari!

Di jaman sekarang tidak mungkin ada orang yang sempurna. Ikhlas menerima kelemahan, itulah kunci hubungan yang membahagiakan. Seperti kata orang; kalau kamu tidak mau menerima hal buruk dari seseorang, maka kamu tidak pantas mendapatkan kebaikannya.


*btw, susu jahenya diminum sambil nulis tahu-tahu habis.



0 comments:

Post a Comment