Ibrahim

Oct 3, 2014

Kemarin, saya lihat beberapa masjid dekat rumah sudah mulai mempersiapkan prosesi penyembelihan hewan kurban. Masjid Az Zumar sudah memasang kajang di jalan depannya; untuk berteduh bapak-bapak yang memotong dan membagi daging. Masjid Darusallam sudah memasang tiang pancang, kemungkinan untuk menggantung kambing untuk dikuliti. Semuanya disiapkan sebaik mungkin untuk menyambut hari raya kedua umat Islam: Idul Adha.

Ini hari Jumat, dan kemungkinan besar khutbah Jumat di tempatmu tadi sudah membahas tentang Lebaran Haji. Karenanya, tulisan ini tidak akan membahas secara dalam tentang itu. (Sebenarnya lebih karena keterbatasan ilmu yang saya miliki). Saya akan membahas hal yang lain saja. Atau lebih tepatnya, saya akan membahas tentang orang lain. Ini tentang seseorang, yang atas settingan Tuhannya, menjadi inspirasi bagi kita dalam melaksanakan ritual ibadah haji dan kurban: Nabi Ibrahim AS.

Saya ingin berbagi sesuatu tentang Nabi Ibrahim yang belum diketahui secara umum, atau mungkin orang sudah mengetahuinya tapi dengan pemahaman yang keliru. Pertama, kita tahu bahwa Ibrahim melihat matahari lalu berucap “Inilah Tuhanku”, lalu ketika matahari terbenam beliau membatalkan argumennya sendiri dengan berkata “Oh dia terbenam, dan Tuhan tidak terbenam”. Ibrahim lalu melakukan hal yang sama pada bulan. Intinya, beliau seperti orang yang kebingungan dalam mencari Tuhan.

Saya ingin mengklarifikasi , bahwa Ibrahim tidak seperti yang sebagian orang pikirkan. Saya percaya, sebagai nabi, Ibrahim adalah salah satu orang paling cerdas yang pernah ada di muka bumi. Saya yakin kisah itu tidak secara literal menggambarkan bahwa Ibrahim melihat matahari dan menjadi sebegitu takjubnya hingga mulai menyembahnya. Dia tidak mungkin, secara bodoh, tidak menyadari bahwa matahari akan tenggelam saat senja.


Bisakah kita membayangkan seorang Nabi berkata, “Oh, aku tidak tahu ternyata matahari bisa tenggelam! Aku tidak bisa menyembahnya kalau begitu”. Lalu menjelang malam tiba-tiba berkata, “Oh, tapi bulan begitu bersinar! Ini pasti Tuhan!” lalu paginya membatalkan lagi kalimat itu setelah melihat bahwa citraan bulan di langit tidak permanen.

Bahkan Sokrates, yang tidak kita tahu pasti apakah menerima wahyu* atau memang hasil kontemplasi, secara tegas mengatakan bahwa Tuhan adalah Satu. Dia menolak paganisme-politeisme Yunani kuno, yang kemudian membuatnya dihukum mati. Namun karena itu juga, sejarah memahkotainya sebagai salah satu orang paling bijaksana yang pernah hidup dalam masa Yunani Kuno, orang yang kecerdasannya jauh melampaui zamannya.

Lalu apakah Ibrahim, sebagai bapak agama Samawi, akan menunjukkan kebodohan yang sama seperti kaum pagan yang menyembah matahari, bulan, atau petir? No, he didn’t. Tentu saja tidak. Maka situasi yang lebih tepat adalah: beliau mendemonstrasikan kebodohan yang dilakukan oleh kaum musyrik**. Ibrahim sebenarnya memang tidak percaya dengan benda-benda langit itu, beliau menunjukkan betapa bodohnya bila ada orang yang menyembah mereka.

Ibrahim, secara sarkastik, melakukan itu untuk menyerang pemikiran kaumnya. Tidak percaya? Beliau bahkan lebih sarkastik lagi, nantinya, ketika menghancurkan berhala yang disembah kaumnya. Ibrahim, secara rahasia, menghancurkan berhala-berhala kecil dan mengalungkan kapak yang dia gunakan di berhala yang paling besar. Ketika orang-orang di sana mencurigainya dan menyidangnya, beliau berkata: “Tanyalah pada yang paling besar itu, bukankah kau lihat dia yang membawa kapak?”

Begitu cerdas.

Dan ketika orang-orang menyangkal pernyataannya dengan berkata bahwa patung tidak bisa bergerak, Ibrahim melancarkan serangan utama. Mereka benar, kata Ibrahim, bahwa patung tidak bisa bergerak. Mereka, berhala-berhala itu, tidak mampu melindungi diri mereka sendiri, apalagi melindungi orang-orang yang menyembahnya. Sebuah konsep penyadaran yang luar biasa, bukan? Rasul-rasul yang lain tidak menghancurkan berhala atau kuil kaumnya sebagai proses dakwah—termasuk Rasulullah Muhammad SAW***.

Kaum yang diamahkan kepada Ibrahim tentunya sangat-sangat bebal dan susah diajak ngomong, maka taktik penghancuran berhala seperti itu memang hal terbaik dan terbijak yang bisa dilakukan. Dengan kebijaksanaan seperti itu, sekali lagi, tidak mungkin bagi seorang Ibrahim untuk benar-benar berniat menyembah matahari atau bulan. Sebagaimana Rasulullah SAW, atau bahkan Sokrates, sebelum menerima wahyu pun beliau tidak berpikir sebagaimana kaumnya berpikir.

Suatu ketika di toko buku saya melihat buku yang berjudul “Ibrahim pernah Ateis” atau semacamnya, dan saya merasa kalau sebenarnya tidak seperti itu. Saat ini saya diam-diam berharap kalau penulisnya memang sengaja membuat judul yang seperti itu untuk menarik pembaca, dan menanamkan penyangkalan di kepala mereka—argumen sisi terbalik. Karena kalau ada yang meyakini bahwa seorang rasul pun pernah galau perihal keimanannya, maka dikhawatirkan mereka akan menganggap bahwa “bermain-main dengan iman” adalah hal yang wajar untuk dilakukan.

Setidaknya, itu menurut saya.

Terakhir, seperti yang lainnya, saya juga ingin menyampaikan: selamat Hari Raya Idul Adha. Semoga momen-momen ini bisa meningkatkan kecintaan dan keimanan kita pada kesucian para rasul, khususnya Ibrahim AS. []

*tadinya saya hanya ingin mencari di google tentang monoteisme Sokrates dan malah menemukan artikel yang menjelaskan bahwa sebagian muslim, setelah meneliti pemikiran dan jalan hidup Sokrates, berpendapat kalau Sokrates memang nabi yang diutus untuk kaum Yunani Kuno. Menarik sekali, karena posisinya sebagai salah satu Bapak Filosofi Eropa—maka tinggal masalah waktu bagi Eropa, sebagai “anak cucunya”, yang bermasyarakat maju itu untuk sedikit lebih maju lagi dan menerima Islam. Kita tahu: semakin cerdas seseorang maka semakin dekat dia dengan Kebenaran. Karenanya saya yakin, juga setelah melihat statistik, bahwa Islam akan bangkit di Eropa.

**bukan murni pemikiran saya, tulisan ini terinspirasi dari kajian yang saya dengar dari Ustad Nouman Ali Khan.

*** Rasulullah dan para sahabat memang menghancurkan berhala-berhala di sekitar Ka’bah pada saat Fathul Makkah, namun itu bukan proses dakwah. Ketika Mekah ditaklukkan, itu adalah saat hukuman dari Allah. Itu adalah saat ketika sebuah negara ditaklukkan oleh pasukan Islam. Secara esensi, barangkali, proses itu mirip dengan hujan batu untuk kaum Luth atau banjir untuk kaum Nuh. Hanya saja yang Allah hancurkan hanya kemusyrikannya, bukan orang-orangnya. Jadi sebenarnya Fathul Makkah bukanlah proses hukuman, tapi belas kasihan dan pemaafan dari Rasulullah SAW. Kasus tersebut tentu sangat berbeda dengan Ibrahim.

2 comments:

  1. Intinya, kecerdasan Ibrahim tentu telah Allah karuniakan kepadanya. Saat manusia lain yang hidup di zamannya tak memikirkan tentang matahari yang terbit dan terbenam, Ibrahim telah memikirkan siapakah yang ada dibaliknya.

    Sehingga Ia dengan kecerdasannya dapat begitu mudahnya mamatahkan kepercayaan orang2 bebal itu dengan taktik penghancuran berhala yang fenomenal itu.

    Nice post. Happy Eid Adha, Cahyo. Salam mbeeekk ^^
    Wallahu a'lam bi shawab.

    ReplyDelete