Brazil, Jerman, Pilpres, dan Gaza

Jul 9, 2014

Aku tidak yakin bagaimana harus memulai tulisan ini. Hari ini aku terlalu banyak tidur—super tidak produktif. Tapi karena banyak hal besar yang terjadi pada hari ini, aku jadi ingin menulis. Maka ijinkan aku bercerita apapun yang ingin kukatakan padamu; ini akan sedikit acak.

Pagi ini Indonesia dikejutkan oleh hasil fantastis pertandingan antara Brazil melawan Jerman. Brazil, sebagai tuan rumah, harus “pulang” dengan hasil menggenaskan yang kau akan sulit percaya. Brazil adalah negara yang menjadikan sepakbola sebagai agama—katakanlah seperti itu. Di dekat salah satu stadionnya bahkan ada sebuah patung Yesus raksasa—begitu indah dan religius. Di sana, sepertinya Tuhan memberkati sepak bola.

Banyak pemain bintang yang lahir di Brazil. Kau mungkin sudah tahu kalau Brazil juga termasuk negara berkembang, seperti Indonesia. Bedanya, kalau kita gemar mengekspor TKI, mereka gemar mengekspor pemain. Di sisi lain, Brazil adalah magnet. Mereka adalah patron dimana banyak pemain yang ingin berlatih bola di sana, setidaknya itulah yang diajarkan oleh kartun masa kecilku: Kapten Tsubasa. Brazil adalah surga sepakbola.

Meskipun keadaannya mungkin sama seperti di sini, dimana setiap tempat sudah dibangun perumahan atau supermarket, anak-anak kecil di sana masih bisa bermain sepak bola. Bahkan di atap-atap rumah—aku membayangkannya seperti itu.

Dari sini kau sudah tidak bisa lagi berasumsi kalau Brazil sedang kekurangan pemain berbakat. Salah satu pemain muda mereka yang menjadi sorotan publik baru-baru ini, Neymar, konon langsung menjadi pemain terbaik ketiga di dunia “sesaat” setelah sampai di Eropa. Neymar memang tidak bisa bermain pada pertandingan ini. Tapi mestinya Brazil adalah Brazil.

Lalu kemudian kenapa Brazil bisa kalah dari Jerman? FYI, Jerman adalah tim yang mereka kalahkan di final Piala Dunia 2002, jadi tidak berlebihan juga kalau menyebut laga ini sebagai ajang balas dendam. Tapi dengan hasil akhir 7-1? Itu bukan kalah lagi, itu dibantai—Timnas Brazil mandi darah di Belo Horizonte. Dan melihat betapa religiusnya sepak bola di Brazil, maka fakta bahwa Nietzsche si filsuf “pembunuh Tuhan” adalah orang Jerman menjadi kebetulan yang menyenangkan.

Bagaimanapun, Brazil kalah bukan karena alasan religiusitas, tapi karena persiapan Jerman yang lebih baik. Ini diakui David Luiz dalam apologinya kepada rakyat Brazil. Sebuah poin yang penting. Ini mengingatkanku pada dialog antara Saladin dan rekannya dalam film Kingdom of Heaven.

Dalam film itu, setelah pasukan Saracen menarik serangannya di Kerak, rekan Saladin bilang; “Kenapa kita mundur? Tuhan tidak membantu mereka. Tuhan sendiri yang menentukan hasil perang.” Saladin menjawab; “Kemenangan perang memang ditentukan Tuhan, tapi juga oleh jumlah pasukan, persiapan, tidak adanya penyakit, dan ketersediaan air.” Ketika temannya kemudian bilang kalau mereka kalah karena penuh dosa, Saladin berkata; “Itu karena mereka kurang persiapan.”

Begitulah, kehendak memang milik Tuhan, tetapi manusia tetap punya ikhtiar. Selalu seperti itu; baik saat perang jaman Rasul sampai usaha umat muslim sekarang yang sedang berusaha mengembalikan kejayaan Islam. Rasul memang sudah bernubuat bahwa Islam akan bangkit, tapi itu tidak bisa jadi pembenaran atas pasifnya umat. Intansurullah yansurkum, menangkanlah agama Allah, maka Dia akan memenangkanmu.

Soal Gaza yang digenosida Israel, mereka sedang kalah jumlah dan senjata. Yap, umat dengan jumlah penganut agama nomer dua terbesar di dunia bisa “kalah jumlah” dengan Yahudi yang jumlahnya nggak seberapa. Entahlah

Oh iya, kuharap kau tidak salah membayangkan. Brazil memang menjadi patron dan surga tempat memproduksi pemain-pemain bola berbakat. Tapi “panggung”nya ada di Eropa. Industri sepakbola berkembang pesat di sana. Industri, industri, industri. Eropa selalu menjadi panggung sejak revolusi Industri di tahun 1700an.

Pemain Brazil memang banyak yang “mencari nafkah” di Eropa, tapi yang terjadi sebenarnya adalah mereka terus menyuplai pemain untuk dikomodifikasi di setiap liga-liga terbaik di sana. Benua biru itu kemudian menjadi pihak yang paling untung; saham tim, tiket penonton, sponsor, pasar merchandise global, hak siaran televisi, dan sebagainya.

Aku kemudian sadar; ternyata logikanya di mana-mana dan di setiap aspek, sama saja. Negara berkembang selalu menjadi penyuplai “bahan baku”, negara majulah yang kemudian mengolahnya dan menjualnya kembali ke pasar global. Konsumer terbesarnya tentu saja negara berkembang itu tadi. Orang-orang di Brazil pasti begitu antusias menonton dan mengikuti perkembangan saudara-saudara dan tetangga-tetangga mereka di televisi; dengan mimpi yang selalu di pegang: beberapa tahun lagi giliranku main di sana!

Selain Brazil, tentu saja konsumen sepak bola terbesar adalah negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar, termasuk Indonesia. Antusiasme orang-orang kita terhadap sepak bola selalu luar biasa, bisa kau lihat dari penuhnya tempat-tempat nobar saat ada pertandingan menarik. Masalahnya, kita hanya memperlakukan sepak bola sebagai hiburan (yang kemudian oleh penyelenggara sepak bola kita diperlakukan sebagai pasar). Sepak bola hanya menjadi budaya populer yang mengalihkan kita dari isu-isu yang lebih penting; misal serangan udara Israel terhadap Palestina itu tadi.

Kita tidak belajar dari nilai-nilai yang ada dalam sebuah pertandingan, termasuk dalam menyikapi pilpres hari ini. Tampaknya agak terlalu optimistik juga untuk berharap perang siber segera berakhir paska pemilu, karena nyatanya perang masih berlanjut bahkan semakin membuncah. Dan entahlah, sebagian dari diriku menantikan akan adanya geger di dunia nyata—tawuran. Itu akan seru; dan kemudian Indonesia bisa belajar: bahwa tidak ada yang menang dalam perang.

Peperangan hanya menyisakan luka dan korban; baik bagi yang merasa menang atau kalah. Aku heran; kenapa kita tidak belajar legowo dari David Luiz, atau dari pernyataan Luiz Felipe Scolari, pelatih timnas Brazil, yang secara gentle mengakui kalau kesalahan ada pada dirinya. Pada pemilu kali ini; entah Jokowi atau Prabowo yang terpilih sebagai RI 1, kemenangan harus tetap menjadi milik rakyat. Pihak yang menang biar berjuang menepati visi misinya, dan yang kalah dengan besar hati mau membantunya untuk memajukan Indonesia; maka sesungguhnya kemenangan adalah milik kita bersama.

Entahlah, bicara memang mudah.

0 comments:

Post a Comment