Persepsi Rahwana akan Cinta

Jun 29, 2014

Prolog: Ramayana dan penokohan Rahwana ini ada beberapa versi, yang ini adalah gabungan dari google dan hasil obrolan saya dengan kakak senior dulu banget.

“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta kepadaku…”

Tulisan sebelumnya membahas tentang bagaimana banyak kisah masa lalu yang benar-benar menetapkan batas tegas antara baik dan buruk, hitam dan putih. Alasannya sederhana: menyebarkan paham bahwa kebaikan akan selalu menang atas keburukan. Sebenarnya, konsep tersebut terlampau sederhana, dan mengandung satu kecacatan: bagaimana kemudian kita menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Baiklah, kita memiliki parameter yang jelas: Qur’an dan Hadist. Baik dan buruk tidak lagi bisa dikatakan relatif, namun yang sesuai dengan dua warisan Nabi SAW tersebut. Hal tersebut akan menghindarkan kita dari sikap humanis buta yang mentoleransi setiap tindakan buruk seseorang hanya karena “kasihan” pada masa lalunya. Bagaimanapun, bukan berarti dalam pribadi yang kita kenal buruk, tidak ada kebaikan yang bisa diambil. Sebaliknya, dalam pribadi yang kita kenal baik, bisa jadi ada keburukan yang tidak bisa kita remehkan begitu saja.

Kita perlu keadilan (bukan fanatisme golongan) untuk bisa melihat keduanya. Dalam tulisan ini, mari kita adili Rama dan Rahwana.

Ada banyak versi mengenai masa lalu Rahwana, namun untuk kepentingan political stance, saya akan memilih versi ini: Rahwana lahir dengan kepribadian setengah brahmana, setengah raksasa. Saat masih muda, Rahwana melakukan tapa memuja Dewa selama bertahun-tahun. Karena terkesan dengan Rahwana, Dewa mengabulkan permohonannya untuk menjadi pribadi yang selalu unggul di antara para Dewa, dan memiliki keahlian menggunakan senjata dewa serta ilmu sihir.

Dengan kesaktiannya itulah, Rahwana kemudian merebut Kerajaan Alengka. Meski berwujud raksasa, Rahwana dipandang sebagai pemimpin yang murah hati. Konon dia kelewat sukses. Alengka berkembang di bawah pemerintahannya sampai tidak ada yang kelaparan di kerajaan tersebut. Namun, apalah artinya menjadi raja tanpa ada permaisuri di sisi singgasananya. Rahwana akhirnya mencoba “bermain-main dengan iman” dengan mencintai Wedawati.

Sayang sekali, Wedawati menolak Sang Raja, bahkan sempat sakit hati dengan perlakuannya. Dan dalam logika pewayangan, dendam seseorang itu bisa dibawa sampai ke kehidupan berikutnya. Seperti yang terjadi pada kisah Dewi Amba dan Bisma, Wedawati nantinya juga bereinkarnasi menjadi wanita yang menyebabkan kematian Rahwana: Sinta.

Kesialan Rahwana berlanjut dalam sayembara memperebutkan Sinta, dia diperlakukan secara tidak fair. Katakanlah, kalau waktu itu publikasi sayembara dilakukan lewat jarkom, Rahwana tidak dijarkom. Tidak ada pula pamflet yang sampai ke Alengka. Alhasil, dalam mendapatkan Sinta, Rama nyaris tanpa saingan yang berarti. Tidak heran bila Rahwana tidak terima.

Padahal, Rahwana sudah mencintai Sinta sejak jaman dia masih menjadi Wedawati. Think about it.
Rama dan Sinta memang saling mencintai, tapi seperti kata seorang teman, “sebelum bendera kuning berkibar”, cinta masih bisa dikejar. Persetan dengan argumen “cinta tak harus memiliki”, Sinta harus direbut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Proses “pengambil-alihan” Sinta bermula dari kecerobohan Rama (dan Lesmana) dalam menjaga Sinta di Hutan Dandaka. Rahwana mengutus salah satu bawahannya untuk berubah menjadi kijang kencana yang bertugas untuk mengalihkan Rama dari Sinta. Misdirection, the basic rule of magic

Rama yang kelamaan berburu kijang membuat Sinta khawatir dan menyuruh Lesmana untuk menyusulnya. Lesmana kemudian membuat lingkaran di tanah, menyuruh Shinta berdiam di situ agar tidak diculik. Come on, berpikirlah yang agak logis sedikit, Lesmana. Hutan Dandaka bukanlah tempat kemah Spongebob yang mana membuat lingkaran di tanah bisa menghindarkanmu dari badak laut. Singkat cerita, Rahwana berhasil memboyong Sinta ke Alengka.

“Jika harus mencinta, aku memilih Rahwana”, kata seorang teman (perempuan) di blognya. Well, Rahwana memang nakal, tidak seperti Rama yang penuh simbol ke-ikhwan-an, tapi dia benar-benar memperlakukan Sinta seperti Tuan Putri. Di Alengka, Sinta ditempatkan di taman yang indah, dan dirayu dengan kata-kata romatis setiap hari. Tujuan Rahwana sederhana: ingin melihat Sinta tersenyum.

Rahwana melakukan yang terbaik untuk menyenangkan Sinta yang mendadak menjadi Ice Queen itu. Puncak keromantisan Rahwana adalah ketika dia berjanji tak akan menyentuh Shinta sebelum ia berhasil menyentuh hatinya terlebih dahulu—a true gentleman. Dia bahkan, menurut kakak senior, setiap hari menyanyi dan menari untuk menghibur Sinta. Bayangkan, dia menyanyi dan menari untuk merebut hati Sinta, setiap hari.

“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu…”

Beri sedikit waktu. Kakak senior menjeda lirik lagu itu dengan intonasi naik sedikit, sambil mengacungkan satu jari. Beri sedikit waktu untuk Rahwana, Shinta, he will make you love him. Perlu diketahui, semenjak diculik Rahwana, Sinta selalu menangis. Pada awalnya dia memang menangisi perpisahannya dengan Rama, namun semakin lama dia menunggu Rama yang tak kunjung datang, alasannya untuk menangis berubah. Dia menangis untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.

Bahwa Sinta mulai jatuh cinta dengan Rahwana. Awwww

Well, wanita itu memang bukan tentang yang terucapkan, wanita selalu tentang apa yang tak terucapkan.

Malam itu, kakak senior memang menceritakan cinta segitiga Rama, Rahwana, dan Shinta dari sudut pandang Rahwana. Dalam sudut pandang ini, Rama benar-benar terkesan seperti seorang pria brengsek yang tidak bertanggung jawab. Pertama, Rama tidak kunjung maju sendiri ke Alengka dengan pasukannya. Alih-alih, dia meminta tolong pada kawanan kera. Kedua, setelah berhasil mendapatkan Sinta, Rama malah mempertanyakan kesucian Sinta. Dia tega menyuruh Sinta menceburkan diri ke dalam api. Dalam beberapa sumber lain malah ending-nya Sinta diusir dalam keadaan hamil.

Seriously, Rama, jadi apa tujuanmu selama ini menghimpun kekuatan untuk merebut Sinta?

Diskusi kami malam itu berakhir dengan simpulan seperti ini: bila kamu tidak tampan, setidaknya kamu harus bisa menyanyi dan menari. Dengan kata lain, milikilah kemampuan untuk mengkonversi bad mood menjadi good mood. []

1 comment: