Tentang Jatuh Cinta

May 14, 2014

Bagi sebagian individu,seperti Bruce Wayne, jatuh cinta adalah kelemahan. Jatuh cinta adalah kondisi yang sangat berbahaya karena itu berarti dia membahayakan orang yang dia cintai. Jatuh cinta bagi Bruce Wayne adalah semacam kryptonite bagi Superman—melemahkan dan mengganggu fokus. Dalam konteks yang hampir sama, Yusuf Zabda membuat sebuah kutipan yang luar biasa: “Lindungilah orang yang kamu cintai dari bahaya dirimu sendiri”.

Saya ingat tulisan Esty Diah Imaniar yang berjudul “Bermain-main dengan Iman”. Satu tahun lebih berlalu dan saya masih terkesima dengan konsep permainannya. Aturan mainnya seperti ini: (1) cukup percayai sebuah konsep, (2) lalu mulailah pencarian kebenaran konsep itu secara logis, dan (3) kembali percaya pada konsep awal dengan pendekatan yang bertambah.

Permainan ini sekilas tampak sangat berbahaya, karena pada langkah pertama kita bisa mengajukan argumen paling mendasar (dan fix) sekalipun, seperti: “Tuhan itu ada”. Namun, asal tidak berhenti pada langkah kedua, dengan kata lain tidak berhenti pada pertanyaan, “Kalau memang Tuhan ada, bagaimana bentuknya?” atau “Di mana Dia berada?”, permainan ini aman. Karena ketika sudah lelah memikirkan jawaban “logis”-nya (dan pasti akan melelahkan), kita bisa menyerah dan kembali lagi pada konsep awal: Tuhan memang ada. Simpel.

Kemudian timbul pertanyaan, kalau memang hasil akhirnya hanya seperti itu, mengapa susah-susah mengusik iman kita sendiri? (sementara, tidak semua orang dianugerahi nikmat iman). Alasannya ada di langkah ketiga: untuk mendapatkan “pendekatan yang bertambah”.

Misalnya lagi, kita mempercayai konsep “Tuhan Mahakuasa”. Kemudian kita ajukan sebuah pertanyaan untuk “mempertanyakan” kemahakuasaan-Nya, seperti: “Bisakah Tuhan menciptakan batu yang begitu besar, sehingga saking besarnya Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?”.

Kita bisa katakan “ya, bisa”, karena Tuhan memang Mahapencipta. Namun jika kita menjawab seperti itu, kita juga mengatakan bahwa Tuhan tidak mampu mengangkat batu yang Dia ciptakan. Itu akan kontradiktif dengan konsep “Tuhan Mahakuasa” (ingat, konsep awal harus tetap kita pegang). Kemudian kita mencoba jawaban yang lain: “kalau begitu, tidak bisa”, yang kemudian hanya akan mengarah pada kesalahan mendasar yang lain; karena Tuhan Mahapencipta, apapun bisa Dia ciptakan.

So, how’s that? :D

Proses pengerjaan skripsi dalam Kajian Budaya mengajarkan saya satu hal: bahwa dalam menyimpulkan suatu permasalahan, kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang. Istilah akademisnya: interdisciplinary, melibatkan banyak disiplin ilmu. Ditambah lagi, orang yang suka diskusi tentu setuju bahwa dengan membentur-benturkan pendapat, akan tercipta kebenaran yang nilainya lebih tinggi. Nah, untuk melanjutkan “meng-kepo” Tuhan, kita juga perlu cara seperti itu: melibatkan pendekatan lain.

Kita paham bahwa Tuhan itu berbeda dengan makhuknya, mukhalafatu lil hawaditsi. Manusia, hewan, tumbuhan, matahari, dan sebagainya adalah makhluk-Nya yang bersifat materi, sementara Tuhan sendiri bersifat non-materi (istilah agamanya: ghaib). Karena sifat keduanya yang berlawanan, benda materi tidak bisa berinteraksi dengan yang non-materi—kita tidak bisa melihat malaikat, bukan? Dan karena indera manusia hanya bisa merespon benda-benda materi, otomatis citraan yang ada di pikiran kita juga terbatas pada benda-benda materi.

Thus, bila kembali ke pertanyaan “Bisakah Tuhan menciptakan batu yang begitu besar, sehingga saking besarnya Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?”, kita bisa mengurai beberapa hal; (1) batu adalah benda materi, secara logika tidak mungkin berinteraksi langsung dengan Tuhan, (2) dalam membayangkan ukuran “besar” di sini, pikiran kita masih terikat ruang dan waktu, sementara Tuhan tidak terikat ruang dan waktu, (3) Tuhan berbeda dengan makhluknya, tentu cara-Nya “mengangkat” tidak sama dengan bagaimana kita mengangkat batu.

Kesimpulannya: Tuhan masih unimaginable, namun setidaknya kita sedikit lebih mengenal bagaimana ke-unimaginable-an-Nya. Tujuan dari permainan tadi telah tercapai. Hal ini menjadi penting bila kita setuju dengan argumen “tak kenal, maka tak cinta”.

Dan kembali bicara soal (ehem) cinta, Plato mengatakan bahwa “love is a serious mental disease”, cinta adalah penyakit kejiwaan yang serius. Dalam hal ini, tentu saja, Plato berbicara tentang cinta dengan sesama manusia. Konon bila kita sampai bisa mengalami “penyakit kejiwaan” karena ulah sesama manusia, berarti ada sesuatu yang salah dengan iman kita. Maka dari itu, saya sampai kepada kesimpulan bahwa mencintai seseorang bisa jadi merupakan “Bermain-main dengan Iman” level dua.[]

-632 kata (tanpa judul)-
---------------------------------------------------------

nb: Endingnya menggantung, ya? Tulisan ini masih ada lanjutannya. Karena jumlah katanya terlalu banyak, saya memutuskan untuk memisahnya. 

0 comments:

Post a Comment