Emansipasi Sebelum Kartini

Apr 24, 2014

Prolog: Untuk menghindari bias, tulisan ini bukan membahas pro dan kontra tentang sejarah Kartini. Terkait dengan wacana yang menyebutkan kalau Kartini adalah kader Yahudi atau Freemason dan sebagainya dan sebagainya, saya benar-benar tidak peduli. Lama-lama tidak baik juga untuk kejiwaan bila setiap fenomena harus dicocok-cocokkan dengan ordo sempalan pasukan Perang Salib itu. Dan saya juga tidak se-“kanan” itu hingga mau mengkritik visualisasi Kartini yang tidak berjilbab. Saya ingin menghubungkan Kartini dengan hal yang lain. Jadi, mari kita mulai.
--------------------------------------------------------------

“Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya.”

Itu adalah kutipan surat dari Kartini yang ditujukan kepada Stella pada tahun 1899, dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dengan membayangkan konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat Jawa pada waktu itu, rasanya tanpa perlu menggunakan semiotiknya Roland Barthes-pun, kita bisa menebak bahwa makna konotasi dari kata “tembok tinggi” adalah: kungkungan adat.

Kartini menggunakan kata “tembok tinggi” untuk menggambarkan batas imajiner yang pada waktu itu begitu jelas memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Celakanya, garis batas itu bukanlah batasan horizontal ala hijab ikhwan-akhwat sekarang, melainkan segregasi vertikal yang memposisikan kaum adam di atas kaum hawa. Keadaan perempuan pada era Kartini kurang lebih seperti ini: tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.


Dalam kondisi semacam itu, kita bisa melihat bahwa wanita pada masa itu hanya sebagai “obyek”, barang yang tidak punya kesempatan untuk bersuara. Wanita adalah jenis kelamin “kelas dua” yang ruang edarnya hanya sebatas dapur, sumur, dan kasur. Sebuah sistem patriarki yang kelewat ideal bagi kaum laki-laki, dan sepertinya kaum wanita waktu itu juga oke-oke aja. Sampai kemudian muncul Kartini, wanita yang (kalau boleh lebay) kecerdasannya melampaui jamannya. Benarlah kata orang bijak, wanita yang suka membaca adalah makhluk yang berbahaya.

Kartini itu berasal dari keluarga priyayi, dan karena itu pula dia dapat akses ke pendidikan—walaupun cuma beberapa tahun. Setelah itu, dia juga dipingit seperti teman-temannya. Bagaimanapun Kartini sudah "terlanjur" cerdas dulu, dia banyak membaca dan menulis (surat). Dan meski sempat galau (pada titik inilah kelihatannya sejarahnya “tahu-tahu” terhubung ke Freemason), Kartini lalu jadi pejuang pemikiran Islam yang mengkritisi penerapan Islam (?) waktu itu yang dogmatis dan lebih mengutamakan kepentingan (ehem) ikhwan.

Kamu tahu salah satu kutipan surat Kartini ke Stella yang lain? Dia bilang, "...di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya..."

Sebenarnya agak janggal juga bila menghubungkan Islam dengan cara pandang masyarakat terhadap wanita pada waktu itu, seperti ada potongan puzzle yang tidak pas dengan wadahnya. Islam sangat menghormati wanita dan menaruhnya pada posisi tinggi. Salah satu surat dalam Kitab Suci-pun dinamakan An-Nisa, yang berarti wanita. Intinya, sebenarnya jauh sebelum Kartini lahir, sudah ada satu orang yang memperjuangkan apa yang sekarang kita sebut dengan “emansipasi”.

Uniknya, dia adalah seorang laki-laki, dan sejak kecil sudah ditinggal Ibunya. Laki-laki ini datang di masa dimana orang-orang mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Itu adalah sebuah aturan yang sebelas-dua belas dengan Fir’aun yang waktu itu sudah sampai ke tingkat “rutinitas”. Hanya individu-individu pendobrak sistem seperti Umar RA yang “males” melakukannya (Hafsah binti Umar RA menjadi istri Nabi SAW). Laki-laki yang membombardir adat jahil ini, tentu saja, adalah Muhammad SAW.

Muhammad SAW telah mengangkat derajat kaum Ibu dengan mengatakan bahwa surga berada di bawah telapak mereka. Ketika ditanya tentang siapa yang harus lebih dihormati antara Ibu dan Ayah, beliau menjawab: “Ibumu, Ibumu, Ibumu, baru kemudian Ayahmu”. Ketika seseorang melihat istrinya sebagai “istri yang tidak bisa dikasih tahu”, Rasulullah SAW tetap melihatnya sebagai “teman tidur dan Ibu dari anak-anak”. Hanya orang yang males baca sejarah saja yang menjustifikasi Islam sebagai agama yang “menekan” wanita.

Maka dari itu, bila kembali ke pembahasan awal, aman rasanya untuk berasumsi bahwa pesan “emansipasi” Muhammad SAW belum benar-benar sampai ke Jawa. Untungnya, ada individu cerdas seperti Kartini yang bisa mendidik masyarakat dengan pesan itu. Bila benar bahwa "habis gelap terbitlah terang" itu dikutip dari “minazh-zhulumaati ilan nuur” (2:257), saya membayangkan kalau Kartini memang rajin mengkaji Qur’an. Jadi, warisan Kartini itu bukan kebaya, tapi pemikiran kritis dan karakternya yg cerdas.

Apabila setiap tanggal 21 April, daripada mewajibkan wanita untuk memakai setelan kebaya, wanita diwajibkan untuk menuliskan satu gagasan, saya kira akan lebih “berasa” Kartini-nya. Kenapa harus Kartini? Kenapa tidak Cut Nyak Dien atau Cut Nyak Ditiro? Karena Kartini menulis, dia mewariskan ideologi. Dan tulisan seseorang akan tetap hidup meskipun penulisnya sudah lama mati. Hukumnya seperti itu, tidak bisa didebat lagi.

Hayoo, siapa yang merasa wanita tapi tanggal 21 kemarin nggak nulis? Ahaha. Anyway, selamat hari Kartini buat wanita Indonesia yang suka baca dan nulis. []

-710 kata (tanpa judul dan prolog)-

0 comments:

Post a Comment