Plato yang Malang

May 15, 2014

Prolog: tulisan ini obyektif, ambillah yang menurut Qur’an dan hadist benar.
---------------------------------------

Ketika Plato membuat kutipan “cinta adalah penyakit kejiwaan yang serius”, dia mungkin sedang jatuh cinta.

Seseorang bisa membuat definisi atas suatu hal dengan kata-katanya sendiri ketika dia benar-benar mengalami atau memahami hal tersebut. Seorang pediatrician mungkin bisa mendiagnosis jenis penyakit dengan melihat gejala pada anak yang sakit, namun anak itu tetap ditanya dengan pertanyaan seputar apa yang dia rasakan, bagian mana yang paling sakit, dan sebagainya. Sang anak mendefinisikan penyakitnya sendiri.

Saya kemudian membayangkan, setiap filsuf atau penyair yang membuat puisi tentang cinta, dia pasti sedang jatuh cinta. Sapardi Joko Damono menggambarkan cinta yang sederhana dengan analogi “kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”. Meskipun saya gagal paham di mana letak kesederhanaan perlakuan api kepada kayu, saya cukup paham ketika Gibran menganjurkan untuk menyambut cinta yang menyapa meskipun “pedang di sela-sela sayapnya melukaimu”.

“Iman bukanlah sesuatu untuk dipermainkan..” komen salah satu teman pada tulisan kemarin. Well, terlepas dari apakah Dia mengijinkan kita untuk memainkan iman atau tidak, namun rasanya kadang kita memang “dipaksa” untuk melakukannya. (kalau tidak begitu, di mana lagi Tuhan mengaplikasikan kapasitas-Nya untuk membolak-balikkan hati?).

Karena iman tersusun dari enam aspek, bermain-main dengan iman (kepercayaan) tidak melulu terjadi pada hal besar seperti keyakinan atau eksistensi Tuhan, namun juga bisa dilakukan pada kepercayaan kita pada rekomendasi (sunnah) dan ramalan (bisyarah) Muhammad SAW. Ini seperti “lakukan riset tentang kondisi lambung saat tidur maka kau akan semakin percaya dengan cara beliau tidur miring ke kanan”, dan sebagainya. Saya yakin, semua rekomendasi beliau SAW itu pantas untuk diriset secara ilmiah. Bukan untuk meragukan, tapi seperti kata Esty Dyah Imaniar, agar kita “lebih sayang” pada beliau SAW.

Supaya lebih paham apa yang saya maksud, cobalah untuk melakukan ini: di siang hari yang panas, ketika perut sangat lapar, pergilah ke warung makan yang mana kita bisa mengambil sendiri nasi dan sayurnya. Di situasi itu, kau akan “dipaksa” bermain dengan rasa percayamu pada Muhammad SAW yang telah merekomendasikan untuk “berhenti makan sebelum kenyang”.

Kita sebenarnya bisa “cari aman” dengan memilih tempat makan yang nasinya diambilkan oleh penjual, namun bila kita memilih untuk memainkan cara di atas, dan berhasil menahan diri untuk mengambil makanan secukupnya, Tuhan barangkali tersenyum. (Ini susah, saya sendiri kalau udah keburu laper biasanya ngambilnya kalap)

Kemarin saya mengatakan bahwa mencintai seseorang termasuk jenis lain dari “bermain-main dengan iman”, katakanlah saya tengah “dipaksa” untuk memainkannya. Saya sedang (ehem) menyukai seseorang. Dia sendiri pernah mengatakan pada saya bahwa menyukai seseorang bisa menjadi beban. Saya sempat tidak percaya, sampai kemudian saya mendapati bahwa memikirkannya membuat saya kehilangan fokus dalam banyak hal. Saya sadar ini sangat berbahaya karena “banyak hal” tadi termasuk sholat.

Dan aduh! Saya membayangkan bila Plato harus terus berfilsafat dengan kondisi hati yang hancur karena “penyakit kejiwaan” yang mengjangkitinya. Atau Gibran yang harus terus bersyair dengan kondisi jiwa yang “tertusuk pedang yang tersembunyi pada sayap-sayap cinta”.

Selain tidak fokus, niat saya untuk melakukan kebaikan membelok sekian derajat dengan keberadaan orang itu di sekitar saya. Meski Esty menganjurkan untuk tidak mengeja keikhlasan, dan bahkan bukan ranah saya untuk menilai pahala kebaikan saya sendiri, saya merasa sedikit banyak amalan saya telah rusak. It is because we have someone to impress. Kalau sudah seperti ini, benar-benar seperti kata Dirly: cinta ini membodohkan aku.

See? Permainan iman yang satu ini termasuk jenis yang berbahaya. Padahal jatuh cinta itu sudah menjadi fitrah, manusiawi. Tidak bisa mengatasi perasaan cinta dengan baik, bisa jadi lebih buruk akibatnya daripada menganalisis eksistensi Tuhan—boleh percaya boleh tidak. Bagaimanapun, sebagaimana permainan iman yang lain, mencintai orang lain akan membawa kebaikan bila kita bisa meng-handle-nya dengan baik. Saya yakin.

Pernah dengar argumen “mencintai orang lain akan membuat kita lebih mencintai diri sendiri?” Intinya, kita akan terus memperbaiki diri agar pantas menyanding orang yang kita cintai. Kita menjadi lebih serius merencanakan dan berikhtiar untuk masa depan. Kita bisa belajar menempatkan alokasi cinta dengan lebih proposional. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Perlu diketahui, ini saya juga belum bisa mengatasi “masalah hati” ini dengan baik. Saya menuliskannya untuk pengingatan, sindiran, dan nasihat.

Sahabat saya waktu SMA pernah menyatakan bahwa orang cerdas dapat mengendalikan perasaannya. Di luar fakta bahwa ada tangan tak terlihat yang bisa membolak-balikkan perasaan, atau menjadikan sholat dan sabar sebagai penolong, mencerdaskan diri nyaris menjadi satu-satunya cara untuk mengambil alih kendali penuh atas hati.

Dan kemudian saya memutuskan untuk lebih sering membaca buku dan artikel di situs-situs keren semacam Indoprogress.[]

-718 kata (tanpa judul+prolog)-
--------------------------------------------------------

nb: Ahaha epic! Maaf bila terkesan curhat, rasanya saya memang harus mengaku sekalian, agar konteks “curhatan-curhatan” berikutnya bisa lebih dipahami. Tidak apa-apalah sekali-kali image rusak, “menjadi lilin yang terbakar habis untuk menerangi sekitarnya”.

0 comments:

Post a Comment