Prolog

Apr 23, 2014

Menulis adalah salah satu cara kita membayar “hutang” ke masyarakat.

Hutang? Iya, hutang kepada masyarakat. Jika kita kuliah di universitas negeri, biaya tiap semester bisa murah karena telah disubsidi dengan uang pajak. Pada tahun 2012, Hatta Rajasa mengatakan bahwa baru 7,2 persen anak-anak Indonesia yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi—kita benar-benar kelas elit dalam masyarakat! Artinya, kita sebenarnya sebelas-dua belas dengan elit politik yang “makan” dari uang rakyat.

Definisi “elit” sendiri bagi setiap orang bisa beda; bisa jadi seseorang mendefinisikannya sebagai posisi yang penting dalam masyarakat. Mereka “sadar posisi” bahwa mereka lebih cerdas dan memiliki akses yang lebih daripada kelompok lain. Dan pada dasarnya, kekuatan besar datang bersama tanggung jawab yang besar. Thus, mereka akan berusaha melakukan yang terbaik untuk kemajuan masyarakat di sekitarnya (intinya: pengabdian).

Sementara sebagian orang mendefinisikan “elit” sebagai sekadar orang yang memiliki posisi di atas masyarakat yang lain. Dengan begitu, tidak salah bagi mereka untuk hobi melakukan hal-hal yang “seharusnya” dilakukan kaum elit: bersenang-senang, belanja, dan makan apa yang ingin mereka makan.

Kata kunci yang membedakan dua definisi di atas adalah: kesadaran, consciousness.

Kesadaran sebagai mahasiswa ini bisa diaplikasikan dengan beberapa hal; ikut komunitas, LDK, UKM, BEM dan sebagainya. Namun perlu diketahui, “kesadaran” itu tidak muncul begitu saja dengan mengikuti organisasi kampus.

Ada banyak alasan bagi mahasiswa untuk ikut organisasi; ada yang ingin cari teman, cari pengalaman, atau hanya karena organisatoris dianggap sebagai “spesies” yang lebih maju dalam dunia kecil yang disebut kampus.

Dengan kata lain, orang yang ikut organisasi belum tentu lebih baik (lebih “sadar”) daripada orang yang (dalam penglihatan kita) apatis. Dalam banyak kasus (termasuk saya sendiri, jangan-jangan), ada individu-individu yang sejak dari awal kuliah sudah begitu sibuk aktif di banyak organisasi, namun pada akhirnya mengalami antiklimaks dan menghadapi pertanyaan semacam: “untuk apa semua ini?” atau “apa yang sebenarnya aku cari?”.

Dalam sosiologi, status akan menghasilkan peran. Sadar status, sadar peran. Maka, kembali ke masalah awal, kesadaran bisa dibentuk dengan merenungi hal ini: saya adalah mahasiswa (muslim), saya memiliki hutang kepada masyarakat, saya perlu memastikan bahwa yang tengah saya lakukan ini bisa sedikit banyak membayar hutang tersebut, bukan hanya kesibukan semu ala sebagian organisatoris.

Dengan begitu, kita tidak akan terjebak dalam rutinitas proker, dan menjadi semacam “organisatoris fleksibel dengan pemikiran independen” atau apalah istilahnya. Kita tidak lagi fokus pada dikotomi “organisatoris vs apatis”, namun “mahasiswa sadar vs tidak sadar”.

Nah, ide tentang “kesadaran” itulah yang kemudian saya pasang pada argumen awal: menulis adalah salah satu cara kita membayar hutang. Menulis adalah kegiatan yang begitu cair; kau bisa menjadi Mendagri BEM sekaligus hobi menulis. Kau bisa menjadi mahasiswa “apatis” sekaligus hobi menulis.

Beberapa hari yang lalu, Muthia Sayekti, dalam tulisan di blognya, terlihat mematikan sendiri rasa percaya dirinya dalam menulis apa yang disebutnya sebagai “picisan”, setelah membandingkannya dengan jenis artikel yang lain.

Dude, who cares about the genre of your writings as long as you have such “consciousness”?

Bukankah sebuah restoran tidak mungkin menyajikan hanya satu jenis makanan? Setiap orang memiliki makanan favorit masing-masing, dan setiap koki memiliki resep andalan masing-masing. Kalau tulisan adalah menu makanan, kau bisa menciptakan racikan resep sesukamu, asalkan tetap menambahkan satu bumbu bernama “kesadaran”.

Kalau yang dimaksud dengan “picisan” adalah kisah cinta mendayu-dayu, penulis sekelas F. Scott Fitzgerald juga menggunakan kisah cinta antara Jay Gatsby dengan Daisy Buchanan untuk mengkritik sistem kapitalisme di Amerika Serikat dan runtuhnya moral masyarakat pada waktu itu.

Walaupun, untuk membuat karya sekelas The Great Gatsby, Fitzgerald tentu memiliki kebiasaan baca yang luar biasa (mengarah ke: mengerikan), terutama buku-buku Marx. Saya kemudian beranalogi, menulis dan membaca adalah seperti sayap kiri dan sayap kanan pada seekor burung. Dan burung tidak dapat terbang dengan hanya mengepakkan satu sayapnya.

Saya berasumsi, masyarakat Amerika yang waktu itu memuja ide kapitalismenya Adam Smith, mungkin merasa jijik menyentuh buku-buku Marxist. Fitzgerald, yang sadar akan efek buruk sistem ini, menggunakan pendekatan “kiri” Marx untuk membuat novel. Novel itulah yang kemudian menyebarkan ide-ide Marx ke masyarakat.

Berpikir tentang Fitzgerald membuat saya semakin setuju dengan argumen ini: bahwa penulis memiliki kemampuan untuk menjembatani dunia-dunia ide dengan dunia nyata. Penulis memahami apa keinginan para pakar, dan menerjemahkannya ke bahasa orang awam. Penulis menyerap keinginan rakyat jelata, dan menyampaikan kepada penguasa—termasuk penulis (ehem) skripsi.

Bila sahabat sekaliber Ali bin Abi Thalib RA menegaskan bahwa ilmu itu lebih mulia daripada harta, adakah cara membayar “hutang” yang lebih indah dari membagikan ilmu? 

Karena dengan menulis, menurut saya, kita menghormati status diri sebagai "kaum terpelajar".[]

0 comments:

Post a Comment