Para orang tua tengah beristirahat sambil memakan makanan yang disediakan oleh panitia. Tidak lama kemudian, undian doorprize gerak jalan dimulai, setiap orang tampak memegangi kupon masing-masing. Beberapa nomor undian yang terambil satu per satu dibacakan. Bapak-bapak atau ibu-ibu yang beruntung secara bergantian maju ke depan untuk menerima hadiah. Sementara itu, beberapa anak mulai mengerubungi panitia lomba untuk mendaftarkan diri. Sambil memegang microphone dan membacakan nomor undian terpilih berikutnya, saya memperhatikan anak-anak itu begitu antusias.
Begitulah kira-kira gambaran suasana pelataran gedung IPHI di kampung saya, pagi hari tanggal 18 Agustus kemarin. Ada detail-detail lain yang tidak bisa diverbalkan, namun intinya acaranya cukup sukses. Acara dapat selesai sampai akhir dengan hambatan minor itu sudah sukses.
Beberapa waktu kemudian, saya menyaksikan tiga anak laki-laki berlari bolak-balik dari ember yang berisi belut listrik ke lokasi botol softdrink. Mereka berjuang untuk memperoleh satu tiket final terakhir. Untuk babak penyisihan, cukup tiga ekor belut yang harus dimasukkan ke botol.
Belut memiliki tubuh yang licin dan sulit dipegang, sehingga terus menjadi tumbal setiap tahunnya, tidak pernah diganti anak ayam warna-warni. Ditambah lagi, kecilnya lubang botol membuat permainan ini lebih sulit dari kelihatannya.
Tapi namanya anak-anak, disuruh memasukkan belut ke dalam sedotan pun mungkin juga dilakukan. Tujuan diplomatis dari lomba 17-an ini memang untuk mengenang perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan dulu. Melihat semangat kompetitif dari anak-anak tadi, saya rasa semangat para pahlawan cukup terwakilkan. Merdeka atau mati. Menang atau belutnya mati.
Belutnya jangan disiksa! ucap saya sok bijak lewat microphone, setelah melihat bagaimana belutnya terbanting, terinjak, atau terpencet kepalanya. Saya tidak mengaca diri bagaimana saya memperlakukan belut ketika dulu pernah ikut lomba serupa. Tubuh belut memang licin, maka solusi kejamnya adalah: memencet bagian bawah kepalanya dengan jari atau kuku. Di samping itu, sebelum bertanding, telapak tangan suka dilumurin dengan pasir kasar, biar kasar. Mirip dengan ritual yang dilakukan pemain sumo. Padahal, pasir itu toh paling juga hilang ketika tangan mulai masuk ke dalam air.
Tapi tidak masalah, hukum alam kalah dengan logika anak-anak.
Selain memperoleh hiburan dari penderitaan anak-anak yang tertatih-tatih berlomba, kita juga dapat mengambil pelajaran lain. Memasukkan belut ke dalam botol merupakan permainan yang mengajarkan kita tentang usaha meraih tujuan. Anak-anak memulai start dari lokasi botol, tepat di depan botol masing-masing, sembari memfokuskan pandangan ke ember tempat belut-belut disekap. Dengan kata lain, ketika kita tengah mengejar mimpi, kita bisa memulai dari tujuan akhir. Botol kosong merepresentasikan mimpi-mimpi dan target yang ingin dicapai, dan kita memulainya dari situ sebelum mulai melangkah memperjuangkannya.
Tujuan anak-anak malang itu adalah: mengisi botol dengan tiga ekor belut yang lebih malang lagi. Mengetahui hal tersebut, mereka tentu tahu bagaimana mereka mengatur kecepatan berlari, strategi, dan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permainan tersebut secepat mungkin. Begitu juga dengan tujuan hidup kita, semakin besar target kita, kualitas diri kita juga perlu ditingkatkan. Sebesar apapun rintangan yang dihadapi, selicin apapun, kita akan berusaha secerdas mungkin untuk dapat memenangkan mimpi itu.
Hari ini belajar, besok mengajarkan.
@cahyoichi_
iya, belut emang susah ditangkep. ada trik tersendiri juga buat nangkepnya hehe
ReplyDelete