Saya baru bangun dari tidur siang, dan seperti kebanyakan
anak muda pada generasi saya, hal pertama yang saya raih adalah hape.
Ada beberapa sms masuk, dan saya segera membalasnya. Namun
apa yang akan saya tulis pada catatan kali ini bukan tentang sms yang masuk
tersebut, melainkan sms yang saya kirimkan kepada seorang teman setelahnya --
seseorang yang belakangan suka memberikan pertanyaan “aneh” kepada saya lewat
sms. Kali ini, giliran saya bertanya.
Pesan yang saya kirimkan cukup panjang, hingga butuh dua
sms. Pesan tersebut merupakan sebuah pertanyaan pilihan, isinya kurang lebih
seperti ini:
“Umpamanya kamu cowok. Kamu mau ke mesjid untuk sholat
Jum’at. Karena suatu alasan, kamu udah mau telat. Ternyata di jalan kamu
melihat ada kecelakaan. Kamu tetap nglanjutin jalan ke mesjid dan sampai “tepat
waktu”, atau skip jum’atan hari itu untuk menolong korban kecelakaan itu?”
Bagaimana? Saya rasa pertanyaan ini cukup filosofis untuk
orang yang suka memikirkan kembali esensi agama seperti dia – dan mungkin juga
saya.
Beberapa saat kemudian, teman saya membalas sms saya. Dia
menjawab:
“Kalau itu tabrak lari, parah, dan cuma ada aku di jalan
itu, aku skip jum’atan buat nolong
dia, kalau kamu?”
Saya tidak menjawab pertanyaan balik tersebut, tujuan saya
dari awal memang hanya bertanya, tanpa mengungkapkan pendapat pribadi. Sejenak
saya memikirkan jawaban tersebut, dan mendapati bahwa jawaban itu terlalu
ideal… kalau saya yang ada di situasi tersebut. Baiklah, kalau saya boleh menjawab,
saya akan katakan jawaban aman: saya tidak yakin.
Pasalnya, ada satu sifat yang masih belum bisa lepas dari
pribadi sebagian kaum muslim, yaitu ingin
masuk surga sendiri.
Kalau kita tetap melanjutkan perjalanan ke masjid untuk
sholat Jum’at, berarti kita egois – ingin masuk surga sendiri. Katanya berislam adalah masalah output, bagaimana kita mengaplikasikan Islam
kita untuk memberi manfaat kepada banyak
orang.
Beliau SAW bersabda, sebaik-baik manusia diantaramu adalah
yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Lalu bagaimana saya bisa tidak yakin? Karena sebagian dari
diri saya masih mempunyai sifat ingin masuk surga sendiri. Salah satu contoh,
saya hampir selalu pergi ke masjid atau pengajian sendirian, tanpa mengajak
adik saya yang saya tahu tidak ada kerjaan di rumah. Mungkin pernah satu dua
kali saya mengajaknya untuk datang ke pengajian, namun reaksi penolakan membuat
saya melepaskannya begitu saja.
Ada sebuah kisah tentang seseorang muslim yang rajin ke
masjid. Setiap kali ke masjid, dia selalu memakai pakaian yang bagus, dan
selalu bisa sholat di shaf yang paling depan. Dia sangat ramah dan suka memberi
salam kepada orang lain. Sayangnya, dia juga yang suka memarkir mobilnya
sembarangan di jalan dekat masjid, sehingga menyulitkan yang lain untuk lewat.
-__-
Hal tersebut menggambarkan bagaimana seorang muslim yang
benar-benar ingin menyenangkan Rabbnya, namun mengesampingkan situasi yang
terjadi pada masyarakat di sekitarnya.
Kembali ke permasalahan di awal. Ketika saya dihadapkan pada
situasi seperti itu, mungkin terbersit keinginan yang kuat untuk membantu orang
yang kecelakaan itu. Namun dalam kondisi waktu yang mepet, saya tidak yakin bisa
mengubah keinginan itu menjadi tindakan. Lagipula pada siang hari jalanan pasti
ramai, dan orang kita sangat hobi mengerumuni orang yang kecelakaan. Maka,
biarkan saya mengejar presensi sholat Jum’at dulu saja, ha-ha.
Walaupun, nantinya saya akan menyesali keputusan saya yang
sudah melanggar nilai-nilai ideal – yang biasa saya banyak-cakapkan.
Memang ribet kalau menjadi seseorang yang idealis, namun
labil di saat yang sama.
0 comments:
Post a Comment