Benarkah?

Jul 18, 2013

Saya baru bangun dari tidur siang, dan seperti kebanyakan anak muda pada generasi saya, hal pertama yang saya raih adalah hape.

Ada beberapa sms masuk, dan saya segera membalasnya. Namun apa yang akan saya tulis pada catatan kali ini bukan tentang sms yang masuk tersebut, melainkan sms yang saya kirimkan kepada seorang teman setelahnya -- seseorang yang belakangan suka memberikan pertanyaan “aneh” kepada saya lewat sms. Kali ini, giliran saya bertanya.

Pesan yang saya kirimkan cukup panjang, hingga butuh dua sms. Pesan tersebut merupakan sebuah pertanyaan pilihan, isinya kurang lebih seperti ini:

“Umpamanya kamu cowok. Kamu mau ke mesjid untuk sholat Jum’at. Karena suatu alasan, kamu udah mau telat. Ternyata di jalan kamu melihat ada kecelakaan. Kamu tetap nglanjutin jalan ke mesjid dan sampai “tepat waktu”, atau skip jum’atan hari itu untuk menolong korban kecelakaan itu?”

Bagaimana? Saya rasa pertanyaan ini cukup filosofis untuk orang yang suka memikirkan kembali esensi agama seperti dia – dan mungkin juga saya.

Beberapa saat kemudian, teman saya membalas sms saya. Dia menjawab:

“Kalau itu tabrak lari, parah, dan cuma ada aku di jalan itu, aku skip jum’atan buat nolong dia, kalau kamu?”

Saya tidak menjawab pertanyaan balik tersebut, tujuan saya dari awal memang hanya bertanya, tanpa mengungkapkan pendapat pribadi. Sejenak saya memikirkan jawaban tersebut, dan mendapati bahwa jawaban itu terlalu ideal… kalau saya yang ada di situasi tersebut. Baiklah, kalau saya boleh menjawab, saya akan katakan jawaban aman: saya tidak yakin.

Pasalnya, ada satu sifat yang masih belum bisa lepas dari pribadi sebagian kaum muslim, yaitu ingin masuk surga sendiri.

Kalau kita tetap melanjutkan perjalanan ke masjid untuk sholat Jum’at, berarti kita egois – ingin masuk surga sendiri. Katanya berislam adalah masalah output, bagaimana kita mengaplikasikan Islam kita untuk memberi manfaat kepada  banyak orang.

Beliau SAW bersabda, sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

Lalu bagaimana saya bisa tidak yakin? Karena sebagian dari diri saya masih mempunyai sifat ingin masuk surga sendiri. Salah satu contoh, saya hampir selalu pergi ke masjid atau pengajian sendirian, tanpa mengajak adik saya yang saya tahu tidak ada kerjaan di rumah. Mungkin pernah satu dua kali saya mengajaknya untuk datang ke pengajian, namun reaksi penolakan membuat saya melepaskannya begitu saja. 

Ada sebuah kisah tentang seseorang muslim yang rajin ke masjid. Setiap kali ke masjid, dia selalu memakai pakaian yang bagus, dan selalu bisa sholat di shaf yang paling depan. Dia sangat ramah dan suka memberi salam kepada orang lain. Sayangnya, dia juga yang suka memarkir mobilnya sembarangan di jalan dekat masjid, sehingga menyulitkan yang lain untuk lewat. -__-

Hal tersebut menggambarkan bagaimana seorang muslim yang benar-benar ingin menyenangkan Rabbnya, namun mengesampingkan situasi yang terjadi pada masyarakat di sekitarnya.

Kembali ke permasalahan di awal. Ketika saya dihadapkan pada situasi seperti itu, mungkin terbersit keinginan yang kuat untuk membantu orang yang kecelakaan itu. Namun dalam kondisi waktu yang mepet, saya tidak yakin bisa mengubah keinginan itu menjadi tindakan. Lagipula pada siang hari jalanan pasti ramai, dan orang kita sangat hobi mengerumuni orang yang kecelakaan. Maka, biarkan saya mengejar presensi sholat Jum’at dulu saja, ha-ha.

Walaupun, nantinya saya akan menyesali keputusan saya yang sudah melanggar nilai-nilai ideal – yang biasa saya banyak-cakapkan.


Memang ribet kalau menjadi seseorang yang idealis, namun labil di saat yang sama.

0 comments:

Post a Comment