Sebagai salah satu media massa yang bisa
terbit setiap hari, koran bisa menjangkau setiap elemen masyarakat, termasuk
mahasiswa. Tidak seperti televisi, koran memiliki satu kelebihan yaitu bisa dibaca
“nanti”, bahkan bisa di kliping. Kemampuan seperti itulah yang menjadikan koran
sering dikaji sebagian mahasiswa, misalnya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu)
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang memang ranahnya disitu. Dengan terus
mengikuti dan menanggapi isu-isu nasional yang beredar, mahasiswa sudah
“merasa” kritis. Diskusi-diskusi pun dilakukan agar apabila terjadi pengalihan
isu (pengkondisian agenda) masyarakat, mereka langsung bisa bereaksi.
Pernahkah kita membayangkan kalau selain
masyarakat, mahasiswa memang dikondisikan demikian?
Kepahlawanan mahasiswa dalam sejarah
revolusi 1998 menjadi motivasi tersendiri bagi mahasiswa untuk tetap kritis. Menurut
salah satu dosen saya, ada fakta sejarah baru yang mengatakan bahwa mahasiswa
pada waktu itu sebenarnya hanya menjadi semacam pion untuk membantu pihak-pihak
yang memang mau menggulingkan rezim Soeharto. Siapa yang membuat mahasiswa pada
saat itu “kritis”? Media. Setelah itu, media massa mencatat mereka sebagai
pahlawan.
Orang-orang yang bisa mengendalikan media
massa, atau paling tidak bekerja sama dengannya, memang mengerikan. Demi
mengubur isu, nyawa manusia itu tidak penting. Beberapa dari kita mungkin
berpikir bahwa setelah kasus Anas Urbaningrum, yang akan menjadi headline surat
kabar mungkin saja Ibas. Akan tetapi, ternyata muncul headline baru, yaitu
kasus penembakan lapas Cebongan. Menurut kalian bagaimana hal yang tidak biasa
tiba-tiba terjadi? Misalkan kalian, kira-kira apa yang membuat kalian
susah-susah menerobos masuk penjara kemudian menembaki narapidana? Celakanya,
masyarakat kita itu cepat lupa. Maka dari itu sebuah isu bisa dengan mudah
dialihkan ke isu lain.
Setiap kasus besar yang terjadi di
Indonesia, jarang ada yang bisa kita ikuti beritanya sampai akhir. Koran di
Indonesia bisa dikatakan sangat kritis tapi hanya pada “permukaan” kejadian. Mereka
mengulas setiap informasi yang ada tapi tidak menganalisis propaganda-propaganda
tersembunyi di balik sebuah kejadian, misal dengan menghubungkannya dengan
kejadian besar sebelumnya. Apa memang sengaja? Maka dari itu, berita dikatakan
besar bukan karena kebenarannya, tapi karena sensasional. Apakah mereka tidak
bisa melakukan riset yang dalam? Sebenarnya bisa, terbukti pada saat menjelang
pemilu kita bisa melihat bagaimana berita pemilu di headline-headline
menampilkan grafik-grafik prediksi dan hasil survei.
Di dalam kerja media massa, ada semacam
asosiasi jurnalis. Hal tersebut memungkinkan wartawan dari sejumlah perusahaan
surat kabar untuk berkumpul dan mengulas berita dari sumber yang sama, misal yahoo. Idealnya, dengan banyaknya jumlah
wartawan yang membahas tentang satu topik, akan tercipta banyak sudut pandang.
Alih-alih demikian, mereka justru menjadi tidak independen karena isunya hanya
berasal dari satu sumber. Maka dari itu, sadar tidak sadar, kita sering
menjumpai beberapa surat kabar memiliki berita yang sama. Ditambah dengan
pengolahan berita yang kurang baik, masyarakat menjadi semakin tidak cerdas.
Bagaimanapun mengerikannya dunia media
massa pada saat ini, tetap ada satu solusi, yaitu menjadi pembaca yang cerdas.
Menjadi pembaca koran yang bisa melihat dari setiap sudut pandang, kemudian menyuarakan
pemikiran kita melalui (salah satunya) tulisan. Kita yang sudah belajar media
mungkin agak mudah untuk melihat pemberitaan dengan sudut pandang seperti di
atas, tapi bagaimana dengan masyarakat secara umum? Maka dari itu, speak up! Agar
ketika sebagian orang menggunakan media massa sebagai cermin-cermin politik,
kita yang katanya terpelajar ini tidak hanya menjadi pion yang bisa dikorbankan
untuk menyusun skema sekakmat.
Ingat kata pepatah yang sering disampaikan
aktivis: “rusaknya negeri ini bukan karena banyaknya orang-orang jahat yang
berada di pemerintahan, tapi banyaknya orang-orang baik yang diam.” Kurang
lebih seperti itu.
Nb: Benarkan saya kalau ada argumen-argumen
yang salah atau terlalu ofensif, saya sendiri staff Kemenlu BEM FSSR UNS.
hahahha percaya padaku
ReplyDeleteBaru baca tulisan ini, bagus !
ReplyDeleteSebagai mantan orang yg pernah kerja di koran, sedikit banyak argumen kamu bener. Koran nasional yang 'netral' dari politik saat ini paling ga lebih dari 4. Beberapa dari 4 ini ga netral kalo memberitakan ekonomi. Terlalu banyak variabel yang menentukan ketika berada di newsroom dan menentukan bagaimana suatu berita itu akan dibuat.
Memang dibutuhkan pemikiran kritis untuk mencerna berita koran.