Rapat di Gedung DPRD

Mar 4, 2013

Ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD kota ini masih cukup sama seperti ketika aku berkunjung pertama kali beberapa bulan yang lalu untuk agenda yang sama: Rapat Pleno BEM FSSR UNS. Bedanya adalah sekarang aku tahu kalau ruang itu namanya Ruang Banggar, karena waktu memasuki ruangan aku sempat membaca papan nama ruangan di atas pintu masuk. Aku baru mengetahui hal itu sekarang karena dulu entah karena papan nama itu belum terpasang atau aku belum tahu singkatan dari banggar.

Tempat ini juga sempat aku kunjungan saat mengikuti aksi (demo) yang diadakan oleh aliansi BEM se-Univ UNS dalam rangka protes ke Pak Presiden terkait dengan kasus KPK vs Polri beberapa waktu yang lalu. Sekilas teringat bagaimana kami sampai di depan pintu masuk gedung dan disambut beberapa anggota DPRD Solo. Beberapa dari kami menyampaikan orasi dan kami berulang kali meneriakkan “hidup mahasiswa!”. Kalian tahu, kadang ketika aku meneriakkan frase itu emosiku meluap-luap dan ada semacam aliran energy yang mengalir dari dada, leher, kemudian mulut.

Hidup Mahasiswa!

Presiden bilang angkat tangan untuk mengatasi kasus ini, katakan “huu!”  kawan-kawan! | Huu!

Begitulah gambaran umum seorang mahasiswa aktivis dimata banyak orang; rapat, demo, rapat. Hanya beberapa orang yang sadar bahwa mahasiswa aktivis itu juga bisa menulis. Kali ini aku akan berbagi pengalaman dan pemikiranku saat, bisa dibilang, menjadi anggota DPR sehari.


Seperti yang sering kita lihat di TV, ruang rapat anggota DPR itu memang sangat nyaman. Ini saja baru DPRD, dan baru ruang banggar yang lebih kecil dari Ruang Rapat Paripurna. Kursinya nyaman sekali. Ruangannya begitu dingin, ACnya bejibun. Tapi kalau kita lihat di TV, ruangan dingin tidak bisa mencegah rapat yang memanas sampai lempar-lemparan botol air mineral. Kenyataannya memang pas kita rapat kemarin itu juga ada momen-momen dimana suasana rapat menjadi agak panas. Ada yang cuma menambah volume suaranya saja, tidak meningkatkan argumen. Duh, kemarin di meja tidak ada air mineral buat dilempar. Tidak ada yang nyediain air mineral mahal seperti yang buat rapat anggota DPR beneran.

Yang dua di depan itu pimpinan sidang sementara, aku dulu pernah.

Itu Wisnu sama Bu Wapres.
Adanya asbak.

Adanya asbak, di ruang ber-AC. Gimana caranya ada asbak di ruang ber-AC?. Padahal di lantai bawah ada smoking area, kalau di ruang siding boleh ngerokok, lalu ruang itu buat ngapain. Kemudian di ruang rapat juga ada wifi, pantesan sambil rapat bisa buka yang aneh-aneh seperti di berita-berita kemarin.

Fasilitas lain yang bisa bikin aku jadi ndeso adalah microphone yang ada di masing-masing meja. Di microphone ada tombol on-off, kalau satu microphone sudah aktif, microphone yang lain mati. Jadi kalau ada yang interupsi enak, tidak ada lebih dari satu suara. Karena itu dibeli juga pake uang rakyat, ya kita sebagai rakyat bermain-main sebentar sebelum sidang bisa lah. Bahkan ketika sidang berlangsung, ada lah satu dua “interupsi pimpinan sidang” yang aku lakukan lebih karena ke ingin mencoba microphonenya.

Microphone dan asbak yang aku ceritakan tadi.
Masih menjadi mahasiswa seperti ini, kami tentu masih idealis. Rapat menjadi begitu hidup. Lebih banyak mendengarkan daripada berargumen, aku mencatat beberapa momen menarik saat rapat kemarin. Seperti ketika bu president bilang kalau beliau belum puas dengan presentasi kesekretariatan kabinet dan melakukan order untuk penambahan waktu. Pertimbangan si presiden adalah beliau ingin mendengarkan lebih agar nanti bisa menyampaikan pandangannya. Menanggapi hal tersebut, Mbak Bungsu mengatakan argument yang menurutku sangat cetar, bunyinya kurang lebih:

“Pandangan presiden itu, sepengetahuan saya, adalah pandangan pribadi president dengan “melihat” kerja kementerian selama kepengurusan”. Tanpa ragu, di politik mahasiswa idealis memang belum terlihat adanya fenomena ABS (Asal Bos Senang).

Setuju, karena bahkan President tidak perlu mendengarkan presentasi menteri terlalu serius untuk memberikan pandangan. Momem lain adalah ketika Mbak Bungsu, selaku Menteri Sosial Masyarakat presentasi. Beliau bilang kalau pengabdian memang sedang jadi tren, tapi banyak juga yang kurang berkomitmen. Menutup presentasinya, beliau mengatakan frase yang agak langka: kalian energi saya. Ciaa, anak sastra memang jago menyusun kata-kata.

Waktu makan siang, aku pindah ke kursi bagian agak belakang. Beda dengan yang kutempati di depan, posisi kursinya dekat sekali dengan meja. Berarti memang bagian ini sebelumnya tidak, atau bahkan jarang, dipake duduk. Aku langsung menuju ke deduksi dimana memang kalau rapat itu tidak full, seperti yang sering diberitakan. Bisa karena banyak yang absen rapat, atau karena ruangnya memang kebesaran dan kurang disesuaikan, yang berarti ketidak-efektifan, atau penghamburan.

Terlepas dari semua fasilitas yang ada, mengikuti rapat kemarin itu memang agak membosankan dan melelahkan. Aku kurang tahu mengenai jadwal sidang anggota DPRD, tapi kalau dibayangkan bahwa pekerjaan mereka adalah mengikuti sidang seperti ini, menurutku pasti membosankan. Tiba-tiba sempat merasa prihatin. Ada yang bilang kalau kau ingin bahagia seumur hidup, cintailah pekerjaanmu. Sempat juga terbesit pemikiran soal anggota dewan yang cuma memikirkan tentang uang, menjadi pasif saat rapat yang berarti akan semakin bosan. Maksudku, kalaupun korupsi, apakah cukup untuk membayar apa yang dialaminya saat bekerja, atau image yang diterimanya dari rakyat. Ditambah, apa bisa tenang gitu lho kalau korupsi, duh.

Bonus, Skuadron Kementerian Luar Negeri.
@cahyoichi_

3 comments:

  1. Jadi mimpi klo duduk ditempat kayak gitu kelak :D cuman duduk, rapat, terus dapat uang puluhan juta.. haha

    ReplyDelete
  2. lah jadi kamu toh yang mainan microphone itu.pantes mahasiswa.
    saya yg duduk disebelah mu kemaren pas rapat :3 *ngigo jadi anggota DPR*

    ReplyDelete
  3. putra: hah? km minat?

    ben: ciaaa, bukan cuma aku yg main~

    ReplyDelete