Aku tidak yakin bagaimana harus memulai tulisan ini. Hari
ini aku terlalu banyak tidur—super tidak produktif. Tapi karena banyak hal besar yang terjadi pada hari ini, aku jadi ingin menulis. Maka ijinkan aku bercerita apapun yang ingin kukatakan padamu; ini akan sedikit acak.
Pagi ini Indonesia dikejutkan oleh hasil fantastis
pertandingan antara Brazil melawan Jerman. Brazil, sebagai tuan rumah, harus
“pulang” dengan hasil menggenaskan yang kau akan sulit percaya. Brazil adalah
negara yang menjadikan sepakbola sebagai agama—katakanlah seperti itu. Di dekat
salah satu stadionnya bahkan ada sebuah patung Yesus raksasa—begitu indah dan
religius. Di sana, sepertinya Tuhan memberkati sepak bola.
Banyak pemain bintang yang lahir di Brazil. Kau mungkin
sudah tahu kalau Brazil juga termasuk negara berkembang, seperti Indonesia. Bedanya,
kalau kita gemar mengekspor TKI, mereka gemar mengekspor pemain. Di sisi lain, Brazil
adalah magnet. Mereka adalah patron dimana banyak pemain yang ingin berlatih
bola di sana, setidaknya itulah yang diajarkan oleh kartun masa kecilku: Kapten
Tsubasa. Brazil adalah surga sepakbola.
Meskipun keadaannya mungkin sama seperti di sini, dimana setiap
tempat sudah dibangun perumahan atau supermarket, anak-anak kecil di sana masih
bisa bermain sepak bola. Bahkan di atap-atap rumah—aku membayangkannya seperti
itu.
Dari sini kau sudah tidak bisa lagi berasumsi kalau Brazil
sedang kekurangan pemain berbakat. Salah satu pemain muda
mereka yang menjadi sorotan publik baru-baru ini, Neymar, konon langsung
menjadi pemain terbaik ketiga di dunia “sesaat” setelah sampai di Eropa. Neymar
memang tidak bisa bermain pada pertandingan ini. Tapi mestinya Brazil adalah
Brazil.
Lalu kemudian kenapa Brazil bisa kalah dari Jerman? FYI,
Jerman adalah tim yang mereka kalahkan di final Piala Dunia 2002, jadi tidak
berlebihan juga kalau menyebut laga ini sebagai ajang balas dendam. Tapi dengan
hasil akhir 7-1? Itu bukan kalah lagi, itu dibantai—Timnas Brazil mandi darah
di Belo Horizonte. Dan melihat betapa religiusnya sepak bola di Brazil, maka fakta
bahwa Nietzsche si filsuf “pembunuh Tuhan” adalah orang Jerman menjadi
kebetulan yang menyenangkan.
Bagaimanapun, Brazil kalah bukan karena alasan religiusitas, tapi karena persiapan Jerman yang
lebih baik. Ini diakui David Luiz dalam apologinya kepada rakyat Brazil. Sebuah
poin yang penting. Ini mengingatkanku pada dialog antara Saladin dan rekannya
dalam film Kingdom of Heaven.
Dalam film itu, setelah pasukan Saracen menarik serangannya
di Kerak, rekan Saladin bilang; “Kenapa kita mundur? Tuhan tidak membantu
mereka. Tuhan sendiri yang menentukan hasil perang.” Saladin menjawab; “Kemenangan
perang memang ditentukan Tuhan, tapi juga oleh jumlah pasukan, persiapan, tidak
adanya penyakit, dan ketersediaan air.” Ketika temannya kemudian bilang kalau
mereka kalah karena penuh dosa, Saladin berkata; “Itu karena mereka kurang
persiapan.”
Begitulah, kehendak memang milik Tuhan, tetapi manusia tetap
punya ikhtiar. Selalu seperti itu; baik saat perang jaman Rasul sampai usaha
umat muslim sekarang yang sedang berusaha mengembalikan kejayaan Islam. Rasul
memang sudah bernubuat bahwa Islam akan bangkit, tapi itu tidak bisa jadi
pembenaran atas pasifnya umat. Intansurullah
yansurkum, menangkanlah agama Allah, maka Dia akan memenangkanmu.
Soal Gaza yang digenosida Israel, mereka sedang kalah jumlah
dan senjata. Yap, umat dengan jumlah penganut agama nomer dua terbesar di dunia
bisa “kalah jumlah” dengan Yahudi yang jumlahnya nggak seberapa. Entahlah
Oh iya, kuharap kau tidak salah membayangkan. Brazil memang
menjadi patron dan surga tempat memproduksi pemain-pemain bola berbakat. Tapi
“panggung”nya ada di Eropa. Industri sepakbola berkembang pesat di sana. Industri,
industri, industri. Eropa selalu menjadi panggung sejak revolusi Industri di
tahun 1700an.
Pemain Brazil memang banyak yang “mencari nafkah” di Eropa, tapi
yang terjadi sebenarnya adalah mereka terus menyuplai pemain untuk
dikomodifikasi di setiap liga-liga terbaik di sana. Benua biru itu kemudian
menjadi pihak yang paling untung; saham tim, tiket penonton, sponsor, pasar
merchandise global, hak siaran televisi, dan sebagainya.
Aku kemudian sadar; ternyata logikanya di mana-mana dan di
setiap aspek, sama saja. Negara berkembang selalu menjadi penyuplai “bahan
baku”, negara majulah yang kemudian mengolahnya dan menjualnya kembali ke pasar
global. Konsumer terbesarnya tentu saja negara berkembang itu tadi. Orang-orang
di Brazil pasti begitu antusias menonton dan mengikuti perkembangan
saudara-saudara dan tetangga-tetangga mereka di televisi; dengan mimpi yang
selalu di pegang: beberapa tahun lagi giliranku main di sana!
Selain Brazil, tentu saja konsumen sepak bola terbesar
adalah negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar, termasuk Indonesia.
Antusiasme orang-orang kita terhadap sepak bola selalu luar biasa, bisa kau
lihat dari penuhnya tempat-tempat nobar saat ada pertandingan menarik.
Masalahnya, kita hanya memperlakukan sepak bola sebagai hiburan (yang kemudian
oleh penyelenggara sepak bola kita diperlakukan sebagai pasar). Sepak bola
hanya menjadi budaya populer yang mengalihkan kita dari isu-isu yang lebih
penting; misal serangan udara Israel terhadap Palestina itu tadi.
Kita tidak belajar dari nilai-nilai yang ada dalam sebuah
pertandingan, termasuk dalam menyikapi pilpres hari ini. Tampaknya agak terlalu
optimistik juga untuk berharap perang siber segera berakhir paska pemilu,
karena nyatanya perang masih berlanjut bahkan semakin membuncah. Dan entahlah,
sebagian dari diriku menantikan akan adanya geger di dunia nyata—tawuran. Itu
akan seru; dan kemudian Indonesia bisa belajar: bahwa tidak ada yang menang
dalam perang.
Peperangan hanya menyisakan luka dan korban; baik bagi yang merasa menang atau kalah. Aku heran;
kenapa kita tidak belajar legowo dari David Luiz, atau dari pernyataan Luiz Felipe
Scolari, pelatih timnas Brazil, yang secara gentle
mengakui kalau kesalahan ada pada dirinya. Pada pemilu kali ini; entah Jokowi
atau Prabowo yang terpilih sebagai RI 1, kemenangan harus tetap menjadi milik
rakyat. Pihak yang menang biar berjuang menepati visi misinya, dan yang kalah dengan
besar hati mau membantunya untuk memajukan Indonesia; maka sesungguhnya
kemenangan adalah milik kita bersama.
Entahlah, bicara memang mudah.
0 comments:
Post a Comment