Prolog: Ramayana dan penokohan Rahwana ini ada beberapa versi, yang ini adalah gabungan dari google dan hasil obrolan saya dengan kakak senior dulu banget.
“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak
cinta kepadaku…”
Tulisan sebelumnya membahas tentang bagaimana banyak kisah
masa lalu yang benar-benar menetapkan batas tegas antara baik dan buruk, hitam
dan putih. Alasannya sederhana: menyebarkan paham bahwa kebaikan akan selalu
menang atas keburukan. Sebenarnya, konsep tersebut terlampau sederhana, dan
mengandung satu kecacatan: bagaimana kemudian kita menentukan mana yang baik
dan mana yang buruk.
Baiklah, kita memiliki parameter yang jelas: Qur’an dan
Hadist. Baik dan buruk tidak lagi bisa dikatakan relatif, namun yang sesuai
dengan dua warisan Nabi SAW tersebut. Hal tersebut akan menghindarkan kita dari
sikap humanis buta yang mentoleransi setiap tindakan buruk seseorang hanya
karena “kasihan” pada masa lalunya. Bagaimanapun, bukan berarti dalam pribadi yang
kita kenal buruk, tidak ada kebaikan yang bisa diambil. Sebaliknya, dalam
pribadi yang kita kenal baik, bisa jadi ada keburukan yang tidak bisa kita
remehkan begitu saja.
Kita perlu keadilan (bukan fanatisme golongan) untuk bisa
melihat keduanya. Dalam tulisan ini, mari kita adili Rama dan Rahwana.
Ada banyak versi mengenai masa lalu Rahwana, namun untuk
kepentingan political stance, saya
akan memilih versi ini: Rahwana lahir dengan kepribadian setengah brahmana,
setengah raksasa. Saat masih muda, Rahwana melakukan tapa memuja Dewa selama
bertahun-tahun. Karena terkesan dengan Rahwana, Dewa mengabulkan permohonannya
untuk menjadi pribadi yang selalu unggul di antara para Dewa, dan memiliki
keahlian menggunakan senjata dewa serta ilmu sihir.
Dengan kesaktiannya itulah, Rahwana kemudian merebut
Kerajaan Alengka. Meski berwujud raksasa, Rahwana dipandang sebagai pemimpin
yang murah hati. Konon dia kelewat sukses. Alengka berkembang di bawah
pemerintahannya sampai tidak ada yang kelaparan di kerajaan tersebut. Namun,
apalah artinya menjadi raja tanpa ada permaisuri di sisi singgasananya. Rahwana
akhirnya mencoba “bermain-main dengan iman” dengan mencintai Wedawati.
Sayang sekali, Wedawati menolak Sang Raja, bahkan sempat
sakit hati dengan perlakuannya. Dan dalam logika pewayangan, dendam seseorang itu
bisa dibawa sampai ke kehidupan berikutnya. Seperti yang terjadi pada kisah
Dewi Amba dan Bisma, Wedawati nantinya juga bereinkarnasi menjadi wanita yang
menyebabkan kematian Rahwana: Sinta.
Kesialan Rahwana berlanjut dalam sayembara memperebutkan
Sinta, dia diperlakukan secara tidak fair.
Katakanlah, kalau waktu itu publikasi sayembara dilakukan lewat jarkom, Rahwana
tidak dijarkom. Tidak ada pula pamflet yang sampai ke Alengka. Alhasil, dalam
mendapatkan Sinta, Rama nyaris tanpa saingan yang berarti. Tidak heran bila
Rahwana tidak terima.
Padahal, Rahwana sudah mencintai Sinta sejak jaman dia masih
menjadi Wedawati. Think about it.
Rama dan Sinta memang saling mencintai, tapi seperti kata
seorang teman, “sebelum bendera kuning berkibar”, cinta masih bisa dikejar. Persetan
dengan argumen “cinta tak harus memiliki”, Sinta harus direbut dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Proses “pengambil-alihan” Sinta bermula dari kecerobohan
Rama (dan Lesmana) dalam menjaga Sinta di Hutan Dandaka. Rahwana mengutus salah
satu bawahannya untuk berubah menjadi kijang kencana yang bertugas untuk mengalihkan
Rama dari Sinta. Misdirection, the basic
rule of magic
Rama yang kelamaan berburu kijang membuat Sinta khawatir dan
menyuruh Lesmana untuk menyusulnya. Lesmana kemudian membuat lingkaran di
tanah, menyuruh Shinta berdiam di situ agar tidak diculik. Come on, berpikirlah yang agak logis sedikit, Lesmana. Hutan
Dandaka bukanlah tempat kemah Spongebob yang mana membuat lingkaran di tanah
bisa menghindarkanmu dari badak laut. Singkat cerita, Rahwana berhasil
memboyong Sinta ke Alengka.
“Jika harus mencinta, aku memilih Rahwana”, kata seorang teman
(perempuan) di blognya. Well, Rahwana memang nakal, tidak seperti Rama yang
penuh simbol ke-ikhwan-an, tapi dia benar-benar memperlakukan Sinta seperti
Tuan Putri. Di Alengka, Sinta ditempatkan di taman yang indah, dan dirayu
dengan kata-kata romatis setiap hari. Tujuan Rahwana sederhana: ingin melihat
Sinta tersenyum.
Rahwana melakukan yang terbaik untuk menyenangkan Sinta yang
mendadak menjadi Ice Queen itu. Puncak
keromantisan Rahwana adalah ketika dia berjanji tak akan menyentuh Shinta
sebelum ia berhasil menyentuh hatinya terlebih dahulu—a true gentleman. Dia bahkan, menurut kakak senior, setiap hari menyanyi
dan menari untuk menghibur Sinta. Bayangkan, dia menyanyi dan menari untuk
merebut hati Sinta, setiap hari.
“Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta
kepadaku. Beri sedikit waktu…”
Beri sedikit waktu. Kakak senior menjeda lirik lagu itu
dengan intonasi naik sedikit, sambil mengacungkan satu jari. Beri sedikit waktu
untuk Rahwana, Shinta, he will make you
love him. Perlu diketahui, semenjak diculik Rahwana, Sinta selalu menangis.
Pada awalnya dia memang menangisi perpisahannya dengan Rama, namun semakin lama
dia menunggu Rama yang tak kunjung datang, alasannya untuk menangis berubah.
Dia menangis untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Bahwa Sinta mulai jatuh cinta dengan Rahwana. Awwww
Well, wanita itu memang bukan tentang yang terucapkan, wanita
selalu tentang apa yang tak
terucapkan.
Malam itu, kakak senior memang menceritakan cinta segitiga
Rama, Rahwana, dan Shinta dari sudut pandang Rahwana. Dalam sudut pandang ini,
Rama benar-benar terkesan seperti seorang pria brengsek yang tidak bertanggung
jawab. Pertama, Rama tidak kunjung maju sendiri ke Alengka dengan pasukannya.
Alih-alih, dia meminta tolong pada kawanan kera. Kedua, setelah berhasil
mendapatkan Sinta, Rama malah mempertanyakan kesucian Sinta. Dia tega menyuruh
Sinta menceburkan diri ke dalam api. Dalam beberapa sumber lain malah ending-nya
Sinta diusir dalam keadaan hamil.
Seriously, Rama, jadi apa tujuanmu selama ini menghimpun
kekuatan untuk merebut Sinta?
Diskusi kami malam itu berakhir dengan simpulan seperti ini:
bila kamu tidak tampan, setidaknya kamu harus bisa menyanyi dan menari. Dengan
kata lain, milikilah kemampuan untuk mengkonversi bad mood menjadi good mood.
[]
izin copy mas buat pribadi :D
ReplyDelete