Ramadhan dan Romantika Takjil

Mar 10, 2014

Tidak pernah bulan Ramadhan itu hadir di antara kita tanpa membawa kebahagiaan tersendiri. Anak-anak bisa jalan-jalan dini hari sambil membangunkan orang untuk sahur, atau bermain petasan setelah sholat Shubuh. Orang-orang dewasa yang tidak memiliki makanan untuk berbuka puasa, atau yang baru pulang dari kantor, bisa mampir ke masjid yang menyediakan buka bersama. Sedangkan untuk pemuda kampung seperti saya, kebahagiaan bisa hadir di setiap kegiatan di masjid bersama teman-teman pemuda yang lain, termasuk yang berkaitan dengan takjil.

Ada hubungan spesial antara kami dengan takjil, yang mungkin tidak dirasakan kelompok orang tua dan anak kecil, yaitu amanah sosial untuk membagikan takjil ke jamaah sholat tarawih. Posisi ini memberikan kesenangan yang multi-konteks. Sembari menunggu waktu untuk mulai beroperasi, kami menikmati saat-saat bercanda dan membicarakan hal-hal acak. Selain itu, ada keseruan tersendiri ketika kami mulai mengatur strategi operasi. Berlebihankah? Saya rasa tidak. Faktanya, memang ada strategi khusus yang harus diterapkan dalam operasi takjil, seperti penentuan prioritas pembagian dan pengaturan wilayah operasi masing-masing pemuda.

Di dalam masjid, jamaah terbagi menjadi beberapa kelompok yang berada di tempat yang berbeda-beda. Secara umum, kami biasa membaginya menjadi empat kelompok; bapak-bapak dalam, bapak-bapak luar, anak-anak, dan ibu-ibu. Saya kurang tahu apakah isu gender bermain di sini, tetapi yang menjadi prioritas pertama adalah bapak-bapak dalam dan anak-anak. Maka dari itu, kita bisa memainkan langkah-langkah politis bila ingin menghindari pertemuan dengan bapak-bapak dalam, semua terkait dengan timing.

Berada di dalam masjid dan berhadapan dengan bapak-bapak dalam memang mengesankan. Karena berada di dalam ruangan, kita seperti terisolasi dari dunia luar, sendirian menghadapi sejumlah bapak-bapak. Yang ada di dalam biasanya memang bapak-bapak yang memiliki posisi lebih tinggi di struktur masyarakat kampung Badranbaru, seperti tokoh agama dan orang-orang yang dianggap penting. Hal tersebut berbanding lurus dengan rasa canggung yang muncul di dalam hati, semakin belum terbiasa, semakin canggung. Maka dari itu, kita idealnya mampu menyelesaikan operasi itu secepat dan sesempurna mungkin.

Bagaimana cara kita memberikan takjil juga secara tidak langsung sudah diatur oleh norma-norma yang ada di dalam masyarakat, socially constructed. Cara kita menyalurkan makanan ke orang tua tentu berbeda dengan ketika kita menghadapi anak-anak. Proses penyaluran makanan yang sopan dan kaku akan sangat kontras dengan ramainya anak-anak yang berebut takjil. Anak-anak memang begitu antusias, mereka langsung menghampiri makanan segera setelah kardus takjil kita letakkan.

Kita benar-benar perlu belajar bagaimana cara menyambut rejeki dari anak-anak. Walaupun pada saat seperti itu, biasanya bapak-bapak di sekitarnya langsung menegur mereka. Sudah sudah tidak perlu ribut adalah kalimat yang akan sering kita dengarkan. Cukup menyenangkan melihat tingkah polah anak-anak itu. Kadang mereka menuntut untuk menukar takjil hanya karena masalah sepele, misalnya karena mendapat rasa wafer yang tidak disukai.

Strategi berikutnya adalah bagaimana kita menentukan daerah operasi masing-masing. Proses ini cukup krusial. Masing-masing dari kami bertanggung jawab untuk menambah kemungkinan keberhasilan operasi. Ketika beberapa orang pertama sudah beranjak menuju bagian dalam masjid, yang lain harus segera menyusul menempati bagian-bagian yang lain. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga agar pembagian takjil bisa merata dalam waktu yang hampir bersamaan. Ketika ada satu orang yang kekurangan persediaan takjil, perlu ada yang mem-backup. Kami memiliki kode-kode tertentu untuk mengatakan bahwa takjil yang ada sudah cukup, kurang, atau sisa.

Setelah misi selesai, kami kembali ke belakang masjid, menunggu selesainya kultum. Pun ketika saya menyebutkan frase belakang masjid, itu tidak berarti literal. Lebih tepatnya, tempat itu berada di samping masjid, di dekat parkiran dalam. Istilah belakang itu mungkin mengacu pada lokasinya yang dekat dengan toilet dan dapur masjid. Ya, Masjid Azzumar memiliki dapur sendiri. Maka dari itu, bukan perkara sulit bila sekedar mempersiapkan teh anget untuk menemani saat-saat mengobrol. Sambil bercengkerama, kami membagi dan memakan takjil yang tersisa, menyambut rejeki.

Poin pentingnya adalah, bahkan ketika kami tidak berkesempatan untuk mendengarkan kultum tarawih yang disampaikan di dalam masjid, tetap ada kuliah kehidupan yang bisa diambil. Secanggih apapun cara kita tumbuh dewasa, ada nilai-nilai masyarakat kampung yang harus tetap dijaga, seperti gotong royong, silaturahmi, dan rasa malu serta hormat kepada yang lebih tua.

0 comments:

Post a Comment