Tidak pernah bulan Ramadhan itu hadir di antara kita tanpa membawa
kebahagiaan tersendiri. Anak-anak bisa jalan-jalan dini hari sambil
membangunkan orang untuk sahur, atau bermain petasan setelah sholat
Shubuh. Orang-orang dewasa yang tidak memiliki makanan untuk berbuka
puasa, atau yang baru pulang dari kantor, bisa mampir ke masjid yang
menyediakan buka bersama. Sedangkan untuk pemuda kampung seperti saya,
kebahagiaan bisa hadir di setiap kegiatan di masjid bersama teman-teman
pemuda yang lain, termasuk yang berkaitan dengan takjil.
Ada hubungan spesial antara kami dengan takjil, yang mungkin tidak
dirasakan kelompok orang tua dan anak kecil, yaitu amanah sosial untuk
membagikan takjil ke jamaah sholat tarawih. Posisi ini memberikan
kesenangan yang multi-konteks. Sembari menunggu waktu untuk mulai
beroperasi, kami menikmati saat-saat bercanda dan membicarakan hal-hal
acak. Selain itu, ada keseruan tersendiri ketika kami mulai mengatur
strategi operasi. Berlebihankah? Saya rasa tidak. Faktanya, memang ada
strategi khusus yang harus diterapkan dalam operasi takjil, seperti
penentuan prioritas pembagian dan pengaturan wilayah operasi
masing-masing pemuda.
Di dalam masjid, jamaah terbagi menjadi beberapa kelompok yang berada
di tempat yang berbeda-beda. Secara umum, kami biasa membaginya menjadi
empat kelompok; bapak-bapak dalam, bapak-bapak luar, anak-anak, dan
ibu-ibu. Saya kurang tahu apakah isu gender bermain di sini,
tetapi yang menjadi prioritas pertama adalah bapak-bapak dalam dan
anak-anak. Maka dari itu, kita bisa memainkan langkah-langkah politis
bila ingin menghindari pertemuan dengan bapak-bapak dalam, semua terkait
dengan timing.
Berada di dalam masjid dan berhadapan dengan bapak-bapak dalam memang
mengesankan. Karena berada di dalam ruangan, kita seperti terisolasi
dari dunia luar, sendirian menghadapi sejumlah bapak-bapak. Yang ada di
dalam biasanya memang bapak-bapak yang memiliki posisi lebih tinggi di
struktur masyarakat kampung Badranbaru, seperti tokoh agama dan
orang-orang yang dianggap penting. Hal tersebut berbanding lurus dengan
rasa canggung yang muncul di dalam hati, semakin belum terbiasa, semakin
canggung. Maka dari itu, kita idealnya mampu menyelesaikan operasi itu
secepat dan sesempurna mungkin.
Bagaimana cara kita memberikan takjil juga secara tidak langsung sudah diatur oleh norma-norma yang ada di dalam masyarakat, socially constructed.
Cara kita menyalurkan makanan ke orang tua tentu berbeda dengan ketika
kita menghadapi anak-anak. Proses penyaluran makanan yang sopan dan kaku
akan sangat kontras dengan ramainya anak-anak yang berebut takjil.
Anak-anak memang begitu antusias, mereka langsung menghampiri makanan
segera setelah kardus takjil kita letakkan.
Kita benar-benar perlu belajar bagaimana cara menyambut rejeki dari
anak-anak. Walaupun pada saat seperti itu, biasanya bapak-bapak di
sekitarnya langsung menegur mereka. Sudah sudah tidak perlu ribut adalah
kalimat yang akan sering kita dengarkan. Cukup menyenangkan melihat
tingkah polah anak-anak itu. Kadang mereka menuntut untuk menukar takjil hanya karena masalah sepele, misalnya karena mendapat rasa wafer yang tidak disukai.
Strategi berikutnya adalah bagaimana kita menentukan daerah operasi
masing-masing. Proses ini cukup krusial. Masing-masing dari kami
bertanggung jawab untuk menambah kemungkinan keberhasilan operasi.
Ketika beberapa orang pertama sudah beranjak menuju bagian dalam masjid,
yang lain harus segera menyusul menempati bagian-bagian yang lain. Hal
tersebut bertujuan untuk menjaga agar pembagian takjil bisa merata dalam
waktu yang hampir bersamaan. Ketika ada satu orang yang kekurangan
persediaan takjil, perlu ada yang mem-backup. Kami memiliki kode-kode tertentu untuk mengatakan bahwa takjil yang ada sudah cukup, kurang, atau sisa.
Setelah misi selesai, kami kembali ke belakang masjid, menunggu
selesainya kultum. Pun ketika saya menyebutkan frase belakang masjid,
itu tidak berarti literal. Lebih tepatnya, tempat itu berada di samping
masjid, di dekat parkiran dalam. Istilah belakang itu mungkin mengacu
pada lokasinya yang dekat dengan toilet dan dapur masjid. Ya, Masjid
Azzumar memiliki dapur sendiri. Maka dari itu, bukan perkara sulit bila
sekedar mempersiapkan teh anget untuk menemani saat-saat mengobrol. Sambil bercengkerama, kami membagi dan memakan takjil yang tersisa, menyambut rejeki.
Poin pentingnya adalah, bahkan ketika kami tidak berkesempatan untuk
mendengarkan kultum tarawih yang disampaikan di dalam masjid, tetap ada
kuliah kehidupan yang bisa diambil. Secanggih apapun cara kita tumbuh
dewasa, ada nilai-nilai masyarakat kampung yang harus tetap dijaga,
seperti gotong royong, silaturahmi, dan rasa malu serta hormat kepada
yang lebih tua.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment