Betapa tidak menariknya sosial media hari-hari ini. Media ini berisi generasi pengecut yang hanya berani saling menyerang dari dalam kamarnya. Dulu aku setuju kalau “tidak seru kalau tidak ikut-ikutan perang”, tapi siang ini tidak lagi. Entah kalau besok malam aku kumat, tunggu saja.
Betapa tidak menariknya sosial media hari-hari ini.
Orang-orang yang dulu kuanggap luar biasa terus saja berkampanye dan semakin
terlihat keberpihakannya. Mereka mengecewakan. Kebaikan dan kebenaran memang
harus dikampanyekan. Tapi menyampaikan kebenaran tidak bisa untuk kepentingan
golongan—kebenaran harus dikampanyekan untuk kepentingan kebenaran.
Aku semakin merasa asing dengan mereka—aku semakin tidak
mengenal siapa mereka. Yang lebih menyakitkan: aku tidak bisa mengenali lagi
siapa diriku. Siapa aku sebenarnya? Sudah sejauh mana facebook membesarkanku?
Manakah versi diriku yang benar-benar “aku”? Aku terjebak dalam realitas dunia
postmodern: abstrak.
Orang-orang yang kuanggap pintar—yang kemudian aku subscribe statusnya—aku unsubscribe lagi karena semakin kesini semakin
terlihat menggurui. Aku mudah sekali menganggap orang lain lebih pintar dariku,
lantas dia kuanggap guru. Tapi kalau bahasa yang dia gunakan seperti sudah paling
pintar sendiri, betapa tidak menariknya.
Betapa tidak menariknya sosial media hari-hari ini. Isu
berganti hampir setiap dua hari sekali, dan media ini membuat orang-orang mudah
sekali mengeluarkan kalimat yang menyakiti. Salah seorang teman begitu well-aware bahwa di sosial media orang
akan mudah sekali menerima hujatan bila cara dia memandang dunia agak berbeda
dari arus utama. Meski begitu dia tetap menjadi dirinya: begitu sarkas. Yap,
dia memang teman yang menarik—meski agak alay.
Ketika facebook diciptakan, apakah Zuckerberg juga
memikirkan bahwa akan tercipta juga “tangan tak terlihat” yang mengaduk-aduk
isi sosial media? Kita, secara aktif, seperti disuapi sebuah isu untuk kita
main-mainkan beberapa waktu. Kemudian kita bosan dan ada isu lagi yang muncul,
lalu kita mainkan lagi. Begitu terus.
Sosial media kemudian membuat semuanya begitu dinamis, tapi
justru aku bosan dengan dinamika seperti ini. Dinamika yang jalan di tempat—bahkan
mundur. Manusia (secara komunal) kehilangan kemampuan untuk fokus menyelesaikan
suatu masalah. Yang sebenarnya kita lakukan adalah membicarakannya.
Membicarakannya. Pada dasarnya; kita memang masyarakat pelupa.
So, what is that “invisible
hand” that distracts our focus in live? Or.. who? Aku tidak sebegitu
tertarik dengan teori konspirasi, tapi aku merasa kalau ini bukan kebetulan.
Beberapa semester yang lalu facebook masih begitu menarik,
tapi semakin aku belajar media; aku semakin tidak antusias dalam
menggunakannya. Bosan, bosan. Orang-orang tidak lagi bisa membedakan mana ruang
publik mana ruang pribadi.
Dan kalau orang beranggapan bahwa “aku berfacebook maka aku
ada”, maka biarkan aku menghilang. Biarkan aku bahagia dalam
ketidak-beradaanku. []
sumber gambar
sumber gambar
0 comments:
Post a Comment