Prolog: Tulisan kali ini tidak akan langsung membahas tentang kisah cinta Rama, Shinta, dan Rahwana. Tulisan ini hanya semacam pengantar untuk menuju ke pembahasan itu. Tulisan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi mengapa Ramayana perlu dilihat dari sisi Rahwana. Anyway, enjoy :)
Ketika saya masih di BEM FSSR, kakak-kakak senior yang
sebagian berasal dari jurusan Ilmu Sejarah kadang suka mendongeng. Salah satu
dongeng yang masih saya ingat akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini:
Ramayana dari sudut pandang Rahwana. Seingat saya, cerita itu diberikan pada
malam ketika kami bersiap menuju keraton untuk mengikuti perayaan Kirab Satu
Suro. Proker terkeren dari Sekolah Budaya Saseru (SBS), sayap organisasi BEM
FSSR, memang “jalan-jalan”. *promosi*
Rahwana adalah tokoh antagonis utama dalam epos Ramayana.
Penyebutan “antagonis” tersebut sebenarnya memerlukan pembahasan tersendiri. Pengaruh
cerita, legenda, dan dongeng Disney yang sering kita terima waktu kecil membuat
kita terbiasa menjustifikasi karakter sebagai baik atau buruk, kalau tidak
putih ya hitam, tidak ada area abu-abu. Parahnya, untuk kepentingan “happy
ending”, tokoh “buruk” selalu berakhir tragis.
Kita semua setuju, raksasa yang mengejar Timun Emas adalah
karakter yang jahat, dan senang ketika pada akhirnya raksasa itu tewas pada
senjata keempat Timun Emas. (Are you
kidding? Berikut adalah senjata untuk melawan raksasa: biji mentimun,
jarum, garam, dan terasi). Padahal, ketika kita kembali ke awal cerita, Timun
Emas sebenarnya memang milik si
raksasa.
Pada awalnya Ibunya Timun Emas adalah seorang janda tua yang
tidak bisa memiliki anak. Ia kemudian secara absurd bertemu dengan seorang (?)
raksasa. Raksasa itu memberikan biji timun ajaib yang kemudian dari salah satu
buahnya muncul seorang anak perempuan, Timun Emas. Sebelumnya mereka telah
sepakat dalam sebuah perjanjian: bila Timun Emas sudah mencapai usia tertentu,
dia akan “dikembalikan” kepada raksasa. Kalau begitu, bukankah si raksasa
memang hanya menuntut apa yang
menjadi haknya? Lalu mengapa dia diceritakan sebagai pihak yang salah dan
kalah?
Well, sejarah memang ditulis oleh para pemenang.
Kita kembali dikenalkan pada dikotomi baik-buruk pada kisah
Mahabaratha; Pandawa adalah simbol kebaikan, Kurawa adalah simbol kejahatan.
Sudah fix. Kurawa adalah segerombolan orang jahat yang merampas Takhta
Hastinapura dari tangan Yudhistira, anak tertua Pandu. Sekali lagi, sejarah
seringkali dimanipulasi oleh para pemenang. Kalau Duryudana dan adik-adiknya
yang memenangkan pertempuran di Padang Kurusetra, kata “merampas” tentu akan
diganti dengan “mengambil kembali”.
Secara silsilah, Destarastra, ayah Kurawa, adalah kakak dari
Pandu. Thus, dialah yang seharusnya
menjadi Raja Hastinapura. Destarastra harus merelakan takhta kepada adiknya
ketika Prabu Abiyasa, ayahandanya, lebih memilih Pandu. Keputusan Abiyasa
memang sangat beralasan: Destarastra tidak diberkahi penglihatan oleh para
Dewa—dia buta. Saya membayangkan betapa hancurnya hati Destrarastra, seorang
putra sulung kerajaan besar yang sepanjang hidupnya justru harus bergantung
pada kedua adiknya. Perasaan “kenapa bukan saya” telah mematikan rasa percaya
dirinya.
Apa yang kamu tangkap dari sosok Yudhistira? Ksatria pemaaf berdarah
putih yang tidak punya dosa? Well, kalau mempertaruhkan kerajaan di meja judi
tidak dihitung dosa, mungkin kalian benar. Sementara di sisi lain, Duryudana
selalu dicitrakan sebagai seseorang yang kejam dan batil. Media di Hastinapura
waktu itu mungkin tidak pernah mengekspos bagaimana dia adalah sosok kakak yang
bertanggung jawab kepada 99 adiknya. Pengambil-alihan kerajaan dilakukannya
semata-mata karena ingin adik-adiknya yang banyak itu hidup sejahtera—yah,
walaupun konspirasi Sengkuni main juga di situ.
Sengkunipun, kalau kita paham bagaimana dia dianaktirikan di
kerajaannya sendiri dulu, atau bagaimana dia dipermalukan Pandu, kita bisa
memaklumi kenapa kepribadiannya menjadi seburuk itu. Yang jelas, dia punya
alasan kenapa dia begitu ingin menghancurkan anak-anak Pandu.
Perlu diketahui juga, Yudhistira dan Pandawa sejak kecil
tinggal di lingkungan istana dan mendapat pelajaran moral dari resi-resi
terbaik kerajaan (kalau jaman Khilafah Ustmani: ulama kerajaan). Mereka juga
memiliki Ibu yang perhatian dan penuh kasih sayang. Mereka juga tumbuh dengan
didampingi Bisma.
Sementara, Duryudana dan Kurawa sejak kecil harus tinggal di
desa Gajahoya, sebuah daerah terpencil jauh dari pusat istana. Jangan bicara
soal pendidikan moral, di sana mereka dididik oleh pembantu! Sang Ayah lebih
sering menyendiri. Sang Ibu, Dewi Gendari, telah lama menjadi Ibu yang tidak
peduli, lebih sibuk menumpuk kecemburuannya pada Kunti, wanita yang telah
“merebut” si tampan Pandu darinya. Can
you imagine that?
Ketika masih berusia belasan tahun, Duryudana sudah dituntut
untuk memikirkan nasib 99 adiknya. Bukan hanya masalah pemenuhan kebutuhan
jasmani, Duryudana juga harus memikirkan moral dan kelakuan adik-adiknya.
Celakanya, teman curhatnya adalah Sengkuni. Dalam titik ini, seandainya Pandawa
menjalani hidup seperti yang Kurawa jalani, Yudhistira bisa saja lebih jahat
dari Duryudana.
Entahlah, dunia wayang
konon adalah cerminan dunia nyata. Semua ini membuktikan bahwa di dunia yang
buruk rupa ini, argumen ini bekerja: kita biasa menilai seseorang dari apa yang
dia lakukan, tanpa mau melihat apa yang melatarbelakangi dia melakukan itu.
Pelacur adalah pelacur, tanpa bisa melihat bahwa ternyata dia memiliki rahmat yang cukup untuk memberi minum
pada anjing yang nyaris mati kehausan.
Dan itulah mengapa, sekali-kali pandangan kita akan
ketampanan Rama harus disingkirkan sejenak, dan mulai melihat bagaimana Rahwana
membangun persepsinya akan cinta. []
Keren bro
ReplyDeleteGw masoh baca ini pada tahun 2017
me too haha
Deletekeren nih tulisannya, saya jadi banyak berpikir tentang dunia dan manusia
ReplyDelete