BEBERAPA bulan yang lalu, dalam waktu yang berdekatan, dua orang teman sama-sama menyinggung “blog” dalam diskusinya dengan saya. Amanda memperkenalkan blognya yang “baru”, yang sekarang dipercanggih dengan domain berbayar: averanita.com. Sementara, Himam meminta saya untuk mengajarinya bermain blog.
Timpang. Yang satu sudah menginjak langkah
yang lebih serius, yang satu baru akan memulai. Himam sebenarnya
sudah punya blog, hanya saja itu sudah lama sekali dan dia lupa password-nya. Masalah klise. (Dia bahkan
lupa alamat pasti dari blognya sehingga perlu bantuan google).
Saat itu rasanya saya lebih bingung
daripada Himam. Sekarang, apa yang bisa kamu ajarkan kepada seseorang tentang
blog? Blog hanyalah tentang bagaimana kamu menulis dan mengunggah tulisan. Saya
lantas memperlihatkan bagaimana simpelnya
tampilan blog saya. Jaga-jaga kalau pertanyaan Himam mengarah ke template.
Amanda menggunakan kalimat “an inscription of a woman with a complicated
mind” sebagai tagline blognya.
Kalau “inscription” di situ memang
berarti “prasasti”, rasanya gadis itu agak rasis jurusan. (Saya juga mulai
merasa kalau saya rasis jurusan dengan sering menyebut Muthia atau Esty di
tulisan). Bagaimanapun, saya suka ketika Amanda dengan semangat
memperkenalkan nama pena dia: Ave Ranita. Di tengah-tengah curhatan (baca:
konsultasi) saya tentang menulis waktu itu, dia malah
berteriak:
Jadi ntarr suatu hari nanti kalau kamu nemu novel yang authornya Ave Ranita..jangan ragu.. langsung beli!!!
Dan saya (terpaksa) sepakat, namun kudu ada
tanda tangan penulisnya. Sekilas, dia bukan wanita yang romantis (dia bahkan
mengatakan sendiri hal itu). Dia setuju. Namun saya tidak. Dia banyak membahas
cerita wayang (bahkan skripsinya juga tentang wayang). Dan saya haqqul yaqin, orang yang suka wayang
adalah orang yang romantis. Kamu mau jadi siapa, Mand? Subadra, Larasati, atau Srikandi?
Haha
Haha
Singkat cerita, ulah teman SMA saya dalam
memamerkan blognya (okelah, sekarang bisa disebut website) membuat saya memikirkan kembali dilema saya beberapa tahun
terakhir. Dilema yang membatu dan terlupakan: untuk mengganti domain blog
menjadi dotcom atau membiarkannya tetap seperti sekarang.
Pertanyaannya bukan apakah saya mampu
membiayainya atau tidak, atau apakah saya bisa mengaturnya atau tidak. Toh saya bisa merancang sotobabat.com,
sebuah website yang rencananya dipakai sebagai media untuk menerbitkan tulisan
dari teman-teman komunitas, namun ya begitulah; sementara ini sedang sepi. Pertanyaan
mendasar yang muncul dalam kepala saya adalah: ketika saya membeli domain, apakah blog saya nanti masih
terlihat seperti “blog”?
Sekadar menyamakan persepsi, saya
menggunakan kata “website” untuk nama situs yang menggunakan domain berbayar
semisal dotcom, dotorg, dotnet, dan sebagainya. Sementara kata “blog” saya
pakai untuk menyebut domain gratis seperti blogspot, wordpress, atau tumblr. Selain
itu, saya menganggap domain berbayar lebih terkesan professional—semacam laman
milik perusahaan-perusahaan.
Blog adalah tempat di mana kita bisa curhat
secara berkelas (Secara, menulis sebenarnya hobi milik orang-orang pintar). Blog adalah tentang kebebasan, sesuatu seperti angin yang bisa
terbang. Dan domain dotcom, menurut saya (setidaknya sampai saat ini), adalah
sesuatu yang mengikat. Dotcom adalah sebuah komitmen. Domain berbayar akan
merusak spektrum yang sudah dipendarkan oleh blog—spektrum kesederhanaan.
Bagaimanapun, tidak ada yang salah dengan
itu. Rizal Fikry, salah satu oknum yang berkonspirasi menjerumuskan saya secara
positif ke dunia blog, juga memakai dotcom.
Dia bangga dengan itu. Amanda juga sepertinya bangga, setelah menganggap bahwa
embel-embel blogspot akan membuat orang susah menghapal alamat blog kita. Seriously,
apakah cahyoichi.blogspot.com susah
dihapal? Lagipula, rasanya setiap web
browser sudah memiliki fitur bookmark.
Pertanyaan yang saya sampaikan sebelumnya, “apakah
blog akan masih tetap terlihat seperti ‘blog’ ketika ditambah domain berbayar?”
adalah pertanyaan yang sampai sekarang belum saya temukan jawaban yang pas. Ini
seperti, misalnya, apakah cewek tomboy tetap akan menjadi cewek tomboy bila dia
kemudian (tiba-tiba) menjadi kalem dan merempuani?
[]
waaahhhh pagi2 dah ngeblog.
ReplyDeletetemanya menarik nih. ini juga yang lagi aku pikirkan. jujur, aku sebenarnya juga mau beli domain dan ngilangin embel2 blogspot. pengen bikin .com atau yg lain. tapi stelah baca tulisan di atas jadi mikir ulang. bener juga ya, nanti klo jadi .com, apakah masih bisa disebut dengan blog??? ya biarlah waktu yang menjawabnya. apakah blogku akan bertransformasi atau tidak. hahaha
ngomong2 kok rasis jurusan? apakah Ave Ranita itu dari jurusan sejarah? nebak aja sih. hehe
Lagi selo Mas, ahaha. Ternyata banyak orang yang mengalami dilema tentang hal ini. Tapi ini hanya pendapat pribadi Mas; semoga kamu nggak tambah galau, ahaha.
ReplyDeleteDia FKIP Sejarah
hahaha, harus banyak pertimbangan dulu nih berarti.
ReplyDeleteoh, dia FKIP sejarah tho. apakah dia juga dia dalam tanda kutipmu juga Cahyo?? haha :p
Kalau blogmu kan fokus sama underrated music Mas, mungkin sangat bisa kalau "diresmikan" pakai domain berbayar. Punyaku agak random gitu wahaha
DeleteOra Mas, mosok akeh eram -______-
tapi blogku yo isine curhatan lho. random juga. haha
ReplyDeletelha dirimu i mengingatkanku sama vokalisnya The Narrative e. model2 magnet wanita gitu. XD
kapan2 kopdar yuk. mosok ket mbiyen cuman kontak2an lewat blog. hehe
Ada opsi Mas sebenarnya; jadi kamu bikin dua blog, satunya underrated music, satunya curhatan kritis-reflektif-sastrawi gitu. Jadi yg underrated dibikin domain berbayar, yg curhatan domain gratis biasa. Soalnya sayang banget Mas, yg underrated itu unik menurutku.
ReplyDeleteKopdarnya pas aku udah lulus aja Mas, biar kita paling nggak selevel lah, ciaaa.
Akan menjadi blog yang terkesan serius jika ditambahkan domain berbayar. hari gini gratisan :p
ReplyDeletenggak apa sih domainnya gratis yg penting postingnya tulisan-tulisan "mahal", ehehe :p
DeleteHaha ternyata bukan cuma gue yang berfikiran seperti itu.
ReplyDeletehanya karena domain bisa mengubah persepsi orang.
Tapi apa iya sih sebegitu ngaruhnya?
Deleteiya setuju banget mas. website seperti ikatan profesional yang harus dipertanggungjawabkan pada publik. tapi kalau blog, itu murni tanggung jawab kita pada diri sendiri :)
ReplyDelete