Redefinisi Gaptek

Mar 14, 2014

Our phones are getting smarter, but are we getting dumber?

Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan kemarin, The Thirty-Percenter. Saya tertarik pada poin dimana teman saya perlu membeli satu lagi smartphone hanya karena adiknya ingin dibelikan hape yang sama.

Perkembangan smartphone mungkin disikapi dengan kurang tepat oleh sebagian remaja. Banyak yang membeli Blackberry/Android cuma gara-gara tren, atau ingin bergabung dengan suatu komunitas tertentu, misal pengguna BBM atau Whatsup. Kalau memang begitu, sadar tidak sadar kita telah memilih teman berdasarkan produk yang kita miliki. Pengguna Blackberry dipertemukan oleh BBM, pengguna Android dipertemukan oleh Whatsup, atau LINE, atau KakaoTalk, atau yang lain.

Sebagian besar pengguna smartphone di Indonesia belum bisa mengoptimalkan penggunaan smartphone, masih terbatas pada sms dan jejaring sosial. Idealnya, kita bisa memanfaatkan smartphone untuk pekerjaan kantor ringan seperti mengecek dokumen atau mengirim email. Ketika sedang jalan-jalan, kita bisa memanfaatkan fasilitas GPS atau Google Maps. Kita bisa mendelegasikan pekerjaan-pekerjaan ringan seperti itu pada ponsel pintar kita dan memfokuskan diri untuk melakukan aktivitas lain yang lebih berarti. 

Tapi sepertinya hal tersebut malah terbalik.

Pada saat rapat kegiatan, arisan karang taruna, atau bahkan pada momen spesial seperti kumpul lebaran, kita malah sibuk sendiri dengan smartphone kita. Membalas BBM atau update status Facebook sepertinya memang sudah menjadi respon otomatis dari pikiran kita untuk keluar dari situasi yang kita anggap mulai tradisional dan membosankan. Kita menjadi semakin malas untuk berinteraksi dengan orang lain, apalagi berpikir dan berbagi pendapat.

Selama ini, saya baru memiliki dua orang teman yang pintar IT dan mengubah pandangan saya tentang bagaimana meng-handle gadget. Yang pertama adalah teman saya yang kemarin membeli Andromax C itu. Sebagai seorang yang sangat terpacu untuk menjadi desainer grafis kelas dunia, dia sering berpetulang dalam kompetisi desain online. Untuk itu dia sering menerima email, baik itu email notifikasi atau email dari klien. Ketika saya tanya tujuannya membeli smartphone, saya sempat mendengar dia menjawab,

"Aku beli ini sebenarnya hanya biar lebih mudah mengecek email-email yang masuk." Semacam itu, saya lupa kalimat pasnya. Intinya, dia memang sudah tahu tujuan dan kapasitas sesuatu yang dia beli.

Orang kedua masih rahasia. Yang jelas dia adalah orang yang mengajari dan membawa saya masuk pada dunia IT, sekaligus mengubah persepsi saya dengan kata-kata yang selalu saya ingat; Yang penting itu orangnya (user), bukan gadget yang dia gunakan.

Jadi, orang yang gaptek dalam pengertian saya bukanlah orang yang tidak bisa mengoperasikan gadget-gadget terbaru. Gaptek adalah orang yang memiliki dan pintar mengoperasikan sebuah gadget, tapi tidak bisa menggunakannya untuk menebar kemanfaatnya untuk orang lain. Gaptek juga bisa berarti terlalu melekat pada gadget sehingga kepekaannya pada lingkungan sosial sekitar menjadi berkurang. Dia gagap dalam mengatasi perkembangan teknologi.

Banyak programmer yang secara berkala bekerja memutar otak untuk mendapatkan teknologi terbaik untuk mempermudah hidup manusia. Apakah kita akan melemparkan itu semua demi menaikkan level Angry Birds? Atau menambah koleksi pedang pada Fruits Ninja? 

Teknologi mestinya bisa mempermudah hidup manusia, sehingga lebih mudah pula untuk membantu orang lain.

Atau kita memang generasi idiot yang dikhawatirkan Einstein, dimana penggunaan gadget telah mengganggu proses interaksi sosial kita.

@cahyoichi_

0 comments:

Post a Comment