The Thirty Percenter

Mar 13, 2014

Beberapa waktu yang lalu saya mengantar dua orang teman menyambangi pameran komputer di Diamond Convention Center, Solo. Setelah keduanya mendapatkan barang yang mereka cari, kami langsung pulang. Barangkali itu adalah kunjungan ke pameran komputer tersingkat yang pernah saya alami. Selain karena saya ingin segera ngantor, saya sudah bosan.

Semuanya masih sama. Saya sudah tidak lagi terkesan seperti saat pertama kali mengunjungi pemeran di tempat yang sama. Bahkan tema Pameran Komputer Rakyat yang disuguhkan oleh Apkomindo hanya mentok pada dekorasi pintu gerbang: ada tiruan tiang panjat pinang dengan berbagai macam handcraft gadget di atasnya sebagai hadiah. Harga barang-barang elektronik yang melambung akibat melemahnya rupiah semakin mempersempit korelasinya dengan tema-- harganya saja sudah tidak merakyat.

"Tetapi pengunjungnya tetap banyak ya.." Kata teman saya waktu kami membahas kenaikan harga sembari berjalan menuju tempat parkir.

"Iya sih, tapi berapa dari mereka yang beli?" Saya kemudian bertanya, rhetorically.

"Yaa.. mungkin sekitar 20-30 persen lah, haha!" Katanya, sebuah analisa luar biasa yang dibuat sambil tertawa.
Mendengarnya berkata begitu, saya kemudian menyimpulkan bahwa dia berada di antara 20-30 persen orang tersebut, istilah kerennya (yang saya buat sendiri): the thirty-percenter.

Dia membeli sebuah smartphone yang tipenya sama dengan yang sebelumnya dia beli, Smartfren Andromax C. Hanya saja, kali ini warnanya putih. Seperti namanya, ponsel pintar pabrikan Hisense tersebut sudah terikat (bundle) dengan provider CDMA Smartfren. Memang tulisannya dual mode, CDMA dan GSM, namun yang GSM tidak bisa digunakan untuk melakukan koneksi internet, nah gimana tuh!

"Ini untuk adikku, dia minta dibelikan yang sama.." Katanya seolah-olah membaca pertanyaan yang muncul di pikirkan saya.

"Sekarang harganya 800 ribu!?" Kata saya dengan nada agak keras ketika melihat harga yang tertera pada brosur. Agak terkejut juga sih, soalnya harga Andromax C yang dia beli sebelumnya hanya 700 ribu, padahal paket sebulan internet gratisnya saja belum habis.

Selain itu, harga yang tertera di papan iklan masih 650 ribu. Kok bisa ya?

Keesokan harinya, teman saya menjelaskan pertanyaan saya dengan jawaban yang sederhana: trik pasar.

Jadi begini, harga yang tertera pada papan iklan memang 650 ribu--lebih tepatnya, 800 ribu yang disilang diganti 650 ribu. Penggantian label harga menjadi lebih murah tersebut sedikit banyak memang menarik sebagian orang (termasuk kadang saya) untuk membelinya.

Cara tersebut biasanya diterapkan pada barang yang mulai tidak laku, untuk mengangkat kembali pasarannya. Terbukti, setelah penurunan harga, produk Andromax C banyak dicari orang. Review produk yang saya lihat di internet beberapa waktu yang lalu juga ramai.

FYI, sudah ada tiga teman dekat saya yang beli hape ini. Bentuk komunitas aja, Mas!

Hebatnya, ini bukan gambling. Ketika barang semakin laris, barang semakin langka (atau sengaja dilangkakan). Melihat geliat konsumen, produsen bisa saja menahan produksi barang ini agar terlihat semakin habis.

Ketika orang berminat untuk membeli hape murah ini, namun mulai agak susah mencarinya, yaa.. naik naik dikit nggak apa-apa lah. Maka dari itu, ada label harga baru, yaitu 700 ribu tadi.

Dengan harga 700 ribu yang ternyata masih laku, ditambah informasi tentang nilai dolar yang menguat, viola! jadilah harganya kembali seperti semula, dengan kemungkinan masih bisa naik lagi.

Dan trik pasar semacam ini sangat mungkin juga diaplikasikan ke gadget-gadget yang lain.

Kredit tersendiri bagi teman saya. Luar biasa, meskipun aware dengan permainan pasar semacam ini, demi adiknya tetap beli juga. #thumbsup

So, the thirty-percenter, you are also already aware with this kind of trap, right? :)

-the seventy percenter | @cahyoichi

0 comments:

Post a Comment