Seberapa Percayakah Kamu pada Koran?

Apr 10, 2013

Semenjak berkunjung ke Monumen Pers beberapa waktu yang lalu, baru kali ini saya menulis tentang surat kabar (koran). Sebagai mahasiswa yang jarang baca koran, baik dalam bentuk fisik kertas ataupun online, saya mungkin tidak pantas untuk menulis tentang hal ini. Karena belum memiliki sudut pandang seorang  penggemar koran, saya menyusun argumen dengan sudut pandang mahasiswa yang belajar media.

Sebagai salah satu media massa yang bisa terbit setiap hari, koran bisa menjangkau setiap elemen masyarakat, termasuk mahasiswa. Tidak seperti televisi, koran memiliki satu kelebihan yaitu bisa dibaca “nanti”, bahkan bisa di kliping. Kemampuan seperti itulah yang menjadikan koran sering dikaji sebagian mahasiswa, misalnya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang memang ranahnya disitu. Dengan terus mengikuti dan menanggapi isu-isu nasional yang beredar, mahasiswa sudah “merasa” kritis. Diskusi-diskusi pun dilakukan agar apabila terjadi pengalihan isu (pengkondisian agenda) masyarakat, mereka langsung bisa bereaksi.

Pernahkah kita membayangkan kalau selain masyarakat, mahasiswa memang dikondisikan demikian?

Kepahlawanan mahasiswa dalam sejarah revolusi 1998 menjadi motivasi tersendiri bagi mahasiswa untuk tetap kritis. Menurut salah satu dosen saya, ada fakta sejarah baru yang mengatakan bahwa mahasiswa pada waktu itu sebenarnya hanya menjadi semacam pion untuk membantu pihak-pihak yang memang mau menggulingkan rezim Soeharto. Siapa yang membuat mahasiswa pada saat itu “kritis”? Media. Setelah itu, media massa mencatat mereka sebagai pahlawan.

Orang-orang yang bisa mengendalikan media massa, atau paling tidak bekerja sama dengannya, memang mengerikan. Demi mengubur isu, nyawa manusia itu tidak penting. Beberapa dari kita mungkin berpikir bahwa setelah kasus Anas Urbaningrum, yang akan menjadi headline surat kabar mungkin saja Ibas. Akan tetapi, ternyata muncul headline baru, yaitu kasus penembakan lapas Cebongan. Menurut kalian bagaimana hal yang tidak biasa tiba-tiba terjadi? Misalkan kalian, kira-kira apa yang membuat kalian susah-susah menerobos masuk penjara kemudian menembaki narapidana? Celakanya, masyarakat kita itu cepat lupa. Maka dari itu sebuah isu bisa dengan mudah dialihkan ke isu lain.

Setiap kasus besar yang terjadi di Indonesia, jarang ada yang bisa kita ikuti beritanya sampai akhir. Koran di Indonesia bisa dikatakan sangat kritis tapi hanya pada “permukaan” kejadian. Mereka mengulas setiap informasi yang ada tapi tidak menganalisis propaganda-propaganda tersembunyi di balik sebuah kejadian, misal dengan menghubungkannya dengan kejadian besar sebelumnya. Apa memang sengaja? Maka dari itu, berita dikatakan besar bukan karena kebenarannya, tapi karena sensasional. Apakah mereka tidak bisa melakukan riset yang dalam? Sebenarnya bisa, terbukti pada saat menjelang pemilu kita bisa melihat bagaimana berita pemilu di headline-headline menampilkan grafik-grafik prediksi dan hasil survei.

Di dalam kerja media massa, ada semacam asosiasi jurnalis. Hal tersebut memungkinkan wartawan dari sejumlah perusahaan surat kabar untuk berkumpul dan mengulas berita dari sumber yang sama, misal yahoo. Idealnya, dengan banyaknya jumlah wartawan yang membahas tentang satu topik, akan tercipta banyak sudut pandang. Alih-alih demikian, mereka justru menjadi tidak independen karena isunya hanya berasal dari satu sumber. Maka dari itu, sadar tidak sadar, kita sering menjumpai beberapa surat kabar memiliki berita yang sama. Ditambah dengan pengolahan berita yang kurang baik, masyarakat menjadi semakin tidak cerdas.

Bagaimanapun mengerikannya dunia media massa pada saat ini, tetap ada satu solusi, yaitu menjadi pembaca yang cerdas. Menjadi pembaca koran yang bisa melihat dari setiap sudut pandang, kemudian menyuarakan pemikiran kita melalui (salah satunya) tulisan. Kita yang sudah belajar media mungkin agak mudah untuk melihat pemberitaan dengan sudut pandang seperti di atas, tapi bagaimana dengan masyarakat secara umum? Maka dari itu, speak up! Agar ketika sebagian orang menggunakan media massa sebagai cermin-cermin politik, kita yang katanya terpelajar ini tidak hanya menjadi pion yang bisa dikorbankan untuk menyusun skema sekakmat.

Ingat kata pepatah yang sering disampaikan aktivis: “rusaknya negeri ini bukan karena banyaknya orang-orang jahat yang berada di pemerintahan, tapi banyaknya orang-orang baik yang diam.” Kurang lebih seperti itu.

Nb: Benarkan saya kalau ada argumen-argumen yang salah atau terlalu ofensif, saya sendiri staff Kemenlu BEM FSSR UNS.

2 comments:

  1. Baru baca tulisan ini, bagus !

    Sebagai mantan orang yg pernah kerja di koran, sedikit banyak argumen kamu bener. Koran nasional yang 'netral' dari politik saat ini paling ga lebih dari 4. Beberapa dari 4 ini ga netral kalo memberitakan ekonomi. Terlalu banyak variabel yang menentukan ketika berada di newsroom dan menentukan bagaimana suatu berita itu akan dibuat.

    Memang dibutuhkan pemikiran kritis untuk mencerna berita koran.

    ReplyDelete