Tertohok Sampai ke Dalam Jiwa

Apr 22, 2013

Di sini saya menyampaikan bagaimana ketika suatu hari ideologi yang saya banggakan tanpa sadar goyah.

Dalam Terapi Persepsi yang ke-11 (Memaknai Masalah Sinyal), saya membahas bagaimana Allah SWT memberikan cobaan kepada hamba-Nya untuk menaikkan derajatnya. Pada tulisan tersebut, saya fokus membicarakan tentang ujian untuk amalan-amalan yang terlihat (dikerjakan oleh badan). Untuk tulisan kali ini, saya akan sedikit membahas tentang bagaimana Allah SWT juga menguji sisi “spiritualitas” kita, misal ideologi atau cara pandang. Seperti biasa, tulisan kali ini juga saya susun menurut pemahaman dan pengalaman saya pribadi.

Proses “peningkatan kesulitan” amalan istiqomah tidak hanya Dia berikan untuk amalan-amalan yang “terlihat” saja, tetapi juga sesuatu yang abstrak, misal ujian yang khusus dirancang untuk ideologi atau cara pandang kita. Menurut yang pernah saya dengar, ujian seperti ini lebih susah, karena biasanya ujian ini mengarah ke ideologi yang paling kita banggakan. Misalnya Siti Maryam, wanita yang sangat menjunjung tinggi kesuciannya, suatu ketika diuji oleh Allah SWT dengan melahirkan seorang anak tanpa ayah, yang tak lain adalah Nabi Isa AS. Dalam situasi seperti itu, beliau diejek dan dicibir orang-orang di sekitarnya. Namun karena ketabahannya, beliau masih bisa membuktikan kemuliaannya.

Ujian seperti ini sama dengan ujian yang lainnya, ada yang berhasil, ada juga yang gagal. Sudah sering kita dengar cerita tentang seseorang yang dulu ketika mahasiswa sangat idealis, setelah terjebak pada sistem dan uang, pemikirannya berubah. Ada juga orang-orang yang ruang geraknya menjadi sangat terbatas setelah mendapatkan sebuah jabatan. Harta, tahta , dan wanita memang musuh yang nyata untuk orang-orang idealis.

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa Allah SWT memberikan ujian kepada hambanya sampai ke tingkat ideologi. Selain harta kekayaan dan ilmu pengetahuan, pemikiran juga merupakan sesuatu yang sering kita banggakan. Menulis Terapi Persepsi seperti ini, secara tidak langsung saya membanggakan pemikiran saya tentang bagaimana kita seharusnya memandang sesuatu dari setiap sisi. Beberapa waktu yang lalu, saya merasa bahwa pemikiran saya tersebut juga mengalami ujian “kecil”.

Waktu itu hari Jum’at malam, saya pergi ke Masjid Az Zumar untuk Sholat Isya kemudian dilanjutkan pengajian. Sekedar informasi, setiap Jum’at malam di masjid ada pengajian untuk pemuda. Hanya saja, terkadang Jum’at malam juga digunakan untuk pengajian perkumpulan haji se-desa. Saat itu saya tidak tahu pasti apakah malam itu akan ada pengajian haji atau tidak. Maka dari itu, dari awal sebelum ke masjid saya sudah berniat kalau nanti tidak ada pengajian pemuda, saya mending pulang untuk mengerjakan tugas. Ternyata memang ada pengajian haji. Dan kalian tahu? Saat ada pengajian haji, kami (pemuda) dimintai tolong untuk membantu nyinom (mengedarkan makanan untuk para tamu).

Entah karena sudah tahu jadwal yang sebenarnya atau memang ada agenda lain, malam itu Ali dan Pandu tidak kelihatan. Situasi tersebut membuat saya semakin dongkol. Jujur, saya sebenarnya kurang setuju dengan keputusan bapak-bapak di kampung yang meletakkan pengajian haji di hari Jum’at. Sudah jadwal pengajian berkurang, masih dimintai tolong untuk nyinom, gimana banget. Sebenarnya saya sudah berniat untuk melarikan diri, tetapi kemudian tidak jadi karena rupanya saya melihat Bayu, salah satu junior kami di karangtaruna, ada di masjid. Tidak tega kalau nanti Bayu harus nyinom sendirian, maka saya memutuskan untuk menemaninya. Meski begitu, saya tetap “mengeluh” ke Bayu tentang perasaan saya di atas. Di tengah percakapan kami, Bayu mengucapkan sesuatu yang membuat saya diam,

“Untung saja malam ini nyinom, kalau tidak masa kita mau pengajian cuma dua orang”

Pada awalnya terdengar biasa, tetapi kemudian terasa jleb jleb jleb jleb! Bayu bisa melihat dari sisi itu, sedangkan saya yang merasa tertekan oleh tugas yang belum selesai, hanya bisa melihat pandangan negatif. Apa yang sebenarnya saya pikirkan pada waktu itu? Sudah sering menulis tentang Terapi Persepsi, bagaimana bisa pandangan saya “bergeser” karena hal kecil? Saya merasa tertohok.

Berkaca dari pengalaman tersebut, kalau nanti ada sesuatu yang besar dalam hidup yang “menghalangi” pandangan saya, apakah saya masih bisa tetap menjadi saya?

Ketika saya mengatakan “tulisan sebagai penjaga ideologi “ pada Terapi Persepsi yang pertama, itu semacam harapan. Semakin sering saya menulis seperti ini, pemikiran sok-sokan ideal saya semakin banyak yang terdokumentasi. Bila kelak suatu ketika ada ujian ideologi yang lebih besar, saya bisa melihat lagi tulisan saya dan menambah kemungkinan berhasil melewati ujian. Katakanlah sekarang saya original, saya tidak mau tumbuh menjadi mesin. Aamiin aamiin insyaallah

Ada sebuah kalimat yang menurut saya bagus sampai kadang saya jadikan sebagai wallpaper komputer: “I hope money never changes me”.

0 comments:

Post a Comment