60 Detik untuk Merenung

Apr 14, 2013

Jarang sekali ada traffic light yang kebetulan sedang hijau saat kita terburu-buru. Ketika kita merasa harus segera sampai ke tempat yang ingin kita tuju, traffic light justru baru mulai merah, menyebalkan. Durasi lampu merah pada traffic light bervariasi. Di traffic light yang sering saya lewati ketika berangkat kuliah, lampu menyala merah sekitar 72 detik. Saya sering berangkat mepet-mepet dengan waktu masuk kelas, maka dari itu saya sering terburu-buru. Nah ketika saya merasa harus cepat-cepat sampai kampus, sering kali indikator detik traffic light tadi malah baru sampai ke detik 60 atau 50. Dalam 60 detik tersebut, saya sesekali memikirkan banyak hal, termasuk ide untuk membuat tulisan ini.

Kalau kita sadar, sebenarnya ada banyak nilai-nilai yang bisa kita ambil dari peraturan untuk berhenti pada saat lampu merah. Ketika lampu merah menyala, semua pengendara harus berhenti (kecuali ambulan). Entah itu petani, pebisnis MLM, sampai anggota DPR harus berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kepada pengendara dari arah yang lain untuk lewat. Konsep tersebut merepresentasikan keadilan sosial dalam masyarakat. Di mana pun kelas kita dalam tataran sosial masyarakat, kita harus tetap saling menghargai agar tercipta kehidupan yang harmonis.
Dalam berkendara, kita kadang merasa bahwa kita adalah orang yang paling terburu-buru sedunia. Semua orang harus minggir memberi kita jalan agar bisa sampai ke tempat tujuan sesegera mungkin. Faktanya adalah: setiap orang yang berkendara di jalan itu terburu-buru. Kita tidak bisa hanya memikirkan kita sendiri, untuk bisa dimengerti orang lain, hendaknya kita berusaha untuk mengerti mereka terlebih dahulu. Kita masing-masing selalu bisa menemukan cara untuk berkendara dengan santun. Lagipula kalau kita menyempatkan diri untuk menghitung, baik secara kebut-kebutan atau biasa, waktu yang diperlukan untuk sampai ke tempat tujuan tidak jauh berbeda. Saya membuktikannya pada perjalanan berangkat ke kampus.

Di lampu merah, semua pemakai kendaraan harus berhenti sejenak agar tidak bertabrakan dengan kendaraan yang melaju di depannya. Begitu juga dengan bagaimana kita menjalani kehidupan kita. Hidup itu memang terus bergerak maju, tetapi ada kalanya kita mengijinkan diri kita sendiri untuk beristirahat. Kita bisa melihat ke kanan dan kiri kita untuk memastikan tidak ada sesuatu yang terlewatkan. Ibarat membawa ember, kita perlu sesekali meletakkan ember tersebut untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga lagi. Kita bisa bermain, mengobrol, makan, dan jalan-jalan bersama teman-teman kita, sekalian mengeja petunjuk-petunjuk-Nya yang mungkin muncul. Kita selalu perlu “menjeda jiwa” dan mengkaji ulang pemikiran kita, agar tidak bertabrakan dengan ego kita sendiri.

Nb: agar paragraf terakhir tidak terkesan kontradiktif dengan catatan sebelumnya yang ada argumen “stop means die”, “stop” pada tulisan sebelumnya berarti benar-benar berhenti untuk selamanya, bukan istirahat. Saya juga meminjam istilah dari Esty lagi (Jeda Jiwa), terima kasih Est.

0 comments:

Post a Comment