plu·ra·lis·me n keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dng sistem sosial dan politiknya); -- kebudayaan berbagai kebudayaan yg berbeda-beda dl suatu masyarakat
Seperti yang termaktub dalam KBBI,
pluralisme berarti keberagaman dalam masyarakat, misalnya dalam hal budaya atau
agama. Dalam keberagaman, ada satu rumus pokok: setiap kelompok masyarakat
memiliki suatu keunikan. Hal tersebut membuat satu kelompok tidak bisa
disamakan dengan kelompok yang lain. Karenanya, saya gagal memahami paradigma
berpikir mereka: sebagian kelompok (Islam) yang menganggap bahwa semua agama
itu sama saja.
Kalau mereka bilang bahwa setiap agama itu
pada dasarnya baik, atau paling tidak bertujuan pada kebaikan, saya setuju.
Setiap agama memang punya banyak persamaan; tentang Tuhan, tatanan pahala dan
dosa, konsep surga dan neraka, dan sebagainya. Tetapi yang perlu diingat
adalah: setiap agama itu unik, memiliki nilai universal tersendiri yang
diekstrak melalui kitab sucinya, ritual ibadahnya, dan “rasul”-nya. Setiap
agama memiliki jalannya masing-masing. Yang jelas, setiap agama itu ada
(eksis); Yahudi, Kristiani, bahkan kaum Penyembah Berhala disebut dalam Al
Qur’an.
Namun, agar tidak terlampau liberal, saya
meyakini hal ini: meskipun punya banyak persamaan, tidak ada agama yang
benar-benar sama. Mereka membasuh tangannya sebelum berdoa; saya membasuh
tangan sebelum Sholat—namun dilengkapi dengan ritual yang lain yang terdiri
dari berkumur sampai membasuh kaki. Itu detail penting, yang kemudian membentuk
kesatuan ritual dan memiliki istilah agama khusus: wudhu. Perbedaan (dan
pembedaan) dalam ritual agama itu sangatlah penting. Tidak ada yang namanya
“hanya detail tambahan belaka”.
Sadarilah, setiap pemeluk agama memiliki
kecenderungan untuk mengklaim bahwa agamanya yang paling benar, dan hanya
umatnya lah yang akan masuk “surga”. Dan demi kepentingan iman, saya tentunya
juga meyakini kalau agama Islam-lah yang paling benar. Sekali lagi, sadarlah
bahwa setiap umat beragama menganggap agamanya yang paling benar, bukan hanya
kamu saja.
Islam menganggap bahwa menyembah selain
Allah SWT berarti kesyirikan, dan syirik adalah dosa yang tidak diampuni
(kecuali dia bertobat). Sementara Kristen menganggap bahwa umat yang tidak
mengamini Yesus sebagai tuhan tidak termasuk orang yang dosanya ditebus dalam
penyalibannya. Berarti dalam pandangan mereka, dosa umat agama lain (termasuk
kita) tidak tertebus.
Suatu ketika saya menemukan satu komentar
di sebuah blog. Bunyinya kurang lebih seperti ini: Dalam Yohanes 14:6, jalan
kebenaran hanya satu yaitu melalui Yesus. Dan di Al Qur’an, tertulis di kitab Isa,
Nabi Muhammad mengatakan: ikutilah ajaran Nabi Isa karena di saat akhir jaman dia
akan turun ke dunia untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Ayat
tentang Nabi Isa tidak pernah diceramahkan.
Terasa familier?
Beberapa dari kita sering mengatakan argumen
yang esensinya kurang lebih sama. Bahwa Injil telah diamandemen, dan ayat
tentang kedatangan Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir telah dihapus. Saya pun
meyakini itu sebagai kebenaran, tapi penganut Kitab Injil sendiri? Tentu tidak!
Hal-hal di atas mendukung rumus tadi: bahwa
setiap agama mengklaim kebenaran ajaran masing-masing. Jadi, ketika beberapa
dari kita mengartikan pluralisme dengan “membela” agama orang lain, bukan
berarti orang lain juga mengakui kebenaran agama kita.
Ketika orang mengatakan argumen itu sebagai
sebuah kefanatikan, saya menyebutnya sebagai “penentuan batas keimanan yang
jelas”. Sebagai muslim, saya meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling
benar. Tetapi kita tidak bisa terjerumus terlalu jauh ke arah “eksklusifitas”
itu sehingga tidak bisa menghargai pemeluk agama lain.
Jalan tengahnya, satu-satunya rute untuk
bertahan secara kolektif dalam satu negara bangsa, adalah dengan bertoleransi. Toleransi
sendiri telah memiliki batasan yang jelas; lakum
dinukum waliyadin—bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Toleransi tidak bisa
dicapai dengan mengikuti perayaan agama lain ataupun mengakui kebenaran
ajarannya.
Toleransi bisa dicapai dengan pendekatan
berikut: Sebagai mayoritas, kita perlu menjaga mereka dari kejahatan yang
dilakukan tangan kita; seperti merusak gereja, mengacak-acak sesaji, dan
sebagainya. Kita juga perlu menjaga lisan kita: dengan tidak melancarkan
komentar sok tahu tentang kepercayaan orang lain. Saya menganggapnya sebagai
upaya menegaskan “batas keimanan” dan mencapai pluralisme.
Simpulannya, saya meyakini dua poin dalam
mendefinisikan pluralisme; (1) kita memang beragam, saya mengakui eksistensi
setiap agama, dan (2) meski begitu, saya tetap menganggap bahwa agama Islam
adalah agama yang paling benar.
Karena pada dasarnya, Laaillahailallah, tidak ada kebenaran selain Kebenaran. []
Kayaknya kamu memang berbakat untuk nulis tulisan serius terkait agama seperti ini kok Cahyo. hehe
ReplyDeletewell, terkait dengan kontennya, mungkin bisa diambil kesimpulan juga bahwa yang menjadi ancaman itu pada dasarnya adalah ekstremisme itu sendiri, bukan agama maupun pemeluk suatu agama. :)
ketika pemeluk agama terlalu fokus dengan kebenaran agamanya tapi mengabaikan apakah dia sudah menerapkannya dengan benar. :)
ReplyDeleteI certainly agree to some points that you have discussed on this post. I appreciate that you have shared some reliable tips on this review.
ReplyDeleteBrava ... marvelous writing :D Mengingatkanku untuk menyelesaikan baca buku A History of God nya Karen Armstrong
ReplyDeleteReading this article was an experience. I enjoyed all the information you provided and appreciated the work you did in getting it written. You really did a lot of research.
ReplyDelete