Tentang Kapitalisme

Jul 5, 2015

“Mari kita berburu di sana! Jangan ke situ dulu!”

Ketika manusia masih berburu dan meramu, orang yang menguasai persenjataan akan memimpin konstelasi perburuan. Bersama kepala suku, mereka akan mengkoordinasi di mana kelompok yang lain akan berburu. Kelompok yang berhasil menciptakan senjata yang lebih canggih akan memperoleh hasil buruan yang lebih baik.

“Ayo kita serang Anglo-Saxon dulu! Menyerang Viking bisa urusan nanti!”

Ketika manusia beralih dari savagery (berburu dan meramu) menjadi barbarisme, konsepnya masih sama: orang yang berkuasa akan menentukan aktivitas kelompok.  Komandan akan menentukan wilayah mana yang harus dikuasai lebih dahulu.

“Dia berani menghinaku, penggal!”

Dari barbarisme, peradaban manusia berkembang menjadi feudal. Feodalisme, yang kemudian menurunkan sistem aristrokrasi, berpusat pada satu raja. Kekuasaan raja itu mutlak. Perkataannya adalah undang-undang. Raja Louise XIV di Perancis bahkan menciptakan doktrin l’etat ces moi, negara adalah saya. Raja mendapat takhta langsung dari Tuhan. Kalau kamu mengekspresikan perbedaan pendapat dengan Raja Louise, kemungkinan besar kamu akan dikirim ke penjara Bastille. Itu masih lebih beruntung daripada yang langsung dipenggal di guillotine.

“Kalian bekerja ke sana, tidak usah protes kalau upahnya segitu!”

Ketika feodalisme itu tumbang oleh Jean Jaques Rousseau dan kawan-kawannya dalam Revolusi Perancis, muncul terminologi egality, liberty, fraternity sebagai mahzab awal demorasi modern. Dari liberty itu, masyarakat terpicu untuk beralih ke peradaban baru: kapitalisme. Segregasi status sosial masyarakat tidak lagi stuck di antara keluarga keraton dengan masyarakat biasa, namun pemilik modal dan buruh/pekerja. Kaum kiri memang mengatakan kalau pekerja itu juga punya kekuatan, tapi karena sistem liberal yang begitu cocok dikawinkan dengan kapitalisme, pemilik modal bagaimanapun tetap menjadi raja.

Entah bagaimana, para pemilik modal ini bisa mempengaruhi kebijakan. Korporasi bisa saja membayar para pembuat peraturan untuk melindungi dan memudahkan bisnis mereka. Kita ambil satu kasus: pada masa awal kapitalisme di Amerikapun, korporasi sudah menggunakan militer untuk melindungi akses produksi. Itu terjadi sampai sekarang. Kalau kita boleh suudzon (baca: kritis), kenapa tentara-tentara golongan atas bisa sangat kaya? Kapan terakhir kali mereka perang? Jangan-jangan yang dilindungi selama ini bukan negara, tapi menjadi centengnya perusahaan-perusahaan. Wallahu a’lam, God knows best.

Bila kita tarik lagi ke diskusi tentang status sosial, sistem masyarakat dari awal perkembangan manusia memang menciptakan tatanan sosial yang sama: piramida sosial. Kalau kita lihat dari savagery, barbarisme, feudal, sampai kapitalisme, konsepnya masih sama: yang berkuasa dalam masyarakat (jauh) lebih sedikit daripada yang dikuasai, makanya disebut piramida sosial—bentuknya segitiga. Sejak dulu sampai sekarang, selalu ada pihak yang ongkang-ongkang, selalu ada yang diinjak.

Pada titik ini, saya mulai merasa kalau egality dan liberty tidak bisa berjalan beriringan. Konsep kebebasan (liberty) ekonomi dalam kapitalisme terbukti telah menciptakan gap yang besar antara kaum borjuis dan pekerja. Dengan kata lain, konsep egality (persamaan) telah lama rusak, dan fraternity (persaudaraan) pun juga hanya persaudaraan karena kepentingan. Rasanya ada yang miss ketika masyarakat Perancis menggagas tiga semboyan tersebut, visinya tidak sempurna. Simpulan radikal saya: demokrasi modern dibangun dari pondasi yang cacat. Kita perlu sistem yang baru, serius.

Thomas Jefferson sempat mendukung kapitalisme dengan mengeluarkan doktrin egalitarian, sebelum akhirnya dikritik oleh Alexis de Tocqueville. Alexis, yang (ironisnya) merupakan pemikir Perancis, menilai sistem justru ini akan membunuh egalitarian itu sendiri. Bagaimanapun, kita tidak bisa menyalahkan Adam Smith begitu saja, seperti kita tidak bisa menyalahkan Adam AS atas kehidupan kita di dunia. Smith memperkenalkan kapitalisme bukan tanpa batasan. Ada istilah “invisible hand”. Dia berargumen bahwa akan ada “tangan tak terlihat” yang akan mengatur kesejahteraan: mekanisme pasar. Dengan konsep laissez faire yang benar-benar membatasi ikut campur negara dalam sistem ekonomi, mekanisme pasar akan bekerja sendiri menciptakan harga yang adil untuk semua orang.

Smith juga menawarkan apa yang disebut “trickle-down effect”,  di mana perusahaan yang kaya diharapkan dapat membagikan sedikit keuntungannya untuk masyarakat di sekitarnya. Karenanya, kemudian kita mengenal CSR (Corporate Social Responsibility), sebuah tanggung jawab moral atas kekayaan yang didapat dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia sekitar. Karena ini juga, kita mengenal istilah “filantropis”, pemilik perusahaan yang “baik hati” membantu masyarakat dengan program-program tertentu. Kita mengenal Bill Gates di dunia nyata, dan Tony Stark dalam cerita fiksi. Tentu saja, itu adalah konsep kapitalisme ideal yang diimajinasikan oleh Smith, kapitalisme yang sehat.

Ada yang belum tahu konsep kapitalisme? Aturannya sederhana: kau cari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sesedikit mungkin (capital = modal). Kapitalis kecil, kapitalis besar, konsepnya sama. Ketika Smith dengan optimis menggagas kapitalisme ideal, dia mungkin tidak mengira bahwa kapitalisme bisa berkembang sampai segelap ini. Alasannya mungkin seperti ini: pada awalnya, kapitalisme disemangati oleh “ambisi” (ambition-driven capitalism), sementara semakin ke sini semangatnya berubah menjadi “keserakahan” (greedy-driven capitalism).

Dan itulah yang sebenarnya disebut dengan syaiton nirrojim. []

0 comments:

Post a Comment