“Mari kita berburu di sana! Jangan ke situ dulu!”
Ketika manusia masih berburu dan meramu, orang yang
menguasai persenjataan akan memimpin konstelasi perburuan. Bersama kepala suku,
mereka akan mengkoordinasi di mana kelompok yang lain akan berburu. Kelompok
yang berhasil menciptakan senjata yang lebih canggih akan memperoleh hasil
buruan yang lebih baik.
“Ayo kita serang Anglo-Saxon dulu! Menyerang Viking bisa
urusan nanti!”
Ketika manusia beralih dari savagery (berburu dan meramu) menjadi barbarisme, konsepnya masih
sama: orang yang berkuasa akan menentukan aktivitas kelompok. Komandan akan menentukan wilayah mana yang
harus dikuasai lebih dahulu.
“Dia berani menghinaku, penggal!”
Dari barbarisme, peradaban manusia berkembang menjadi
feudal. Feodalisme, yang kemudian menurunkan sistem aristrokrasi, berpusat pada
satu raja. Kekuasaan raja itu mutlak. Perkataannya adalah undang-undang. Raja
Louise XIV di Perancis bahkan menciptakan doktrin l’etat ces moi, negara adalah saya. Raja mendapat takhta langsung
dari Tuhan. Kalau kamu mengekspresikan perbedaan pendapat dengan Raja Louise,
kemungkinan besar kamu akan dikirim ke penjara Bastille. Itu masih lebih
beruntung daripada yang langsung dipenggal di guillotine.
“Kalian bekerja ke sana, tidak usah protes kalau upahnya
segitu!”
Ketika feodalisme itu tumbang oleh Jean Jaques Rousseau dan
kawan-kawannya dalam Revolusi Perancis, muncul terminologi egality, liberty, fraternity
sebagai mahzab awal demorasi modern. Dari liberty itu, masyarakat terpicu untuk
beralih ke peradaban baru: kapitalisme. Segregasi status sosial masyarakat
tidak lagi stuck di antara keluarga
keraton dengan masyarakat biasa, namun pemilik modal dan buruh/pekerja. Kaum
kiri memang mengatakan kalau pekerja itu juga punya kekuatan, tapi karena
sistem liberal yang begitu cocok dikawinkan dengan kapitalisme, pemilik modal
bagaimanapun tetap menjadi raja.
Entah bagaimana, para pemilik modal ini bisa mempengaruhi
kebijakan. Korporasi bisa saja membayar para pembuat peraturan untuk melindungi
dan memudahkan bisnis mereka. Kita ambil satu kasus: pada masa awal kapitalisme
di Amerikapun, korporasi sudah menggunakan militer untuk melindungi akses
produksi. Itu terjadi sampai sekarang. Kalau kita boleh suudzon (baca: kritis), kenapa tentara-tentara golongan atas bisa
sangat kaya? Kapan terakhir kali mereka perang? Jangan-jangan yang dilindungi
selama ini bukan negara, tapi menjadi centengnya perusahaan-perusahaan. Wallahu
a’lam, God knows best.
Bila kita tarik lagi ke diskusi tentang status sosial,
sistem masyarakat dari awal perkembangan manusia memang menciptakan tatanan
sosial yang sama: piramida sosial. Kalau kita lihat dari savagery, barbarisme, feudal, sampai kapitalisme, konsepnya masih
sama: yang berkuasa dalam masyarakat (jauh) lebih sedikit daripada yang
dikuasai, makanya disebut piramida sosial—bentuknya segitiga. Sejak dulu sampai
sekarang, selalu ada pihak yang ongkang-ongkang, selalu ada yang diinjak.
Pada titik ini, saya mulai merasa kalau egality dan liberty
tidak bisa berjalan beriringan. Konsep kebebasan (liberty) ekonomi dalam
kapitalisme terbukti telah menciptakan gap
yang besar antara kaum borjuis dan pekerja. Dengan kata lain, konsep egality
(persamaan) telah lama rusak, dan fraternity (persaudaraan) pun juga hanya
persaudaraan karena kepentingan. Rasanya ada yang miss ketika masyarakat Perancis menggagas tiga semboyan tersebut,
visinya tidak sempurna. Simpulan radikal saya: demokrasi modern dibangun dari
pondasi yang cacat. Kita perlu sistem yang baru, serius.
Thomas Jefferson sempat mendukung kapitalisme dengan
mengeluarkan doktrin egalitarian, sebelum akhirnya dikritik oleh Alexis de
Tocqueville. Alexis, yang (ironisnya) merupakan pemikir Perancis, menilai
sistem justru ini akan membunuh egalitarian itu sendiri. Bagaimanapun, kita
tidak bisa menyalahkan Adam Smith begitu saja, seperti kita tidak bisa
menyalahkan Adam AS atas kehidupan kita di dunia. Smith memperkenalkan
kapitalisme bukan tanpa batasan. Ada istilah “invisible hand”. Dia berargumen
bahwa akan ada “tangan tak terlihat” yang akan mengatur kesejahteraan:
mekanisme pasar. Dengan konsep laissez
faire yang benar-benar membatasi ikut campur negara dalam sistem ekonomi,
mekanisme pasar akan bekerja sendiri menciptakan harga yang adil untuk semua
orang.
Smith juga menawarkan apa yang disebut “trickle-down
effect”, di mana perusahaan yang kaya
diharapkan dapat membagikan sedikit keuntungannya untuk masyarakat di
sekitarnya. Karenanya, kemudian kita mengenal CSR (Corporate Social Responsibility),
sebuah tanggung jawab moral atas kekayaan yang didapat dengan mengeksploitasi
sumber daya alam dan manusia sekitar. Karena ini juga, kita mengenal istilah
“filantropis”, pemilik perusahaan yang “baik hati” membantu masyarakat dengan
program-program tertentu. Kita mengenal Bill Gates di dunia nyata, dan Tony
Stark dalam cerita fiksi. Tentu saja, itu adalah konsep kapitalisme ideal yang
diimajinasikan oleh Smith, kapitalisme yang sehat.
Ada yang belum tahu konsep kapitalisme? Aturannya sederhana:
kau cari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sesedikit mungkin
(capital = modal). Kapitalis kecil, kapitalis besar, konsepnya sama. Ketika
Smith dengan optimis menggagas kapitalisme ideal, dia mungkin tidak mengira
bahwa kapitalisme bisa berkembang sampai segelap ini. Alasannya mungkin seperti
ini: pada awalnya, kapitalisme disemangati oleh “ambisi” (ambition-driven capitalism), sementara semakin ke sini semangatnya
berubah menjadi “keserakahan” (greedy-driven
capitalism).
Dan itulah yang sebenarnya disebut dengan syaiton nirrojim. []
0 comments:
Post a Comment