Es Tut Mir Leid

Mar 31, 2015

Hidup terlalu singkat untuk belajar bahasa Jerman, itulah yang mereka katakan. Saya setuju. Saya merasa sudah terlalu tua untuk belajar banyak bahasa sekaligus. Namun belakangan ada satu frase dalam Deutsch yang menarik perhatian, yaitu ekspresi untuk menyatakan maaf: Es Tut Mir Leid, entahlah bagaimana membacanya.

Yang menarik adalah, terjemahan kata per kata dari Es Tut Mir Leid adalah it does me pain. Kau tahu bila sebuah predikat dalam English didobeli dengando atau does? Artinya si penutur ingin menekankan maksudnya. Bila indra berbahasa kita cukup sensitif, I love you akan terasa berbeda dengan I do love you. Rasanya seperti menambahkan frase “benar-benar” di depan; aku benar-benar mencintaimu.

Sekarang, it does me pain kemudian bisa diartikan “itu benar-benar melukaiku”. Orang Jerman tahu bagaimana cara terbaik mengekspresikan apa yang selama ini kita maksudkan ketika bilang “aku minta maaf”, atau “I apologize”. Ini seperti ketika kamu menyakiti seseorang, ketika orang lain terluka kamu juga menerima luka yang sama.

Saya pun seringkali merasakannya. Ketika saya tahu saya telah menyakiti seseorang, apalagi dia orang baik, malah saya yang lebih sakit hati, I do feel the pain. Kau tahu salah satu dialog yang masih saya ingat di film 12 Years a Slave, yang banyak memperlihatkan bagaimana orang kulit putih sangat suka mencambuk budak mereka? “Tidak satu hari pun ketika aku mencambuk mereka, aku tidak merasakan hatiku tersayat”. Benar, ketika kau menyakiti orang lain, kau juga akan terluka, karena Tuhan Maha Adil. Es Tut Mir Leid

Frase apologi dalam English pun sebenarnya mendekati ungkapan itu. Terjemahan dari I am sorry yang lebih tepat adalah “saya menyesal”. Sorry itu kiranya seakar dengan sorrow (dukacita). Bagi yang masih mengartikannya “maaf” biasa, baiknya mulai sekarang menggantinya dengan itu, dan agak menjeda to be “am”, menjadi I-am-sorry. Kenapa? Agar kata maaf yang keluar dari mulut tidak hanya berupa buah bibir saja. Kita biasa mengucapkannya hanya sebagai formalitas; “sorry ya, aku telat”, lalu besoknya telat lagi.

Kita terlalu sering mengucapkan kata “sorry” tanpa tahu makna yang sebenarnya, kita menjadi tidak sensitif lagi. Kita tidak benar-benar “menyesal” ketika melakukan kesalahan, kita tidak merasakan “luka” lagi. Bagaimanapun, itu bukan sepenuhnya salah kita. Bahasa memang tidak “mengajarkan” kita bahwa permintaan maaf itu didasari empati kita pada luka yang kita torehkan, lalu menyesal. Frase “aku mohon maaf” tidak cukup untuk memadani “Es Tut Mir Leid”.


Filsuf mengatakan kalau manusia adalah “binatang yang berbahasa”. Bahasa mengajari kita jauh lebih banyak dari yang kita kira, yang membedakan kita dengan binatang, yang membuat manusia menjadi manusia. []

0 comments:

Post a Comment