Kita sering mendengar bahwa salah satu golongan yang akan
mendapatkan keteduhan Arasy ketika matahari terasa hanya sejengkal di atas
kepala adalah: pemimpin yang adil. Malah, kelompok ini disebutkan di nomor
satu. Apa yang begitu spesial dari memimpin? Salah satunya adalah situasi
paradox yang akan menimpa mereka.
Paradox (atau kondisi yang seolah-olah bertentangan tapi
benar, sebagaimana KBBI meletakkannya) dari kepemimpinan adalah bahwa seorang
pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang ditunjuk, bukan mencalonkan diri. Hal
itu terkait dengan tugas berat pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban
bukan hanya dalam masa kepemimpinannya tapi juga dampak yang terjadi paska
kepemimpinan, paling tidak dalam tataran tertentu.
Yang menjadi paradox adalah bahwa tanggung jawab sebesar itu
harus dilemparkan ke orang lain, sekelompok orang harus menunjuk satu orang.
Harus ditunjuk. Plato, dalam frase terkenalnya Philosophers King, mengatakan
bahwa sebuah masyarakat akan mendapati situasi ideal bila mau menunjuk seorang
filsuf menjadi pemimpin, atau pemimpinnya secara sepenuh hati belajar filosofi.
Itu karena, tidak seperti politisi, filsuf adalah orang terakhir
yang mau ditunjuk untuk mendapatkan jabatan kepemimpinan; entah karena pemahamannya
akan beban yang menjebak atau karena jabatan akan membatasi ruang gerak
pemikirannya. Lagi, ini menjadi paradox karena secara alami orang yang paling
pantas untuk dijadikan pemimpin adalah justru orang yang tidak berambisi untuk
memimpin!
Bagaimana kita memahami ini? Bahwa paradox kepemimpinan ini
berputar: bila orang berilmu takut menjadi pemimpin, lalu kepemimpinan
diserahkan pada orang-orang kelas dua, lalu bagaimana kondisi ideal dalam
masyarakat bisa tercapai? Familiar sekali bukan? Kapan terakhir kali kita
menjumpai orang bijak duduk di pemerintahan? Bagaimana kita akan menyelesaikan
masalah seperti ini?
Pemimpin harus ditunjuk, artinya setiap orang memiliki
peluang untuk menjadi pemimpin. Dan untuk ditunjuk, seseorang harus memiliki
kualitas-kualitas tertentu (katakanlah: siddiq, amanah, tabligh, fatonah). Tapi
semakin seseorang belajar, belajar, dan belajar dia secara alami akan
menghindari jabatan kepemimpinan dengan meminimalisasi peluang untuk ditunjuk
masyarakat.
Nah.
0 comments:
Post a Comment